(Jambi) Pesat perkembangan teknologi informasi saat ini juga memiliki dampak yang signifikan bagi dunia penyiaran. Menonton televisi atau mendengarkan radio saat ini tidak harus melalui TV atau radio langsung. Hanya melalui internet kedua siaran media penyiaran itu sudah bisa diakses. Media saat ini sudah mengalami evolusi menuju konvergensi media.

Hal itu menjadi topik diskusi dalam diskusi cluster Bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran. Adapun narasumber dalam diskusi itu salah satunya Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo dan Komisioner Bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran  KPI Pusat Azimah Subagijo. Peserta diskusi adalah komisioner KPID dari 33 Provinsi Bidang Perizinan.

Roy Suryo mengatakan, konvergensi merupakan era cara penyiaran dengan  lintas perangkat atau multilayer. Menurutnya, konvergensi penyiaran tidak ada hubungannya dengan komunikasi massa dan personal.

Menurut Roy, dengan sistem itu, siaran dari belahan manapun dan jenis media apapun akan dengan mudah masuk ke Indonesia. Sedangkan, bagi Roy, hal itu belum memiliki perangkat hukumnya dan membahayakan dan bisa mematikan potensi konten lokal jika tidak benar-benar diperhatikan.

Sedangkan menurut Azimah Subagijo, konvergensi media ini membuat kemudahan akses bagi penggunanya. Dia mencontohkan, bagaimana siaran televisi bisa diakses lewat perangkat telepon pintar. “Bila semua media dan penyiaran sudah melakukan konvergensi ini dan jika tidak persiapkan dari sekarang akan membahayakan potensi siaran lokal kita yang belum maksimal penggarapannya,” kata Azimah dalam diskusi yang berlangsung di Novita Hotel, Jambi, Selasa, 23 April 2014.

Dengan konvergensi, Azimah menjelaskan, keragaman siaran memang didapatkan. Namun dalam konteks berbangsa saat ini, menurutnya konten lokal masih belum tergarap. Dia melihat siaran lembaga penyiaran saat ini masih bersifat sentralistis di Jakarta. Padahal belum tentu masalah yang terjadi Jakarta menjadi kebutuhan bagi penonton di daerah.

“Forum ini sengaja kami buat karena kita baru saja mengirim surat ke lembaga penyiaran untuk menegakkan aturan 10 persen konten lokal itu, sebab kami melihat ada iktikad baik lembaga penyiaran, namun terkesan asal ada saja. Alasannya macam-macam, mahal, belum siap SDM di daerah, hingga potensi iklan. Saya lihat itu masalahnya bukan tidak bisa, tapi tidak mau,” ujar Azimah.

 

Azimah, mencontohkan bagaimana penggarapan konten lokal Indenosia yang sudah banyak dikuasai pihak asing. Padahal lembaga penyiaran membeli konten dari luar dengan harga yang mahal sedangkan penggarapannya di Indonesia.

Diskusi kelompok bidang di KPI membahas semua masalah penyiaran terkini. Di akhir acara yang akan berakhir pada Kamis 23 April 2014 akan dibacakan hasil pleno semua bidang dan dijadikan bahan sebagai peraturan atau bahan rekomendasi dalam rangka memperbaiki penyiaran Indonesia tanpa meninggalkan potensi lokal yang ada.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus melakukan pengawasan terhadap iklan-iklan produk makanan minuman, obat, vitamin, mineral, kosmetik, rokok yang tidak memiliki izin dari lembaga terkait seperti kementerian Kesehatan dan BPOM. Iklan diwajibkan tunduk pada peraturan perundang-undangan dan Etika Pariwara Indonesia (EPI).

Dalam acara pelatihan pengawasan periklanan dan pelebelan pangan di Swiss-Bel Hotel, kawasan Mangga Dua, Jakarta, 15 April 2014, disepakati adanya kerjasama KPI dengan BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan). Kerjasama keduanya akan diintesifkan dalam bentuk MoU (Memorandum of Understanding) dalam waktu dekat. 

Anggota KPI Pusat, Agatha Lily, yang menjadi salah satu narasumber acara itu memandang kerjasama antara KPI dan BPOM sangat penting terkait makin maraknya iklan terkait obat, minuman, makanan, vitamin dan lainnya yang dinilai melanggar aturan. “Kita mengkhawatirkan dampak yang terjadi pada masyarakat. Itu pentingnya kita bekerjasama dengan BPOM,” paparnya.

Menurut Lily, pengawasan tayangan iklan obat, makanan, minuman dan iklan terkait lainnya harus ketat karena ada tayangan iklan yang dimaksud kedapatan melanggar aturan P3 dan SPS, peraturan perundang serta etika pariwara Indonesia (EPI) seperti misalnya iklan yang dibintangi oleh tenaga professional. “KPI menemukan adanya pelanggaran terkait etika profesi, dan juga adanya testimony dalam iklan yang memang tidak boleh dalam aturan,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Lily mengungkapkan pihaknya sudah menyampaikan surat kepada seluruh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) untuk melakukan pengawasan terhadap iklan-iklan yang dimaksud yang tayang di lembaga penyiaran lokal.***

Jambi - Bagi keluarga di Indonesia, televisi seperti ruang keluarga terbesar abad ini. Menonton siaran televisi sebagai sarana pertemuan semua anggota keluarga. Dengan segala perabot rumah tangga yang sesungguhnya, saat menonton televisi bersama keluarga, terdapat ruang pendidikan bagi orang tua kepada anak-anaknya di dalamnya.

Hal itu dikemukakan sutradara Garin Nugroho Riyanto atau yang kondang dikenal dengan nama Garin dalam acara dialog peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-81 yang berlangsung di Novita Hotel, Jambi, Selasa, 22 April 2014. Acara dialog yang disiarkan langsung TVRI Jambi itu mengusung tema, “Mewujudkan Penyiaran Indonesia yang Berdaulat”. 

Pembicara lain dalam dialog itu juga dihadiri oleh Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq dan perwakilan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Hardijanto. Sedangkan peserta yang hadir adalah komisioner seluruh KPI Pusat dan KPID yang acaranya bersamaan dalam pelaksanaan acara Rapat Koordinasi Nasional 2014 (Rakornas).

Menurut Garin, isi siaran televisi adalah jenis hiburan dalam rumah. Selayaknya hiburan dalam rumah, siaran televisi yang baik juga bisa menampilkan siaran tanpa mengabaikan umur dari anggota keluarga yang menonton. Selain itu juga, menurut Garin, juga siaran yang menjunjung nilai-nilai etika dasar yang bisa di terima semua kalangan.

Sutradara film “Mata Tertutup” ini mencontohkan, bagaimana kurangnya etika dalam beberapa materi siaran di televisi. Salah satunya, iklan yang menampilkan anak sekolah yang terlambat sekolah kemudian dimarahi oleh gurunya dan oleh orang tuanya dihadiahi mobil kendaraan pribadi agar tidak terlambat.

“Coba dipikirkan, di mana etikanya? Masa anak kecil diberi hadiah kendaraan pribadi gara-gara terlambat sekolah. Kalau tontonan semacam itu terus-menerus ditayangkan, lama-lama hal itu menjadi lumrah bagi masyarakat kita. Kalau sudah begitu, bapak-bapak dan ibu-ibu di sini yang repot, bakal ditagih oleh anak-anaknya untuk dibelikan kendaraan,” terang Garin yang disambut senyum dan tawa kecil peserta yang hadir. 

Saat waktu pertemuan dengan seluruh anggota keluarga, televisi adalah medium penting itu. Jika isi siaran televisi kian tidak sehat dan tidak informatif, menurut Garin, akan membuat adanya pergeseran makna menonton bersama keluarga.  

“Menonton televisi itu adalah hiburan dalam rumah. Saat menonton bersama keluarga, di situ ada keakraban keluarga di dalamnya. Ada ruang pendidikan di dalamnya. Dalam ruang keluarga itu juga dikuatkan dengan suasana perabotan dan furnitur ruangan, biasanya ada foto keluarga di dalamnya. Dengan siaran saat ini banyak orang tua yang merasa diambil ruang-ruang itu,” terang Garin.   

Saat diminta memberikan refleksi penyiaran selama 81 tahun di akhir acara, Garin lebih banyak bicara dari sudut pandang media televisi. Menurut pria kelahiran Surakarta 1961 ini, kondisi siaran televisi saat ini mengalami penurunan kualitas isi siaran. “Banyak teman-teman produser yang curhat ke saya. karya mereka yang ditayangkan di televisi meski memiliki ratting yang tinggi versi lembaga ratting, namun malu sendiri dengan karyanya,” ujar Garin menuturkan.

Saat ini DPR RI masih menggodok revisi Undang-undang Penyiaran atau Undang-undang Nomor 32 tahun 2002. Dalam konteks peraturan itu, Garin menjelaskan kriteria isi siaran televisi yang ideal bagi masyarakat, yakni televisi yang membebaskan kreativitas, mendorong bisnis, namun tetap diawasi oleh profesionalisme, etika, dan pengetahuan. Menurutnya, demokratisasi dalam penyiaran harus diiringi dengan keterampilan, etika, pengetahuan. 

“Yang perlu dilakukan KPI dalam kondisi saat ini adalah berpihak pada masyarakat dengan nilai-nilai yang diinginkan.  Sudah banyak keluarga yang kehilangan ruang-ruang pertemuannya. Saya melihat industri penyiaran kita saat ini serba bisa. Yang tidak bisa dan tidak punya apa-apa itu justru masyarakat itu sendiri,” papar Garin.  

Sedangkan menurut Hardijanto, berharap agar sistem regulasi penyiaran yang masih dalam tahap  revisi saat ini benar-benar dipikirkan dengan matang sebelum diputuskan. Dia mencontohkan, agar aturan main dunia penyiaran tidak terkesan tanggap saat kondisi darurat. “Regulasi penyiaran kita ke depan jangan bersifat reaktif, tapi bisa antisipatif dan aplikatif. Kemudian, bagaimana menyatukan antara regulator, industri, dan masyarakat itu sendiri,” terang Hardijanto.

Namun Hardijanto mengakui akan isi siaran televisi saat ini yang banyak menuai kritik dari berbagai pihak. Menurutnya kondisi siaran khususnya konten siaran saat ini memiliki persoalan dari berbagai hal. “Kesulitan televisi sekarang adalah kekurangan penulis naskah dan sutradara yang handal,” ujar Hardijanto.

Usai dialog acara puncak Harsiarnas 2014 ditutup dengan penyerahan penghargaan sebagai bentuk apresiasi penyiaran nasional kepada insan atau lembaga yang dianggap memiliki peran aktif dan massif dalam dunia penyiaran. Penerima apresiasi penyiaran nasional tahun ini  diberikan kepada Harry Wiryawan selaku penggagas Harsiarnas. Kemudian Provinsi Kalimantan Selatan atas upaya aktif dalam menggerakkan literasi media. Terakhir diberikan kepada Yayasan Pengembangan Media untuk Anak atas usaha terus menerus menghidupkan literasi media untuk anak.

Penyerahan penghargaan diberikan oleh Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq dan didampingi Ketua KPI Pusat Judhariksawan di hadapan peserta dan komisioner dari 33 provinsi di Indonesia. 

Jakarta - Usai pelaksanaan pemilihan legislatif 2014, Gugus Tugas Pengawasan Pemilu yang terdiri dari empat lembaga, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Komisi Informasi Pusat (KIP) melakukan rapat koordinasi. Rapat koordinasi membahas persiapan pengawasan untuk pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) yang berlangsung pada 9 Juli 2014.

Koordinator Gugus Tugas Jajang Abdullah yang juga Kepala Biro Hukum, Humas, dan Pengawasan Internal (H2PI) Bawaslu mengatakan, saat ini masing-masing lembaga Gugus Tugas masih sibuk dengan tugas kelembagaan terkait pelaksanaan dan pengawasan pemilihan legislatif kemarin. Meski begitu jelang pelaksanaan pemilihan presiden, Gugus Tugas akan tetap berperan sesuai dengan tugas kelembagaan.

“Kita ingin menguatkan lagi komitmen kita di momen Pilpres ini. Kita perlu kita siapkan kegiatan dan bahan-bahan yang terkait dengan pelaksanaan Pilpres ini. Ini agar nanti peserta pemilihan presiden tidak melakukan pelanggaran peraturan KPU,” kata Jajang di Gedung Rapat Bawaslu, Jumat, 25 April 2014.

Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad menjelaskan, penindakan kampanye pemilihan presiden perlu disinkronkan. Menurutnya hal itu sesuai hasil pembahasan Rapat Koordinasi Nasional KPI Pusat dengan seluruh KPID se-Indonesia yang berlangsung di Jambi pada 21-24 April kemarin. Hasil pengawasan Gugus Tugas untuk pemilihan legislatif kemarin, menurut Idy, mendapat apresiasi dari publik dan berbagai pihak. 

“Kemarin kita sudah berusaha semaksimal mungkin, meski belum sempurna. Tapi hal itu banyak diapresiasi banyak pihak,” ujar Idy. Rapat koordinasi Gugus Tugas, menurut Idy, jelang Pilpres sangat penting bagi empat lembaga. Selain sebagai bahan evaluasi dan pembelajaran atas kekurangan dalam pengawasan pemilihan legislatif kemarin, juga perlunya ada surat keputusan bersama yang baru untuk pelaksanaan pemilihan presiden. Dengan begitu Gugus Tugas pengawasan pemilihan presiden ini lebih dimaksimalkan lembaga masing-masing hingga tingkat pengawasan daerah. 

“Yang sifatnya segera adalah Surat Keputusan Bersama SK Gugus Tugas untuk Pilpres. Kedua, surat instruksi bersama ke lembaga masing-masing di daerah. Jadi dari pusat kita sudah solid untuk pengawasan, teman-teman di daerah juga melakukannya. Dengan cara itu, pengawasan untuk Pilpres semakin efektif dari semua lini, dari pusat hingga daerah,” papar Idy.

Sementara Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat John Fresly mengatakan, lembaganya siap meneruskan Gugus Tugas pengawasan yang sudah berjalan pada pelaksanaan pemilihan legislatif kemarin. “Pokok tugas kami dalam Gugus Tugas untuk menyelesaikan sengketa informasi Pemilu. Kami akan tetap dukung untuk Gugus Tugas untuk pengawasan pelaksanaan pemilihan presiden besok. Kami siap sampaikan kembali hal itu ke tingkat bawah di daerah,” papar John.

Untuk persiapan awal Gugus Tugas pengawasan Pilpres, menurut Jajang, terlebih dahulu mengkaji Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Tahapan Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014 dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden sebagai bahan untuk pengawasan Gugus Tugas tahapan Pilpres. Sebagai bahan materi dan isi untuk Surat Keputusan Bersama pengawasan pelaksanaan Pilpres 2014. Saat pemilihan legislatif, empat lembaga mengeluarkan surat keputusan bersama tentang Kepatuhan Pada Ketentuan Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Umum Melalui Media Penyiaran.


Jambi - Salah satu rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2014 adalah peringatan puncak Hari Penyiaran Nasional yang (Harsiarnas) ke-81. Dalam malam puncak Harsiarnas juga menyajikan dialog penyiaran dengan narasumber Ketua Komisi 1 DPR RI Mahfudz Siddiq, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Hardijanto, dan sutradara Garin Nugroho.

 

Mahfudz Siddiq mengatakan, KPI memiliki peran strategis untuk mencerdaskan masyarakat melalui penyiaran. “KPI bertugas untuk memastikan penyiaran kita sesuai dengan budaya masyarakat, dan bagaimana memacu lembaga penyiaran agar dapat menciptakan program siaran yang memajukan harkat martabat,” kata Mahfudz dalam dialog peringatan Harsiarnas di Novita Hotel, Jambi, Selasa, 22 April 2014.

 

Peran KPI ini, menurut Mahfudz, tertuang dalam Undang-undang Nomer 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Saat ini Undang tersebut masih dalam tahap revisi di DPR. Dalam konteks isi siaran, Mahfudz menjelaskan, tugas dan wewenang KPI harus bisa melakukan penyesuaian siaran apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

 

Lebih lanjut Mahfudz menerangkan, saat ini masyarakat semakin pintar dalam menentukan keputusan dan kebutuhannya akan siaran yang informatif, mendidik, dan menghibur. Untuk mengimbangi itu, menurut Mahfudz, KPI tidak bisa berperan sebagai wasit, karena mengurus isi siaran dari lembaga penyiaran saat ini tidak akan pernah selesai.  

 

“Kalau KPI terus-menerus hanya sebagai wasit, akan kelelahan, iya kalau sempritannya didengarkan, kalau tidak, bagaimana?” ujarnya. Dalam kondisi saat ini, bagi Mahfudz, posisi KPI harus berperan sebagai coach atau manajer yang mengkondisikan masyarakat yang sadar dan kritis terhadap media, termasuk penyiaran.

 

Sedangkan bagi sutradara Garin Nugroho, penyiaran saat ini adalah puncak dari industri televisi. Dia mencontohkan, bagaimana pemilik televisi ikut terjun ke politik dan menggunakan medianya untuk menggalang dukungan. Selain itu, menurut Garin, saat ini KPI berada pada era di mana politik, bisnis, dan hiburan menjadi satu.

 

“Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. KPI saat ini hidup dalam puncak industri televisi. Semua bangsa akan mengalami ini. Dan saya kira ini tidak mudah dikerjakan KPI sendirian dalam mengedukasi masyarakat terkait penyiaran ini,” kata Garin menerangkan.

 

Lebih lanjut Garin menjelaskan, dengan kondisi dan tantangan yang ada, KPI diharapkan bisa mengelola modal sosial masyarakat. Menurut Garin, ini terkait dengan wewenang yang diberikan Undang-undang kepada KPI. Dia mencontohkan, kewenangan KPI tidak sama secara hukum seperti yang diberikan kepada KPK.

 

Sejak reformasi, menurut Garin, banyak lembaga kontrol negara independen seperti KPI yang memiliki gejala serupa. “Karena kebijakan KPI belum seperti KPK, maka gunakan modal sosial masyarakat. Ini adalah solusi bagi abad ini dan sudah digunakan banyak lembaga dan negara. Jadikan modal sosial itu sebagai juru bicara. Salah satunya dengan mengajak masyarakat sebagai penjaga bersama akan siaran kita. Dengan cara itu KPI bisa dibumikan,” papar Garin yang disambut riuh tepuk tangan penonton yang hadir.

 

Bagi Garin, masyarakat Indonesia saat sudah menjadi masyarakat televisi. Menurutnya, proses menjadi masyarakat televisi ini mengalami lompatan-lompatan yang tidak sesuai dengan jalurnya. Garin mencontohkan fase literasi yang belum tuntas, dari masyarakat penutur baru ke masyarakat dengan budaya membaca, kemudian ke budaya nonton.

 

“Tapi dalam masyarakat kita ini loncat. Langsung ke masyarakat penonton. Nah, “KPI saat ini hidup dalam era paling menantang. Kalau KPI bisa menghidupkan sadar media, kritis terhadap konten siaran yang kurang berkualitas, maka para produser televisi akan malu membuat acara yang jelek,” katanya.

 

Menyikapi soal buruknya kualitas program acara televisi, Hardijanto menjelaskan, sebenarnya tidak ada masalah dalam perjalanan seperempat abad televisi swasta di Indonesia. Namun satu hal yang menjadi ganjalan terbesar, saat ini industri penyiaran kekurangan penulis naskah dan sutradara handal.

 

Mengenai revisi Undang-undang Penyiaran, Hardijanto berharap, undang-undang itu nantinya harus aplikatif, ada kepastian hukum, dan memiliki keseimbangan peran antara regulator, industri dan masyarakat.

 

Malam puncak peringatan Harsiarnas ini ditutup dengan pemberian penghargaan untuk Harry Wiryawan sebagai Penggagas Hari Penyiaran Nasional, Pemerintah provinsi Kalimantan Selatan sebagai lembaga pemerintah yang peduli terhadap pengembangan program literasi media kepada masyarakat dan kepada Yayasan Pengembangan Media Anak sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang selalu menaruh perhatian terhadap program-program acara khusus anak. [SIP]

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.