Jakarta – Ketua MPR RI, Sidarto Danusubroto, memandang tugas dan fungsi KPI sangat penting sebagai salah satu lembaga yang mengawal perkembangan dan peradaban bangsa. Karena itu, KPI tidak perlu takut memberikan tekanan terhadap siaran-siaran yang tidak baik dan berpengaruh buruk bagi masyarakat. 

“KPI ikut bertanggungjawab terhadap perkembangan dan kehormatan bangsa ini. Bangsa ini butuh KPI yang kuat dan punya satu sikap. Ke depan, KPI dapat lebih profesional dan lebih mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa,” kata Darto ketika menerima kunjungan Pimpinan dan Komisioner KPI Pusat di kantor MPR RI Senayan, Selasa, 17 September 2013.

Dalam kesempatan itu, Darto meminta KPI untuk memperhatikan dan memberikan peringatan terhadap tayangan-tayangan yang berpengaruh buruk, bernuasa radikal dan berbau pornografi. “Berapa banyak teguran yang sudah dilayangkan KPI pada lembaga penyiaran yang melanggar. Teguran tersebut penting dipublikasikan ke publik supaya mereka tahu juga kinerja KPI,” tambah politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.

Menurutnya, KPI harus banyak sosialisasi dan beriklan agar lebih dikenal dan masyarakat mengetahui tugas dan fungsinya. 

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, mengharapkan Ketua MPR RI memberikan dukungan terhadap lembaganya agar dapat menjalankan fungsi dan kinerjanya sesuai dengan amanah UU Penyiaran. Hal yang sama juga disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad. “Kami harap ada kerjasama antara KPI dan MPR dalam rangka pengembangan dan penguatan dalam kaitan wawasan kebangsaan,” kata Idy.

Dalam kunjungan tersebut, turut hadir Anggota KPI Pusat lain seperti Agatha Lily, Sujarwanto Rahmat, Fajar Arifianto Isnugroho, Amirudin, dan Danang Sangga Buana, serta Kepala Sekretariat, Maruli Matondang. Red

 

Jakarta – KPI berharap lembaga penyiaran khususnya televisi yang bersiaran secara nasional menyadari dan paham jika frekuensi yang dipinjam dari negara dasar tujuannya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membangunnya. Demikian disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, usai pertemuan atau silaturahmi dengan jajaran pimpinan dan redaksi SCTV dan Indosiar di kantor SCTV, Selasa, 17 September 2013.

Menurut Judha, tujuan silahturahmi ini selain untuk perkenalan dengan lembaga penyiaran juga dimaksudkan untuk menyampaikan pesan penyadaran mengenai hal di atas. “Itu tadi tujuannya bahwa kami berharap ada kesadaran mendasar dari lembaga penyiaran jika mereka diberi kepercayaan untuk mengelola spektrum frekuensi yang terbatas. Ketika mereka diberikan kepercayaan ini untuk tujuan komersil, mereka harus paham jika lembaga penyiaran ini punya tanggungjawab yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangunnya,” jelasnya.

Terkait itu, Judha berharap lembaga penyiaran dapat merenungkan kembali kepercayaan dari publik untuk mengunakan spektrum frekuensi tersebut. “Jika lembaga penyiaran sadar secara mandiri dapat memberikan penyiaran yang baik untuk publik dan juga untuk negara,” harapnya.

Pada saat berlangsungnya diskusi, baik KPI maupun pihak SCTV dan Indosiar menyampaikan secara langsung harapan dan masukan. Seperti yang dikatakan Hariswi Achmad, Direktur Program SCTV, bahwa sebaiknya KPI dapat memberi ruang bagi lembaga penyiaran untuk menyampaikan penjelasan terlebih dahulu sebelum keputusan sanksi dijatuhkan. “Alangkah baiknya jika bisa seperti itu,” pintanya.

Sementara itu, Anggota KPI Pusat, Bekti Nugroho, mengharapkan adanya kontrol dari lembaga penyiaran terhadap isi atau dialog yang sifatnya tidak baik dalam program sinteron, film televisi atau acara lainnya. “Sebaiknya, dialog-dialog yang tidak baik tersebut tidak ada masuk. Ini untuk menghilangkan pengaruh tidak baik bagi masyarakat,” katanya.

Silaturahmi yang berjalan hangat tersebut dihadiri Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, dan Anggota KPI Pusat, Agatha Lily, Amirudin, Sujarwanto Rahmat, dan Fajar Isnugroho, serta Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang. Red

 

J

akarta - Tak sedikit tayangan televisi swasta nasional di Indonesia yang mendapat kritikan dan teguran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena konten programnya. Namun KPI melaporkan, hal serupa tak terjadi pada Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB).

Koordinator Perizinan KPI, Azimah Subagijo, mengatakan ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh LPB selain konten penyiaran tv berbayar. Menurutnya, perlu diadakan beberapa aturan lebih spesifik terkait layanan LPB seiring dengan perkembangan LPB dan pelanggan LPB di Indonesia yang cukup pesat.

"Memang banyak yang bilang KPI 'kencang' jika menegur siaran tv gratis. Tapi pada tayangan siaran tv berbayar kok loss," kata Azimah dalam diskusi publik KPI tentang LPB di Jakarta, Selasa (17/9/2013).

Azimah mengatakan, tak adanya peraturan tertulis yang mengatur tentang kewajiban sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF) untuk setiap program tayangan dan iklan menyebabkan permasalahan ini.

Saat ini konten tayangan dari LPB tak memiliki kewajiban untuk mengajukan tayangannya kepada LSF. Lebih lagi, KPI melaporkan, banyak lembaga penyiaran asing masuk ke dalam konten LPB yang sebenarnya dibatasi.

"LPB bukan kepanjangan tangan lembaga penyiaran asing. Saat ini siaran asing nyaris tanpa pembatasan masuk sebagai konten LPB," tegas Azimah.

Muharzi Hazril, head of regulator and corporate support Indovision, juga menambahkan tayangan yang terlepas sensor bukan hanya dari LPB saja, melainkan siaran tv gratis (free to air). "Sebenarnya tak hanya LPB saja yang loss dalam sensor, beberapa tayangan di siaran free to air juga ada yang loss," kata Muharzi.

Terkait permasalahan tersebut, anggota DPR komisi satu, Mahfud Shidiq, mengatakan akan merembukkan RUU penyiaran baru pada Senin  mendatang.(Okezone)

Jakarta - Komisi I DPR RI mengapresiasi pendekatan partnership dan partisipatif yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat terhadap pemangku kepentingan penyiaran.  Hal ini dapat menjadikan KPI sebagai saluran aspirasi bagi semua pihak, bukan cuma publik, namun juga industri penyiaran serta pemerintah. Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq, saat memberikan sambutan kunci dalam acara Diskusi Publik “Quo Vadis Lembaga Penyiaran Berbayar di Indonesia”, yang diselenggarakan KPI Pusat (17/9).

Mahfudz mengharapkan, diskusi yang mengikutsertakan seluruh elemen penyiaran ini dapat memberikan masukan berharga pada Komisi I DPR RI yang sedang menyusun regulasi penyiaran, sehingga aturan yang nanti diunakan dapat kompatibel dengan pesatnya perkembangan zaman.

Lembaga Penyiaran Berbayar (LPB), menurut Mahfudz memang disebut dalam regulasi penyiaran saat ini. Namun  kenyataannya, LPB masih tertinggal dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Tapi Mahfudz meyakini, trend ke depan yang sangat progresif, sangat memberikan ruang pada LPB untuk bisa bergerak lebih leluasa.  Di tambah lagi dengan era konvergensi media yang sudah di depan mata, tambah Mahfudz.

Untuk itu, Mahfudz memandang, langkah KPI untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul dalam LPB baik dari sisi industrinya ataupun isi siaran, patut dihargai. “Kemajuan dunia penyiaran melalui LPB, adalah sebuah keniscayaan”, ujar Mahfudz. Ketika masyarakat butuh informasi yang lebih banyak dan lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, maka LPB menjadi sebuah jawaban atas tuntutan masyarakat tersebut.

Laporan yang masuk ke KPI Pusat dari KPI Daerah menunjukkan bahwa keberadaan LPB di daerah-daerah yang blank spot  banyak yang merupakan insiatif warga. Untuk itu Mahfudz berharap jangan sampai ada dispute  hukum. Bagaimana pun juga, ketika LPB semakin maju, kesempatan masyarakat mendapatkan informasi lebih bervariasi akan semakin besar. Karenanya Mahfudz berharap mekanisme internal di semua pemangku kepentingan, baik itu KPI, Kemenkominfo ataupun lembaga penyiaran untuk masalah LPB ini, harus mengacu pada kepentingan publik yang  lebihbesar.

Lebih dari itu, Mahfudz meminta KPI menjangkau seluruh lapisan masyarakat dengan edukasi yang populis dalam mengelola informasi dari televisi. “KPI harus ajarkan masyarakat agar selektif menonton TV dan menonton sesuai kebutuhan”, tambah Mahfudz.  Dengan demikian masyarakat menjadi tercerdaskan dalam mengonsumsi televisi, sebanyak apapun pilihan program siaran yang ditawarkan.

Dalam diskusi ini, hadir pula Ketua KPI Pusat Judhariskawan, yang memberikan sambutan pembukaan. Sedangkan pembicara yang hadir yakni Agnes Widyanti (Dirjen  Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika), Azimah Subagijo (Koordinator Bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan KPI Pusat), Muhazri Hazril (Sky Vision), dan Agung  DM Sahidi (Telkomvision) dengan moderator Danang Sangga Buwana (Komisioner KPI Pusat Bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan). Sedangkan anggota KPI lain yang turut hadir adalah Amiruddin (Bidang Infrastruktur Penyiaran dan Perizinan) dan Agatha Lily (Bidang Pengawasan Isi Siaran)

Jakarta - Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) atau biasa disebut televisi berlangganan dinilai masih banyak masalah yang perlu diselesaikan. Terkait hal ini, anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Danang Sangga Buwana mengakui adanya problematika yang melingkupi televisi berbayar ini. 

“Kami menilai bahwa LPB kini masih mengidap banyak masalah yang harus diselesaikan, baik di tingkat internal yang menyangkut infrastruktur dan perizinan, isi siaran maupun pada aspek persaingan usahanya. Karena itulah KPI Pusat kini mengadakan Diskusi Publik bertema Quo Vadis LPB di Indonesia, yang tujuannya adalah mengurai masalah yang mengitari televisi berbayar ini dan sekaligus mencari solusi alternatif mengatasinya,” kata Danang yang juga menjadi penanggungjawab Diskusi Publik LPB.

Diskusi publik yang digelar di Mercure Convention Center Hotel, Taman Impian Jaya Ancol  (17/9) ini, menghadirkan narasumber dari beragam elemen diantaranya, Agnes Widiyanti (Direktur Penyiaran kemenkominfo), Agung Sahidi (Operation Direktor Telkomvision), Muharzi Hazril (Head of Regulatory Affair and Corporate Support Sky Vision), dan Azimah Subagijo (Komisioner KPI Pusat). Diskusi juga diawali dengan Keynote Speaker oleh Mahfudz Siddiq Ketua Komisi I DPR RI. 

Danang menggarisbawahi dua permasalahan yang diidap oleh televisi berbayar. Pertama, problematika di domain infrastruktur. Banyaknya televisi berlangganan ilegal yang kini beredar di Indonesia menjadi kendala serius LPB yang harus dijawab. Menggarisbawahi data dari Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), terdapat lebih dari 2.000 TV berlangganan di Indonesia ilegal. Pada saat bersamaan, problem LPB pada aspek infrastruktur dan perizinan terjadi karena hal ini berkaitan dengan problematika sistem penyiaran satelit yang kini masih dalam dilema hukum.

“Masalah kedua ada pada aspek isi siaran. Secara yuridis, ketentuan isi siaran bagi televisi berlangganan ditegaskan pada UU No. 32/2002 Pasal 26 ayat 2 poin a menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Berlangganan harus: melakukan sensor internal terhadap isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan. Namun secara faktual, sensor internal disinyalir belum memenuhi standar, mengingat beragam program siarannya sarat dengan nuansa kekerasan dan seksualitas,” tegas Danang. 

Fakta ini, menurut Danang, menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi KPI. Karena KPI sendiri  belum memuat mekanisme teguran terhadap LPB. Padahal sebagaimana pedoman pada isi siaran, LPB juga berkewajiban mematuhi standar dan prosedur isi siaran yang ada pada Pedoman Perilaku penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Pasal 18 dan Pasal 23. 

“Karena itu, Diskusi Publik ini nantinya diharapkan menjadi pintu masuk untuk pembenahan televise berlangganan, karena acara ini akan kami follow up dengan FGD untuk merumuskan konsep pengaturan televise berbayar ini oleh KPI Pusat,” pungkas Danang. ***

 
Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.