Jakarta – Stasiun RCTI menghormati keputusan sanksi administratif yang diberikan KPI Pusat atas pengurangan durasi waktu tayang program “Dahsyat” selama 30 menit. Mereka akan menjalani pelaksanaan sanksi itu pada 29, 30, dan 31 Januari 2014. Demikian disebutkan dalam surat jawaban RCTI kepada KPI Pusat, Kamis, 23 Januari 2014, yang ditandatangani Syaril Nasution, Director of Corporate Affair RCTI.

Selainitu, RCTI meminta maaf atas penundaan pelaksanaan sanksi yang sedianya dimulai pada Senin, 27 Januari 2014. Menurut RCTI, penundaan pelaksanaan dikarenakan mereka harus menyiapkan program pengganti untuk mengisi dengan durasi yang sama dengan sanksi pengurangan durasi yakni 30 menit.

Mengenai permintaan maaf yang harus dilakukan RCTI kepada pemirsa, hal itu akan dielaborasi dalam skenario program dalam masa pelaksanaan sanksi tersebut.

Sementarai tu, dari laporan bagian pemantauan KPI Pusat, sejak Rabu kemarin, 29 Januari 2014 hingga Kamis pagi ini, 30 Januari 2014,  waktu siaran program “Dahsyat” telah berkurang 30 menit. Red

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Workshop Revisi P3 dan SPS di Hotel Grand Mercure, 27-29 Januari 2014. Workshop ini juga dihadiri sejumlah perwakilan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID). Hasil workshop nantinya akan dikemukakan dalam Rapat Koordinasi Nasional KPI di Jambi pada awal Maret 2014.

Jakarta - Pertemuan KPI Pusat dengan Anggota DPRD Bali konsultasi tentang rekrutmen anggota KPID Bali Periode 2014-2016. Komisioner KPI Pusat diwakili oleh Wakil Ketua Idy Muzayyat dan Komisioner Bidang Kelembagaan Bekti Nugroho di Ruang Rapat KPI Pusat pada, Kamis, 23 Januari 2014.  

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta kepada lembaga penyiaran untuk tidak menyiarkan iklan politik dan/ atau pemilihan umum (baik iklan calon presiden dan wakil presiden maupun peserta pemilu) di luar jadwal kampanye yang telah ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, di kantor KPI Pusat (24/1).

Menurut Judha, keputusan itu diambil KPI dengan pertimbangan bahwa penyiaran iklan-iklan politik, baik yang telah memenuhi unsur kampanye maupun secara tersamar, memperoleh sorotan dan dinilai publik sebagai betuk kampanye di luar masa kampanye. Selain itu, KPI juga menilai telah terjadi pelanggaran terhadap larangan pemanfaatan lembaga penyiaran oleh pemilik dan/ atau kelompoknya seperti yang disebutkan oleh Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Pasal 11 ayat (2) Standa Program Siaran.

Pertimbangan lain yang juga menjadi perhatian KPI adalah keputusan Badan Pengawas Pemilu tentang sejumlah iklan politik di televisi sebagai bentuk kampanye di luar jadwal kampanye dan dinyatakan sebagai tindak pidana pemilu. “Larangan ini berlaku untuk semua iklan politik dari partai-partai politik, calon presiden dan calon wakil presiden, dan peserta pemilu lainnya”, ujarnya.  

Kemunculan iklan ini, menurut Judha, dapat kembali hadir sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan untuk kampanye melalui media elektronik dalam Undang-Undang Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 1 tahun 2013 dan PKPU nomor 15 tahun 2013. Judha menyadari bahwasanya pengaturan yang dibuat tentang pengaturan masa kampanye ini dilandasi keinginan untuk menciptakan keadilan, kesetaraan dan kesempatan yang sama bagi seluruh peserta pemilu.

“KPI juga bertanggungjawab atas keberlangsungan Pemilu yang jujur dan adil, maka dari itu sebaiknya lembaga penyiaran dapat menahan diri dalam menyiarkan iklan politik sebelum waktunya”, ujarnya. Namun demikian, demi meningkatnya partisipasi publik dalam pelaksanaan Pemilu, KPI mengimbau lembaga penyiaran menayangkan Iklan Layanan Masyarakat tetang penyelenggaraan pemilu ataupun informasi peserta pemilu secara bersamaan.  

Depok - Orientasi lembaga penyiaran terhadap modal mengakibatkan ukuran baik dan buruknya sebuah program yang tampil tergantung pada selera pasar. Sementara alat kontrol yang ada bagi media sangat lemah, baik secara struktural ataupun opini di masyarakat. Hal itu disampaikan KH Ahmad HAsyim Muzadi, Tokoh Nahdlatul Ulama saat dikunjungi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di POndok Pesantren Al Hikam, Depok (23/1). Karenanya Hasyim mengkhawatirkan fenomena kebebasan media yang tanpa kontrol ini. “Jika kondisi ini dibiarkan, maka yang menjadi korban adalah masyarakat. Pragmatisme jadi ukuran dan norma yang diyakini sebagai kebenaran pun menjadi jungkir balik”, ujarnya

Hasyim melihat, ke depan KPI harus menggandeng berbagai tokoh bangsa untuk ikut menyuarakan agenda lembaga ini demi menjaga watak dan kepribadian bangsa yang diam-diam tergerus, salah satunya oleh media penyiaran.  Untuk itu harus ada ukuran yang jelas untuk dipakai KPI, diantaranya regulasi yang kuat untuk penyiaran. “Selain itu orientasi menjaga dunia penyiaran adalah kemaslahatan bangsa”, ujarnya.

Kehadiran KPI sendiri ke kediaman Hasyim Muzadi langsung dipimpin oleh Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad. Sementara komisioner lain yang ikut hadir adalah Bekti Nugroho, Fajar Arifianto, Amiruddin, dan Danang Sangga Buwana. Menurut Judha, masukan dari tokoh-tokoh bangsa seperti Hasyim Muzadi, sangat penting untuk KPI. Apalagi latar belakang Hasyim yang merupakan salah satu tokoh utama organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, diyakini dapat memberikan masukan berharga bagi KPI menata dunia penyiaran agar memberi manfaat yang optimal bagi bangsa.

Hasyim juga memberikan masukan tentang tayangan agama di televisi. Dalam beberapa waktu belakangan memang muncul banyak masukan pro dan kontra pada KPI terkait tayangan-tayangan agama tersebut. Dalam pandangan Hasyim, seharusnya hal-hal yang sudah disepakati sebagai masalah khilafiyah tidak perlu dibicarakan. Karenanya mantan Ketua PBNU ini mengusulkan agar seluruh tayangan agama sebaiknya mendapatkan rekomendasi dari lembaga-lembaga keagamaan masing-masing untuk mengurangi hadirnya keresahan ummat.

Hal lain yang juga jadi sorotan Hasyim adalah eksploitasi seksual yang muncul berbagai tayangan televise, baik itu program siaran ataupun iklan. “Bahkan di iklan-iklan yang  tidak ada hubungannya dengan seks, eksploitasi itu muncul”, sesalnya. Selain itu, tokoh yang pernah maju sebagai calon wakil presiden ini juga menilai banyak tayangan televisi yang merusak sejarah lewat sinetron kolosal. “Kalau mitos difilmkan, silakan saja berimprovisasi. Tapi kalau sejarah, jangan sembarangan membuat jalan ceritanya”, tegas Hasyim. Dirinya memberikan contoh kemunculan kisah Majapahit dan Pajajaran dalam sinetron televisi, yang seharusnya dibuat dengan menjaga keaslian nilai-nilai sejarah. “Sehingga generasi muda kita tidak salah kaprah tentang tokoh-tokoh yang ada di dalamnya”, tambahnya.

Hasyim menyadari betul kekuasaan media saat ini yang demikian dominan. “Bahkan melebihi partai politik dan supra struktur pemerintah”, kata Hasyim.Untuk itu KPI harus segera menggandeng masyarakat untuk memaksa media mengutamakan kemaslahatan bangsa di atas segala-galanya, pungkas Hasyim. 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.