- Detail
- Dilihat: 5582
Sejumlah Komisioner KPI Pusat dalam sidang khusus penjatuhan sanksi program acara.
Jakarta-Pengajar Komunikasi Politik Universitas Indonesia Ari Junaedi mengapresiasi keputusan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang menjatuhkan sanksi administrasi penghentian sementara untuk program siaran “Indonesia Cerdas” di Global TV dan “Kuis Kebangsaan” di RCTI pada Jumat, 21 Februari 2014. Menurut Ari, keputusan itu sudah tepat sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
“Saya dukung keputusan itu, mesti terhitung terlambat. Dengan keputusan itu, KPI sudah menunjukkan taringnya ke publik yang selama ini diragukan banyak kalangan,” kata Ari kepada Media Center KPI melalui telepon selulernya pada Senin, 24 Februari 2014. Ari juga memberikan alasan kenapa mendukung keputusan yang dikeluarkan oleh KPI Pusat itu.
Ari mengaku rutin menonton dan mengamati kedua program acara itu. Dari analisanya, kedua kuis itu jelas-jelas melakukan kampanye sebelum waktunya. Salah satu indikasinya kedua acara itu seperti kampanye adalah, acara kuis itu disetting yang jawabannya mengarahkan menonjolkan pada tokoh tertentu. Kemudian kata kunci untuk penelpon kuis yang diharuskan menyebutkan kata kunci, bersih, peduli, tegas.
“Itu jelas kampanye, dalam acara Kuis Kebangsaan yang tampil Wiranto dan Hari Tanoesoedibjo yang sudah jelas-jelas mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dari Partai Hanura. Kemudian kata kunci kuisnya adalah slogan dari kedua tokoh itu. Ditinjau dari sisi manapun itu jelas kampanye. Dari segi undang-undang kampanye juga sudah memenuhi syarat itu, ada visi dan misi di dalamnya,” ujar Ari.
Namun, usai sanksi administrasi dilayangkan oleh KPI kepada dua lembaga penyiaran, Ari masih memantau dan melihat kedua acara itu masih ditayangkan, dengan konsep yang berbeda. “Setelah sanksi dari KPI keluar, saya menonton acara ‘Kuis Kebangsaan’ saya melihat ada perubahan konsep. Tapi yang tampil dalam acara itu adalah calon legislatif dari Partai Hanura. Mereka mencoba mengakali sanksi yang diberikan KPI, itu artinya mereka mengabaikan sanksi dan melawan KPI yang sudah jelas adalah regulator penyiaran yang diamanahi undang-undang,” ungkap Ari lebih lanjut.
Menurut Ari, adanya perubahan model siaran dalam “Kuis Kebangsaan”, menunjukkan media penyiaran terkait susah dan tidak mau diatur oleh lembaga negara yang mengurusi regulator penyiaran. Padahal menurut Ari, frekuensi siaran yang digunakan lembaga penyiaran adalah sumber daya yang jumlahnya terbatas dan milik publik. Dalam konteks penggunaannya, lembaga penyiaran diamanahi dalam pengelolaan frekuensi tersebut.
Dalam kondisi yang demikian, menurut Ari, semua teguran dan sanksi yang dikeluarkan KPI seperti angin lalu. “Jika sudah seperti itu kondisinya, ke depan publik harus pikirkan KPI semestinya diberi wewenang lebih dalam hal perizinan dan pencabutan izin, biar seperti KPK, agar KPI bisa didengar dan ditaati oleh lembaga penyiaran,” terang Ari.
Meski begitu, Ari menuturkan, hal itu bisa terlaksana dengan menunggu revisi Undang-undang Penyiaran yang saat masih dalam tahap pembahasan di DPR. Selain itu, Ari juga meminta, agar KPI dalam setiap aktivitasnya mengajak publik turut serta, karena KPI adalah bentuk representasi publik.
“Kita harus berpikir ulang akan masa depan bangsa ini. Penyiaran itu memiliki peran penting dalam menentukan peradaban kita berbangsa. Efek dari penyiaran itu sangat besar pengaruhnya akan budaya, bahasa, istiadat, hingga perilaku masyarakat. Makanya ke depan KPI harus imun dari kepentingan politik, karena dia sudah memegang hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak,” papar Ari.