Jakarta – Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar penandatanganan pakta integritas tolak judi online bertempat di Kantor KPI Pusat pada Rabu (17/7/2024). Pakta integritas ini sebagai tanggapan resmi dan tegas Sekretariat KPI Pusat dalam pemberatasan judi online yang makin merebak dan berdampak negatif.

Mengawali acara, Umri selaku Kepala Sekretariat KPI Pusat, menegaskan bahwa Sekretariat KPI Pusat yang masih bagian dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI yang merupakan salah satu tim gugus tugas pemberantasan judi online harus menjadi tauladan dan ikut berpartisipasi melawan kegiatan negatif ini.

“Jangan sampai kita yang masih gugus tugas pemberantasan judi online bersama Kominfo, malah ikut-ikutan mengakses judi online,” tegas Umri. 

Penandatanganan pakta integritas ini merupakan bentuk komitmen formal seluruh elemen KPI untuk menolak judi online. Umri juga mengingatkan agar tidak ada pegawai di lingkungan KPI yang terlibat judi online.

“Setelah menandatangani pakta integritas ini, seluruh pegawai KPI yang jumlahnya lebih dari 200 ini, harus menunjukkan komitmennya menolak judi online,” ujar Umri menutup arahannya. 

Melalui penandatanganan pakta integritas ini, KPI Pusat berharap dapat memperkuat komitmen seluruh pegawai dalam menolak segala bentuk judi online. Sekretariat KPI Pusat juga akan menindak pihaknya yang kedapatan mengakses judi online. 

Acara penandatanganan pakta integrotas ini dihadiri oleh lebih dari 200 pegawai Sekretariat KPI Pusat. Secara simbolis, penandatanganan pakta integritas dimulai oleh Kepala Sekretariat KPI Pusat Umri, dan kemudian diikuti oleh ketua-ketua tim kerja serta seluruh pegawai KPI Pusat. Abidatu Lintang

 

 

Bandar Lampung -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat merilis sekaligus mensosialisasikan aplikasi SMILED KPI (Sistem Manajemen Informasi Izin, Lembaga dan Direktori) ke KPID di wilayah Sumetara dan puluhan lembaga penyiaran berizin di Provinsi Lampung, Jumat (12/7/2024). Aplikasi SMILED ditujukan mempermudah pemetaan dan keakurasian data secara efektif dan akuntabel seluruh lembaga penyiaran berizin di setiap daerah.   

Anggota KPI Pusat Muhammad Hasrul Hasan mengatakan, KPI terus berinovasi mengembangkan sistem pendataan lembaga penyiaran secara nasional. Melalui aplikasi SMILED ini, KPI ingin menjawab keingintahuan dan kebutuhan masyarakat mengenai profil, direktori, dan program setiap lembaga penyiaran.

“Publik dapat mengetahui secara menyeluruh program siaran yang dimiliki setiap lembaga penyiaran. Karena aplikasi ini sifatnya terbuka untuk umum. Sehingga kita dapat memastikan kesesuaian program yang disiarkan lembaga penyiaran tersebut,” kata Koordinator bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) di sela-sela kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) SMILED di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung (RIL), Jumat kemarin.

Selain itu, lanjut Muhammad Hasrul, aplikasi ini menjadi salah satu wadah yang dapat mengintegrasikan data lembaga penyiaran yang ada, baik di KPI maupun di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). 

“Setiap tahun kami melakukan proses evaluasi tahunan bagi lembaga penyiaran berjaringan. Data dari SMILED ini menjadi salah satu rujukan kami dalam evaluasi tahunan tersebut. Kami bisa memastikan kesesuaian program siaran di setiap lembaga penyiaran melalui data di SMILED,” kata Muhammad Hasrul.

Saat mengawali acara Bimtek SMILED, Wakil Ketua KPI Pusat Mohamad Reza, menyatakan aplikasi ini dikhususkan mendata seluruh program siaran di lembaga penyiaran. Harapannya di setiap daerah, kelengkapan data tentang program siaran terpenuhi.

“Di daerah Lampung program siarannya apa. Maka tidak ada data yang bisa menjawab itu. Kami kemudian ingin memetakan itu. Karena kami dikhususkan untuk pengawasan isi siaran,” katanya di depan seluruh peserta Bimtek.

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh dari aplikasi khususnya bagi lembaga penyiaran. Pertama, apikasi ini akan merekan seluruh informasi tentang program siarannya. Kedua, aplikasi ini bisa membantu lembaga penyiaran untuk membuat jadwal siaran. “Dan ini bisa dimonitor secara on line,” tambah Echa, sapaan akrabnya. 

Selain itu, data program siaran yang diperoleh aplikasi ini akan diselaraskan dengan hasil kajian MKK (Minat, Kepentingan dan Kenyamanan) Publik KPI. “Jangan -jangan hasil survey kami menemukan bahwa di Lampung ini yang dibutuhkan adalah siaran hiburan. Tapi program siaran dominan di Lampung justru siaran berita. Ini dapat menjadi masukan bagi kita semua,” jelas Mohamad Reza. 

Bahkan, pemerintah daerah pun dapat memanfaatkan aplikasi ini. “Datanya bisa menjadi tolok ukur tersendiri untuk kemudian bersama-sama membangun iklim penyiaran yang sehat. Kami infokan bahwa jumlah radio di Lampung ada 77. Kemudian 26 TV digital 26 dan masih ada anlog pula. Ini jumlah yang tidak sedikit,” ungkap Wakil Ketua KPI Pusat.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Mukhlis Basri, mengapresiasi langkap KPI membuat aplikasi SMILED. menurutnya, hadirnya aplikasi ini akan memudahkan publik atau lembaga penyiaran dalam membuat program siaran yang tepat sasaran. 

“Aplikasi ini merupakan platform revolusioner yang diciptakan KPI. Kemudahan akses aplikasi dapat memberi kekuatan masyarakat untuk membuat siaran yang berkualitas. Salah satu point dari aplikasi ini adalah meningkatkan transparasi dalam hal pengawasan siaran. Kita beharap dengan adanya aplikasi ini, masyarakat jadi turut berperan aktif,” katanya secara daring. 

Mukhlis juga berharap keberadaan aplikasi ini akan memicu kehadiran tayang dan siaran yang mendidik dan menghibur. “Saya yakin aplikasi ini dapat berperan aktif dalam pengembangan dunia penyiaran di tanah air,” ujarnya. 

Dalam kesempatan ini, Mukhlis meminta perhatian seluruh elemen penyiaran di Lampung untuk membantu dan peduli dengan pemberatasan judi online. Dia berharap lembaga penyiaran menyampaikan info kepada masyarkat untuk menghidari aktifitas negatif ini. “Ini sangat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Korban judi sekarang tidak hanya orang dewasa, tapi juga merambah ke remaja dan anak sekolah,” tutupnya. 

Rencananya, Bimtek aplikasi SMILED untuk lembaga penyiaran dan KPID akan digelar KPI Pusat di sejumlah daerah. Harapannya, dalam waktu singkat, aplikasi ini sudah dapat dimanfaatkan dan datanya dapat diakses secara terbuka. ***

 

 

 

Jakarta -- Salah satu tujuan dari migrasi siaran TV analog ke TV digital atau ASO (analog switch off) adalah menghapus daftar wilayah tanpa siaran atau blank spot di Indonesia. Sayangnya, setelah proses digitalisasi berjalan justru masih ada daerah di tanah air yang belum terjangkau siaran termasuk di wilayah perbatasan. Kondisi ini menjadi PR (pekerjaan rumah) bersama yang harus dicarikan jalan keluarnya.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, di sela-sela acara Dialektika Demokrasi dengan tema “Penyiaran di Daerah Perbatasan Sebagai Penjaga Kedaulatan Negara” yang diselenggarakan di Pusat Penyiaran dan Informasi Parlemen (PPID), Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/7/2024).

Menurut Reza, penyebab siaran di wilayah perbatasan belum sepenuhnya terakomodasi siaran dalam negeri, masalahnya di regulasi. Pasalnya, berdasarkan ketentuan soal penyelenggara multipleksing (MUX), lembaga penyiaran (TV) swasta hanya bertanggungjawab menjangkau 70% dalam satu wilayah layanan siaran. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang urus sisanya sebanyak 30%. “Di situlah seharusnya instrumen negara masuk, dalam hal ini TVRI dan RRI. Saya pernah usulkan agar RRI dan TVRI berkolaborasi untuk mengisi slot yang ada. Karena sekarang RRI pun tidak hanya bermain di audio saja tapi juga di visual. Jika kita ingin mewujudkan keragaman konten, maka  instrumen negara harus memberi contoh. TVRI bisa bikin, RRI juga bisa bikin,” katanya.

Permasalahan lainnya, lanjut Reza, terkait aturan biaya sewa yang dibebankan kepada penyelenggara siaran ke penyelenggara MUX. Hal ini makin membebani lembaga penyiaran swasta termasuk juga lembaga penyiaran komunitas (LPK), yang hadir di perbatasan. Salah satu contohnya pada saat uji coba siaran digital di Nunukan, Kalimatan Utara (Kaltara) tahun 2019.

“Pada waktu itu kita mengundang seluruh lembaga penyiaran swasta untuk ikut bergabung dalam siaran dan semuanya on air. Tapi selang beberapa lama, siarannya satu demi satu berkurang karena ada masalah di regulasi tadi. Hal ini dikarenakan adanya aturan yang mewajibkan setiap penyelenggara siaran yang menggunakan MUX harus bayar. Karena ada aturan terkait PNBP yang tidak boleh gratis. Jatuhnya, teman-teman TV swasta bingung, kan kami diajak kenapa harus bayar, Jadinya mereka mundur satu per satu. Padahal tadinya program ini sudah bagus,” ungkap Reza.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, mendorong agar masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan lebih suka dengan siaran televisi dari negara tetangga. Dia menilai siaran dari negara-negara tetangga itu justru bakal membawa kepentingan negara itu. Oleh karenanya, negara ini harus segera berpindah ke sistem penyiaran digital secara keseluruhan hingga memperkuat ke wilayah-wilayah perbatasan.

"Karena memang ketika kita menggunakan spektrum siaran analog, kita akan sangat berdampak, ada intervensi dengan frekuensi yang lain," kata Kharis.

Dia menambahkan, bahwa UU Penyiaran tahun 2002 disusun ketika dunia penyiaran Indonesia belum mengenal sistem digital. Sehingga sudah tentu menurutnya undang-undang tersebut belum mengatur terkait digital.

Walaupun Indonesia sudah melakukan ASO beberapa tahun lalu, lanjut Kharis, hal ini belum menjangkau ke semua wilayah. Permasalahannya, kata dia, pemerintah pun tidak bisa memaksa kepada perusahaan siaran swasta untuk menjangkau siaran digital di semua wilayah. "Oleh karenanya DPR RI saya kira mendapat amanat untuk memperkuat siaran di perbatasan," ujarnya secara daring.

Di tempat yang sama, Anggota DPR RI Hasbi Anshory, meyakini kunci sukses membangun kedaulatan negara di daerah perbatasan adalah melalui pembangunan infrastruktur penyiaran di daerah tersebut. 

Selain itu, upaya komunikasi secara intensif dan kerja sama pemerintah pusat dengan pemerintah daerah juga menjadi langkah dalam memberdayakan dan makin menumbuhkan semangat nasionalisme masyarakat di daerah perbatasan.

“Yang perlu kita garisbawahi di perbatasan itu jaringan kita masuk atau tidak? Kalau kita bilang untuk menjaga merekat kebangsaan tapi mereka tidak bisa menonton media dari Indonesia sama aja juga bohong,” papar Hasbi Anshory. 

Ketua KPID Provinsi Riau, Hisyam Setiawan, menyoroti pembagian set top box (STB) untuk masyarakat di perbatasan yang justru memfasilitasi mereka lebih banyak mendapatkan siaran dari negara tetangga. Menurutnya, hal ini dikarenakan sedikitnya siaran dalam negeri yang bersiaran atau bergabung dalam MUX yang dikelola TVRI. Selain itu, MUX TVRI hanya menyediakan 4 siaran internalnya.

“Kita mendorong TV swasta untuk hadir di MUX TVRI di wilayah perbatasan karena kalau di TV kabel terlalu banyak siaran yang dari asing karena source-nya dari parabola. Kami juga mau sampaikan di sini jika di Kabupaten Kepulauan Meranti, dari 12.666 STB yang sudah diserahkan dan diterima masyarakat. Namun sayangnya, stasiun TVRI di sana tepatnya di Kota Selat Panjang, tidak aktif sampai sekarang. Lantas masyarakat yang mendapatkan bantuan STB berusaha mendapatkan siaran dari negara tetangga, Malaysia. Artinya, negara membantu masyarakat menonton siaran dari negara tetangga,” ungkapnya.

Berdasarkan kasus ini, Hisyam berharap ada upaya berupa solusi dan kebijakan diskresi dari pemerintah. Terkait hal ini, KPID Riau telah membuat rekomendasi yakni mendesak agar TVRI di stasiun di Selat Panjang segera aktif. Kemudian, mendorong lembaga penyiaran swasta untuk ikut hadir di wilayah perbatasan sebagai upaya menjaga kedaulatan NKRI. 

“Ketiga kami mendorong partisipasi generasi Z dan generasi millineal di wilayah perbatasan untuk dapat memproduksi siaran-siaran yang nantinya akan dapat disiarkan di stasiun TVRI melalui MUX TV digitalnya agar dapat memperkuat nasionalisme warganya di wilayah perbatasan,” tandasnya. ***/Foto: Teddy R

 

Bandar Lampung -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung (RIL) melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) dalam rangka pengembangan dunia penyiaran di tanah air. Penandatanganan kerjasama ini dilakukan langsung Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dan Rektor UIN RIL, Prof. H. Wan Jamaluddin, di Ruang Rektorat UIN RIL, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Jumat (12/7/2024).

Dalam pengantarnya, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah mengatakan, pihaknya sangat antusias dengan kerjasama ini. Menurutnya, kerjasama dengan perguruan tinggi sangat penting, terutama dalam rangka memperluas jangkauan pengawasan KPI yang saat ini masih fokus pada media televisi dan radio.

“Kami berharap melalui kerjasama ini ke depan penyiaran semakin baik. Oleh karena itu, masukan dan kerjasama dari pihak akademisi seperti UIN Raden Intan Lampung sangatlah penting,” ujarnya.

Di sela-sela sambutannya, Ubaidillah mengungkapkan situasi penyiaran di tengah massifnya perkembangan media baru. Padahal, sesuai dengan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 wilayah pengawasannya hanya TV dan radio. “Kita belum bisa menyasar platform media baru yang beberapa waktu ramai dibahas dalam RUU Penyiaran yang draftnya belum resmi,” jelasnya. 

Menurut Ubaidillah, usia UU Penyiaran sudah lebih dari 20 tahun. Sedangkan teknologi komunikasi dan penyiaran makin berkembang, Bahkan, siaran TV pun sudah bermigrasi dari analog ke digital. 

“Maka perlu regulasi baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Tentunya, pihak-pihaj dari kampus kita minta masukan ketika nanti draft RUU Penyiaran telah diserahkan DPR ke Pemerintah dan KPI secara kelembagaan akan mengundang banyak pihak untuk memberi masukan. Karena yang dibahas tidak hanya soal kelembagaan KPI, tapi bagaimana proses bisnis ke depan, bagaimana mazab ke depan, mengkonsumsi media tidak hanya melalui media penyiaran tapi juga internet yang di negara-negara luar seperti Malaysia dan Thailand sudah diatur,” jelas Ubaidillah.     

Sementara itu, Rektor UIN RIL Prof. H. Wan Jamaluddin, mengatakan kerja sama ini merupakan langkah strategis dalam membangun kolaborasi konstruktif antara kedua institusi. Menurutnya, kolaborasi ini sangat penting di era digital dan semakin berkembangnya industri penyiaran. 

“Kami menyambut baik kerjasama ini dan berharap dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kedua belah pihak. UIN Raden Intan Lampung membutuhkan banyak mitra, salah satunya KPI untuk membantu mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi, menghasilkan lulusan yang kompeten, berakhlak mulia, dan siap bersaing di kancah global,” ujar Prof. Wan Jamaluddin.

Lebih lanjut, Prof. Wan Jamaluddin menjelaskan bahwa kerjasama ini sejalan dengan amanat UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang bertujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia yang sehat dan berkualitas.

“Melalui kolaborasi ini, UIN Raden Intan Lampung dengan KPI dapat bersinergi dalam mewujudkan penyiaran yang berkualitas, sehat, dan mencerdaskan bangsa. UIN Raden Intan Lampung dengan sumber daya manusia dan keahliannya di bidang akademik, dapat berkontribusi dalam pengembangan riset, edukasi, dan pelatihan di bidang penyiaran,” paparnya. 

Penandatangan MoU ini turut dihadiri dan disaksikan Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang PKSP (Pengelolaan Kebijakan dan Struktur Penyiaran), Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso dan Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri. Hadir pula Ketua KPID serta jajaran Anggota KPID Provinsi Lampung. 

Usai penandatanganan MoU, acara dilanjut dengan Bimtek Sistem Manajemen Informasi Izin, Lembaga dan Direktori KPI atau disingkat dengan SMIILED KPI di Ruang Senat dan di Gedung FDIK UIN Raden Intan Lampung. ***

 

 

Jakarta - Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Evri Rizqi Monarshi, menekankan pentingnya revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran untuk segera disahkan. Harapan ini disampaikannya dalam acara "Seminar Nasional Keterbukaan Informasi Publik dan Demokratisasi Media Penyiaran di Indonesia" di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, (11/7/2024). 

Evri menyoroti perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi media dari konvensional ke media baru atau Over-The-Top (OTT). Menurutnya, fenomena ini harus diwaspadai karena saat ini belum ada pengawasan yang memadai terhadap konten-konten OTT di Indonesia.

"Saat ini, dari 270 juta penduduk Indonesia, lebih dari 126% menggunakan perangkat mobile, yang artinya satu orang bisa memiliki dua hingga tiga gadget. Namun, pengawasan terhadap konten masih sangat minim," ujar Evri.

Evri juga menyinggung pentingnya RUU Penyiaran yang sudah lama dinantikan. Draft revisi yang ada sejak 2014, baru sekarang mendapat perhatian serius untuk segera disahkan. Perlu adanya kesetaraan pengawasan antara media konvensional dan OTT.

"Banyak konten di YouTube, Netflix, dan platform lainnya yang belum diawasi, termasuk konten kontroversial yang tidak layak ditonton oleh anak-anak. Maka, revisi undang-undang ini sangat mendesak," tambah Evri. 

Dia juga menguatkan perlu ada penguatan kelembagaan KPI. Masih dalam rangka pengawasan supaya kuat hingga tingkat daerah. Pengawasan yang setara juga menjadi penting untuk menjaga kualitas informasi.

"Media konvensional masih menjadi rujukan utama bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi. Namun, iklan-iklan sekarang lebih banyak beralih ke OTT, yang menunjukkan perlunya pengawasan yang setara agar informasi yang disampaikan tetapi bisa dipertanggungjawabkan," tegas Evri.

Sebagai penutup, Evri kembali menyampaikan apresiasi kepada UIN Syarif Hidayatullah dan meminta dukungan publik untuk turut menyuarakan RUU Penyiaran. Acara seminar berlangsung interaktif. Peserta aktif memberikan tanggapan menunjukkan tingginya perhatian dan kepedulian terhadap isu penyiaran di Indonesia. Abidatu Lintang/Foto: Syahrullah

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.