Bogor - Sinergi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers dalam gugus tugas, harus terjalin lebih baik lagi guna mendukung pemilu dan pemilihan yang berkualitas. Dalam Pemilu Februari lalu, terdapat 141.008 upaya pencegahan yang dilakukan Bawaslu, baik dalam bentuk identifikasi kerawanan, pendidikan, partisipasi masyarakat, naskah dinas pencegahan ataupun kerja sama publikasi. Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan hal tersebut dalam diskusi kelompok terpumpun Evalusi Pengawasan Penyiaran Pemilu 2024 yang dilaksanakan KPI Pusat, (27/9/2024). 

Dia mengungkap titik rawan yang paling menonjol adalah politik Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan politik uang. Sedangkan data pengawasan siber menunjukkan adanya 355 konten internet yang diduga melanggar dengan konten ujaran kebencian yang diidentifikasi sangat menonjol. Kerawanan lain yang ditemukan Bawaslu adalah Pemilu di luar negeri yakni terkait daftar pemilih dan metode pemungutan suara. 

Evaluasi ini juga membahas kontribusi pers dalam penyelenggaraan Pemilu. Menurut Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, pemilu merupakan sarana perebutan kekuasaan yang legal. “Pada konteks ini pemilu menjadi sarana yang sangat penting agar masyarakat terdidik lewat cara-cara yang baik,” ujarnya. Undang-undang memandatkan pada dewan pers untuk menjaga keseimbangan agar pers tidak terjebak pada pemberitaan hal-hal prosedural dalam Pemilu. “Esensi demokrasi itu bagaimana menghadirkan kelompok termajinalkan mendapat tempat,” tegasnya. 

Ninik menyadari pesta demokrasi ini harus dapat berlangsung secara damai, namun bukan berarti tidak ribut. “Tidak bisa damai diartikan sebagai diam-diam saja saat terjadi berbagai pelanggaran,” tegasnya. Dia mengingatkan pula bahwa fungsi pers adalah memberikan dukungan informasi. 

Perwakilan KPU yang hadir dalam Evaluasi, adalah Dohardo Pakpahan selaku Kepala Bagian Hubungan Antar Lembaga. Dohardo mengatakan, Pemilu 2024 lalu mendapat perhatian sangat besar dari berbagai media massa, baik cetak, online ataupun penyiaran. Sebagai regulator penyiaran, dikatakan Dohardo, KPI telah melakukan pengawasan terhadap pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye agar semua dapat dipastikan tetap dalam koridor yang tepat. “Terbukti dari pemilu lalu, keberadaan isu sara sudah sangat minim sekali, berbeda dengan yang sebelumnya,” ujar Dohardo. 

Dohardo menyoroti tentang peredaran konten hoax menjelang Pemilu 2024.  Kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika, berbuahkan 1971 konten hoax yang di-take down. Data lain yang didapat KPU yakni sebanyak 62% masyarakat pernah melihat informasi yang keliru di media,  dan 80% dari mereka percaya bahwa informasi yang beredar di masyarakat mampu memberi pengaruh terhadap pilihan politik. KPU mengapresiasi KPI yang mengeluarkan peraturan dan juga pedoman penyiaran kampanye yang lebih rinci, termasuk larangan adanya unsur provokatif dalam iklan kampanye. Dohardo berharap, kolaborasi lembaganya dengan KPI dapat terjalin lebih baik lagi demi menghasilkan kualitas demokrasi yang kuat dan berkualitas.

Terkait independensi media dalam Pemilu disoroti oleh Nuning Rodiyah yang hadir sebagai narasumber. Tantangan independensi antara lain banyaknya pengisi program siaran yang menjadi peserta pemilu, pemilik media penyiaran yang terafiliasi dengan peserta pemilihan atau partai pengusung, penyampaian informasi oleh lembaga penyiaran yang sarat dengan framing. Selain itu, pengawasan yang dilakukan untuk media lokal masih terbatas pada penayangan iklan pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, ujarnya. 

“Sebenarnya yang dapat menindak pasangan calon tetaplah KPU, karena posisi KPI dan Bawaslu memberi rekomendasi terkait pelanggaran yang dilakukan pasangan calon di lembaga penyiaran,” ungkapnya. Nuning juga melihat potensi pelanggaran siaran lainnya adalah blocking segment yang jauh lebih mudah dinilai. “Tinggal lihat saja kecenderungan pembawa acara condong kemana,” pungkasnya. 

Diskusi ini juga dilengkapi dengan data pengawasan yang dilakukan KPI Pusat pada Pemilu 2024. Hadir dalam evaluasi tersebut Ketua KPI Pusat Ubaidillah, Koordinator dan anggota Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat Tulus Santoso dan Aliyah, dan juga Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) Muhammad Hasrul Hasan.

 

 

Bogor - Lembaga penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan politik dalam melaksanakan siaran pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), baik itu dari partai politik ataupun pasangan calon, agar masyarakat mendapatkan informasi kepemiluan ini secara berimbang dan dalam porsi yang sama. Sebagaimana semangat utama dari Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran yang menegaskan bahwa penyiaran merupakan ranah publik dan harus digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini disampaikan Netty Prasetyani, Anggota DPR RI, saat menjadi pembicara kunci dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) tentang  Evaluasi Penyiaran Pemilu 2024 yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), (27/9). 

Dalam pandangan Netty, hingga saat ini masyarakat masih menjadikan lembaga penyiaran sebagai rujukan informasi. Anggota DPR dari Jawa Barat ini mengungkap, masih banyak petani di Jawa Barat yang belajar cara bertani dari televisi yang hadir dalam keseharian mereka. Karenanya, dia menilai, KPI pun harus meningkatkan perannya dalam menjalankan fungsi pengawasan pada lembaga penyiaran, termasuk menjaga ranah frekuensi ini tetap adil dan berimbang dalam perhelatan demokrasi yang memilih kepala-kepala daerah di bulan November mendatang.

Secara khusus Netty mengatakan bahwa dalam pencatatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), lebih 20% pemilih hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). “Bisa kita bayangkan keputusan untuk memilih dalam Pilkada nanti seperti apa jadinya,” ujar Netty. Untuk itu, dia berharap KPI mengingatkan lembaga penyiaran agar menghadirkan siaran Pilkada yang adil dan seimbang bagi masyarakat yang akan menunaikan hak politiknya. “Termasuk juga untuk pemilih perempuan yang perlu diprioritaskan agar kepentingannya dalam Pilkada terpenuhi,” urainya menutup materi. 

Pada kesempatan itu, Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan Evaluasi ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan pengawasan siaran Pemilu yang sudah dilakukan KPI pada Februari lalu. Dalam pelaksanaan pengawasan siaran pemilu, ujar Ubaidillah, dilakukan juga koordinasi dengan lembaga yang menjadi penyelenggara pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Evaluasi ini juga merupakan titik awal dalam rangka pengawasan siaran Pilkada serentak. Beberapa catatan pengawasan Pemilu 2024 disampaikan pula oleh KPI dengan harapan dapat menjadi perhatian lebih besar saat pengawasan siaran Pilkada.

Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso memaparkan data tentang hasil pengawasan siaran pemilu pada bulan Februari lalu. KPI sudah memanggil lembaga penyiaran untuk klarifikasi terkait liputan pendaftaran pasangan calon (paslon). “Saat itu ada tiga paslon tapi yang diliput hanya dua. Alasan yang disampaikan ke KPI saat itu karena alat yang digunakan rusak,” ungkapnya. Secara umum, hampir semua lembaga penyiaran berpotensi melakukan pelanggaran, baik yang terafiliasi ke partai politik atau tidak.

Namun ada juga teguran tertulis yang dijatuhkan KPI, terhadap program siaran yang terbukti melanggar aturan, khususnya ketentuan tentang independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran. “Ke depannya, KPI berharap, iklan politik yang disiarkan lembaga penyiaran harus komprehensif, sehingga Pilkada serentak tahun 2024 ini juga mampu melahirkan pemimpin yang inovatif,” tegasnya. 

Narasumber lain dalam diskusi tersebut adalah Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Kepala Bagian Hubungan Antar Lembaga KPU Dohardi Pakpahan, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, dan Pengamat Media Nuning Rodiyah. Turut hadir pula dalam diskusi, Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran, Aliyah dan Koordinator PKSP KPI Pusat M. Hasrul Hasan. Menurut Aliyah, televisi dan radio punya kontribusi besar dalam bangunan demokrasi yang diperjuangkan bangsa ini. Keterlibatan lembaga penyiaran dalam siaran Pemilu dan Pilkada merupakan bentuk kontribusinya dalam mendorong kualitas demokrasi di negeri ini menjadi lebih baik melalui Pemilu dan Pilkada serentak yang luber dan jurdil. KPI juga akan terus memaksimalkan pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran serta iklan kampanye dalam Pilkada serentak mendatang, sebagai komitmen lembaga ini untuk menghadirkan pemimpin di daerah yang berkualitas.

 

Bogor - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali menggelar kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) berkolaborasi dengan Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor. 

Evri Rizqi Monarshi selaku Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan sekaligus penanggung jawab kegiatan GLSP menjelaskan, GLSP merupakan wujud tanggung jawab KPI untuk terus meliterasi publik tentang konten televisi dan radio yang berkualitas. 

KPI, ujar Evri, akan terus hadir di tengah masyarakat untuk terus memberi pemahaman tentang cara publik berkontribusi untuk menjaga konten televisi dan radio tetap baik. Evri berharap mahasiswa juga ikut menjadi mata dan telinga bagi KPI dalam mengawasi isi siaran. “Jadi jika dirasa ada siaran yang tidak pantas, atau bertentangan dengan regulasi atau norma yang ada di masyarakat, silakan sampaikan ke KPI lewat saluran aduan yang tersedia,”ucapnya.

 

KPI juga mengajak mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor untuk bisa memberi masukan ilmiah atas konten siaran televisi dan radio yang dinikmati sehari-hari. Termasuk juga mengaitkannya dengan perspektif Al Quran dan Hadits, sebagaimana kekhususan studi yang dijalani mahasiswa. Hal tersebut tentunya akan mengasah nalar kritis mahasiswa terhadap konten siaran yang sebenarnya  mencerminkan realitas masyarakat kita. Hal tersebut disampaikan Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan, Amin Shabana, dalam kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dengan tema Cerdas Bermedia Melalui Penyiaran Berkualitas, (27/9). 

Kerja sama KPI dengan perguruan tinggi, menurut Amin, adalah sebuah kebutuhan dan kemestian. KPI membutuhkan pandangan dari kalangan kampus agar kebijakan yang diambil lembaga ini sesuai dengan prinsip-prinsip demokratisasi penyiaran. Pada kesempatan ini, Amin mengapresiasi UIKa yang secara rutin mengirimkan mahasiswa ke KPI, untuk menjalani program magang. “UIKa menjadi satu-satunya kampus yang mengirim mahasiswa untuk magang di KPI dan menghasilkan buku sebagai publikasi ilmiah yang dapat diakses publik secara luas,” ujarnya. 

Dalam interaksi dengan mahasiswa yang merupakan peserta GLSP, Amin menyampaikan pula bahwa ada banyak obyek kajian di televisi dan radio yang dapat digunakan mahasiswa untuk dibahas dalam publikasi ilmiah. Amin meyakini, penelitian tersebut tentu akan sangat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak saja bagi KPI sebagai regulator, tapi juga bagi mahasiswa dan publik sendiri. “Karena konten-konten lembaga penyiaran mencerminkan kondisi masyarakat saat itu,” ujarnya.  

Narasumber lain yang turut hadir adalah Sekretaris Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Gilang Iskandar yang menyampaikan tema “Konten Televisi yang Berkualitas”. Gilang mengungkap, sekalipun perkembangan teknologi mengakibatkan adanya pergeseran konsumsi media di masyarakat, televisi masih menjadi media yang paling banyak diakses. 

Kondisi sekarang, ujar Gilang, lembaga penyiaran tidak lagi saling berkompetisi karena persaingan di lapangan sesungguhnya adalah melawan media dengan platform internet. Televisi dan Radio, saat ini bersiaran dengan rambu-rambu regulasi yang luar biasa ketat. Tidak saja dari undang-undang penyiaran, tapi juga dari peraturan perundang-undangan lain yang juga memiliki kepentingan dengan penyiaran. “Misalnya aturan dari kementerian kesehatan tentang tembakau dan promosi kesehatan,” ujarnya. Namun untuk pihak lawan, justru bebeas tanpa aturan yang ketat sebagaimana regulasi penyiaran. Inilah yang menjadi alasan bagi ATVSI juga mendorong adanya revisi Undang-Undang Penyiaran, tegas Gilang. 

GLSP ini dihadiri oleh Rektor UIKa Prof. Dr. H.E. Mujahidin, M.Si., yang hadir memberikan sambutan. Rektor mengatakan, penyiaran merupakan metode da’wah yang sangat strategis dan juga menjadi salah satu sifat yang melekat dalam diri Rasulullah SAW, yakni tabligh. Keberhasilan Rasulullah dalam menyebarkan nilai-nilai keislaman, salah satunya karena tabligh. “Saya berharap, mahasiswa di UIKa juga dapat berkomunikasi efektif, efisien dan bertanggung jawab sebagaimana hadits Rasulullah untuk berkata baik atau diam,” ujarnya.  Dia juga berharap, mahasiswa KPI di UIKa dapat menjadi mubaligh, penyampai kebaikan dan kebenaran. Salah satunya dengan memiliki kompetensi yang baik sesuai regulasi ataupun perundang-undangan yang ada. 

Hafidhah Farwa, Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) 2020-2024 turut hadir menyampaikan materi tentang Peran Masyarakat dalam Mewujudkan Siaran Berkualitas. Sedangkan Asep Gunawan selaku Ketua Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI UIKa Bogor, menyampaikan materi Peran Vital Akademisi dalam Mengawal Kualitas Penyiaran.

Bogor - Kesetaraan aturan pada para pelaku penyiaran, baik di ranah free to air atau pun di platform internet sangat mendesak untuk direalisasi. Industri penyiaran Indonesia saat ini, membutuhkan adanya level playing field untuk tumbuhnya industri secara sehat. Komitmen lembaga penyiaran di Indonesia sudah jelas, dalam melawan ujaran kebencian di tengah masyarakat yang ramai diedarkan melalui internet. Hal ini juga disebabkan adanya regulasi konten yang berlapis untuk televisi dan radio, tidak saja melalui undang-undang penyiaran dan aturan turunannya, tapi juga lewat aturan dari kementerian dan lembaga lain yang juga memiliki keterkaitan kepentingan pada lembaga penyiaran. Hal ini disampaikan Gilang Iskandar selaku Sekretaris Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) saat menjadi narasumber Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang bertajuk Cerdas Bermedia Menuju Penyiaran Berkualitas, (27/9). 

Dalam kegiatan yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Gilang mengungkap adanya tekanan politik yang luar biasa oleh para pihak yang tidak mau adanya aturan terhadap konten di platform internet. “Indonesia terus menerus hanya dijadikan pasar,” ujarnya. Padahal, ujar Gilang, lembaga penyiaran ini merupakan aset bangsa yang harus dilindungi baik lantaran kontribusinya terhadap perekonomian atau pun juga terhadap ketahanan budaya. 

“Kalau bicara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), itu harga mati. Karena kami tidak akan menyiarkan konten yang memecah belah bangsa,” tegasnya. DI satu sisi, televisi adalah motor penggerak ekonomi karena kuatnya pengaruh terhadap masyarakat terhadap konsumsi produk yang diiklankan. Gilang juga menjelaskan, sekalipun media dengan platform internet terus mendominasi, tetap saja e-commerce masih disiarkan di televisi. Hal ini dikarenakan kesadaran para pengiklan, bahwa televisi masih memiliki magnet yang besar bagi publik. 

Sejalan dengan pernyataan Gilang, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Evri Rizqi Monarshi juga menyampaikan bahwa dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan bahwa televisi masih menjadi rujukan masyarakat dalam mencari validitas informasi. “Jadi bisa saja, publik banyak mengakses konten media sosial. Tapi rujukan terpercaya bagi masyarakat, masih kepada media mainstream, termasuk televisi,”ujarnya. 

Pada kesempatan tersebut Evri juga menyampaikan pada mahasiswa, bahwa hingga saat ini kewenangan KPI masih pada pengawasan di media free to air, yakni televisi dan radio. Regulasi yang ada sekarang belum memberikan wewenang pada KPI untuk melakukan pengawasan konten internet termasuk media sosial. Sekalipun, ujar Evri, aduan masyarakat pada KPI saat ini juga banyak ditujukan pada konten-konten media sosial. “Segala insiden yang terjadi di internet, yang sedang ramai jadi pembicaraan, juga diadukan kepada KPI,” terang Evri.

 

Menyambung diskusi dalam GLSP, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana juga menyampaikan keresahannya terhadap muatan di internet yang kerap kali membuat kapitalisasi terhadap kasus-kasus kontroversial. Amin menyinggung perseteruan antara Ibu dan anak yang menjadi pesohor di media. Para pembuat konten (content creator), ujar Amin, menjadikan penggerebegan dan perseteruan itu sebagai bahan olok-olok di sosial media sehinga orang menertawakan, padahal seharusnya kita prihatin dengan kondisi tersebut.

Ketiadaan aturan ini, menjadikan media sosial sebagai hutan belantara yang segala rupa ada disana. Untuk itu, tambah Amin, para mahasiswa yang merupakan Gen Z ini harus cerdas dalam mencerna realitas saat ini. “Gen Z harus terampil dalam menerima dan mengelola informasi, “ujarnya. Salah satunya adalah dengan menjadi lembaga penyiaran sebagai rujukan. 

Informasi di media sosial, dapat dibuat oleh semua orang tanpa syarat kompetensi apapun. Hal berbeda dengan informasi di lembaga penyiaran, ujarnya. Ada mekanisme bertahap menayangkan informasi, termasuk proses verifikasi berulang untuk memastikan akurasinya. Hal ini yang membedakan kualitas informasi dari media sosial dan lembaga penyiaran. “Karenanya, dalam kondisi informasi yang overload seperti saat ini, pastika rujukan kita adalah media mainstream seperti televisi dan radio,”pungkas Amin.

Jakarta - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengapresiasi kesungguhan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang juga mengikutsertakan berbagai pemangku kepentingan penyiaran sejak tahun 2013 hingga 2024. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan KPI Pusat di Gedung Nusantara II, (25/9). 

Menurut Abdul Kharis, hadirnya regulasi baru dalam ranah penyiaran menjadi sebuah kebutuhan, termasuk juga regulasi terhadap konten di ranah internet. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi, pola konsumsi media di masyarakat yang sudah berubah secara signifikan. Menurut Abdul Kharis, media digital seperti streaming, video on demand, dan media sosial telah menjadi bagian penting masyarakat Indonesia saat ini. Namun demikian, regulasi penyiaran yang adalam Undang-Undang Penyiaran maupun P3&SPS belum mampu mengakomodir perubahan dan perkembangan beragam platform digital tersebut. 

Dengan adanya revisi P3SPS, ujar Abdul Kharis, diharapkan mampu melindungi masyarakat dari konten yang berpotensi meruhikan termasuk juga resiko penyebaran konten yang tidak pantas. Selain itu, revisi diharapkan juga dapat menyimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab penyiaran dengan tetap menjaga etika, tanggung jawab sosial lembaga penyiaran sekaligus menciptakan iklim yang kondusif bagi industri penyiaran agar dapat tumbuh dan berkembang baik.

Pada kesempatan tersebut Ketua KPI Pusat Ubaidillah memaparkan perjalanan revisi P3SPS yang sudah dilakukan KPI sejak tahun 2013 hingga 2024. Terakhir, KPI Pusat menyampaikan draf revisi regulasi penyiaran tersebut pada bulan Juni 2024 saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI kepada Komisi I. “Setidaknya, KPI sudah mengikutsertakan 60 Kementerian dan Lembaga, serta berbagai organisasi dan juga asosiasi yang menjadi pemangku kepentingan penyiaran,” ujarnya.

Lebih jauh dia memaparkan, dalam revisi kali ini, dalam P3 KPI menambah Norma Etika Kebangsaan, Kemerdekaan Pers, Persaingan Usaha yang Sehat, Profesionalisme Sumber Daya Manusia dan Partisipasi Publik. Sedangkan dalam revisi SPS, Ubaidillah mengungkap, terdapat penyederhanaan pengelompokan isi dan memadatkan norma yang sebelumnya diatur dalam P3. “KPI juga melakukan sinkronisasi pengaturan revisi P3, sehingga dapat menghilangkan atau meminimalisi tumpang tindih pengaturan. Termasuk juga memisahkan norma tata cara penjatuhan sanksi dari revisi SPS yang telah diatur dalam peraturan tersendiri,” ungkapnya.

Peraturan tersebut adalah PKPI Nomor 1 tahun 2023 tentanjg Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terkait Isi Siaran yang telah diundangkan dalam Berita Negara Nomor 244 tahun 2023. Turut hadir dalam RDP tersebut, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, Koordinator Bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) Muhammad Hasrul Hasan, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Tulus Santoso, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarshi dan Amin Shabana, serta Anggota KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Aliyah, dan Sekretaris KPI Pusat Umri.

 

Anggota Komisi I lainnya, Taufiq R Abdullah menyampaikan pula apresiasi kepada KPI yang sudah merumuskan draf P3SPS yang baru. Taufik mengakui pembahasan undang-undang penyiaran di Komisi I tidak kunjung selesai. Namun menurutnya, kehadiran draf Revisi P3SPS ini menjadi sangat penting sebagai pedoman bagi dunia penyiaran. “Kami berharap, pembahasan Revisi P3SPS ini menjadi diagendakan pada awal masa bakti Komisi I periode 2024-2029,” ujarnya.  

Beberapa masukan juga disampaikan oleh anggota Komisi I yang lain, diantaranya Sturman Panjaitan, Tb Hasanuddin dan Al Muzammil Yusuf. Pada akhir RDP, salah satu kesimpulan yang ditetapkan adalah Komisi I akan membawa pembahasan revisi P3SPS ini sebagai agenda pertama di awal masa bakti 2024-2029. Harapannya, revisi P3SPS dapat selesai di tahun 2024, pungkas Abdul Kharis. 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.