Bogor - Forum Rapat Bersama (FRB) antara Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo RI) memutuskan untuk mengadakan pertemuan khusus -- sebagai forum konsultasi -- dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus proses perizinan. Hal ini dimaksudkan agar keputusan di FRB jelas dan memenuhi azas kepastian hukum.

“Kami menyambut gembira atas putusan ini. Kami berharap kasus-kasus yang muncul dapat satu-persatu terselesaikan, sehingga masyarakat dapat segera memperoleh manfaat dari kehadiran lembaga penyiaran di daerahnya”, ujar Azimah, Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran pada saat FRB di Gedung LIPI Bogor (17/2).

Penyelesaian kasus-kasus dalam proses perizinan ini memang memerlukan koordinasi yang intensif antara KPI dengan Kemenkominfo RI. Sebab berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran, kewenangan, tugas dan kewajiban antara KPI dengan Kominfo itu berbeda. Namun perbedaan tersebut dijembatani dengan adanya Nota Kesepahaman (MoU), Perjanjian Kerjasama dan dengan membentuk Tim Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal).

Amirudin yang juga merupakan komisioner bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran pun menambahkan, sejumlah kasus itu antara lain terkait dengan banyaknya lembaga penyiaran yang masih mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)-Prinsip tetapi sudah mati dan belum mengurus Izin Stasiun Radio (ISR) untuk uji coba siaran. Juga soal keberadaan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) yang belum memiliki Peraturan Daerah (Perda), atau sebaliknya sudah memiliki Perda, tetapi frekuensinya sudah dipakai LPP RRI sebagai stasiun relai.

Itu semua memerlukan penanganan khusus, agar segera mendapatkan kepastian. Sementara pelayanan perizinan memerlukan asas cepat, akurat, adil, dan akuntabel sebagaimana yang diinginkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Rachmat Widayana, Direktur Operasi Sumber Daya, Ditjen SDPPI Kominfo sepakat dengan Amirudin. “Prinsip cepat, tepat, mudah, dan berkekuatan hukum serta mensegerakkan untuk memberikan putusan (diterima/ditolak) atas permohonan IPP ini perlu terus menjadi kredo dalam pelayanan perizinan penyiaran,” tegasnya.

FRB 5 (lima) provinsi DKI, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, NTB dan Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Rachmat Widayana dan dihadiri oleh masing-masing KPID dan Balmon dari masing-masing perwakilan provinsi berlangsung lancar. (Int)

Batam — Masyarakat Indonesia sekarang dihadapkan dengan banjir informasi yang mudah diperoleh. Hal ini tidak bisa ditepis seiring makin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Namun disayangkan, penggunaan media ini oleh masyarakat belum begitu optimal pemanfaatannya.

“Untuk itulah literasi media dibutuhkan masyarakat untuk memilah dan memilih muatan media. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, ketika batas antara wilayah publik dan privat seperti sudah tidak ada sekatnya.” Demikian ujar Freddy H Tulung, saat membuka kegiatan Forum Literasi Media bertajuk : “Menuju Indonesia Hebat Melalui Literasi Media untuk Mewujudkan Masyarakat yang Informatif,” di Batam, belum lama ini.

Sementara, Komisioner KPI Pusat, Azimah menuturkan perihal dampak negatif dari media lain yakni televisi. Menurutnya, masyarakat jadi mudah meniru, terbawa dengan pengaruh buruk dan tidak menerima informasi yang seimbang akibat adanya kepentingan dari setiap pemilik stasiun televisi.
 
Azimah menambahkan saat ini media dijadikan sebagai tools berbagai kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Efeknya tentu saja mempengaruhi agenda dan opini masyarakat hingga ke budaya dan life style. “Jika membiarkan media tanpa pengawasan, sama saja seperti kita membiarkan kedzaliman di depan mata. Padahal seharusnya masyarakat mendorong media untuk dapat menyeimbangkan situasi komersialisasi dan industrialisasi media dengan kepentingan publik. Media merupakan saluran bagi partisipasi masyarakat untuk mengawasi pemangku kepentingan dalam koridornya dan masyarakat berhak mendapatkan tayangan yang berkualitas,” jelasnya,

Selain itu, Azimah mengatakan media harus menjalankan fungsi idealnya. “Media seharusnya bisa memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa, membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, juga harus mampu menumbuhkan industri penyiaran Indonesia,” ujar koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Pusat .

Tak lupa, Azimah mengingatkan tantangan media yang semakin kompleks di kemudian hari. Menghadapi ini, diperlukan sinergi antara Kemenkominfo untuk pengawasan informasi yang beredar di internet, KPI untuk penyiaran, Dewan Pers untuk Pers, Gugus Tugas untuk pornografi dan yang paling penting adalah masyarakat yang menerima informasi dari media yang ada.

“Semoga ini bisa mewujudkan terciptanya siaran yang berkualitas, bermartabat dan mampu menyerap juga merefleksikan aspirasi masyarakat agar mampu menjadi benteng dari pengaruh buruk dari berbagai informasi yang beredar di semua media,” harapnya.

Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian dari acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2015. Hadir sebagai narasumber Azimah Subagijo (KPIP), Stanley Adi (Dewan Pers), Priambodo (PWI) dan Ngaliman (Akademisi, Universitas Batam).

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berencana untuk menerbitkan peraturan baru terkait lembaga penyiaran berlangganan (LPB) atau TV berlangganan. Peraturan tersebut bertujuan untuk memberikan ruang pada lembaga penyiaran swasta lokal (LPS) khususnya televisi lokal yang beroperasi di daerah.

LPB atau TV berlangganan yang dimaksud, misalnya First Media, Indovision, K-vision, Groovia TV, OkeVision dan lain-lain. LPB tersebut bersiaran menggunakan satelit maupun kabel.

Selama ini, terdapat aturan pemerintah yang mewajibkan LPB untuk memberi tempat 10 persen untuk diisi dengan konten lembaga penyiaran swasta (LPS). Namun aturan tersebut disalahpahami oleh LPB.

"Kita baru mau bikin peraturan KPI. Karena peraturan menteri belum begitu jelas, hanya mengatur harus menyertakan 10 persen program LPS lokal," kata Komisioner KPI Pusat Azimah Zubagijo usai acara Diskusi Perizinan, Digitalisasi, Pemanfaatan Frekuensi dan Pengaturan konten di Jakarta, Jumat (13/2/201).

Akibat peraturan yang tidak jelas tersebut, mayoritas LPB hanya menyematkan konten LPS lokal dan yang berasal dari Jakarta. Misalnya, LPB yang menyelenggarakan siaran di Sumatera Utara justru menyematkan siaran TVRI pusat, padahal mestinya mereka menyematkan TVRI Sumatera Utara.

"Kan lokal ini bisa juga pengertian dalam negeri, akhirnya mereka mengambil program dari LPS yang ada di Jakarta. Jadinya LPS lokal setempat itu tidak bisa dinikmati melalui LPB," kata Azimah.

Azimah menerangkan, "Dalam konteks penguatan penyiaran dalam negeri itulah maka ada kewajiban untuk menyediakan 10 persen untuk LPS lokal. Peraturan pemerintah hanya menyebut seperti itu, namun KPI berencana menguatkannya sehingga bukan cuma LPS dalam negeri saja tapi juga (mempertimbangkan unsur) LPS lokal."

Saat ini, menurut Azimah, peraturan yang disusun KPI sudah 80 persen selesai. Tahap selanjutnya adalah pembahasan serta proses pengesahanya pada Rapat Koordinasi Nasional KPI di Makassar, 31 Maret - 1 April 2015. "Tinggal disahkan di rakornas KPI di Makassar. Sekarang draft-nya sudah 80 persen, sudah tahap minta masukan dari KPI," jelasnya.

"Kalau di daerah luar Jawa karena kendala geografis yang ada, masyarakat sulit menangkap TV free to air. Kalau tidak menggunakan parabola, mereka menggunakan TV kabel (berlangganan)," tegasnya.

Masalah ini, Azimah, sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu alasannya adalah konten TV berlangganan yang sebagian besar sudah diisi dengan saluran asing, sedangkan saat ini tidak peraturan yang ada justru disalahpahami.

Regulasi yang mengatur tentang TV berlangganan adalah Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran LPB dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia nomor 41 tahun 2012. Sumber dari Kompas

Jakarta - Jelang pelaksanaan Hari Raya Nyepi 2015, tiga lembaga mengunjungi Kantor KPI Pusat yakni, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, Komisi I DPRD Provinsi Bali, dan Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi Provinsi Bali. Kunjungan itu dalam rangka sosialisasi himbauan penghentian siaran untuk seluruh Lembaga Penyiaran di wilayah Bali saat pelaksanaan Nyepi yang jatuh pada 21 Maret 2015.

Ketua KPID Bali Anak Agung Gede Rai Sahadewa mengatakan selama empat tahun terakhir pelaksaan Nyepi di Bali tanpa siaran di Lembaga Penyiaran cukup sukses. "Untuk Lembaga Penyiaran di Bali sendiri bisa langsung kami hubungi, sedangkan untuk Lembaga Penyiaran yang operatornya di Jakarta butuh dukungan KPI Pusat," kata Gede Rai di Ruang Rapat KPI Pusat, Selasa, 17 Februari 2015.

Kunjungan diterima oleh Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Bekti Nugroho. Bekti menjelaskan pelaksanaan Nyepi di Bali selalu mendapat dukungan dari KPI Pusat. Menurutnya, pada tahun-tahun sebelumnya KPI Pusat mengeluarkan surat edaran berupa himbauan tidak bersiaran untuk Lembaga Penyiaran berjaringan yang berpusat di Jakarta yang jangkauannya sampai Bali saat pelaksanaan Nyepi.

"Nyepi itu adalah laku prihatin. Akan kita dukung. Tahun-tahun sebelumnya kita juga melakukan sosialisasi dan mnegelurakan surat himbauan kepada seluruh Lembaga Penyiaran untuk menghentikan siaran di wilayah Bali saat pelaksanaan Nyepi," ujar Bekti. 

Ketua Komisi I DPRD Bali Ketut Tama Tenaya menyatakan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah menyukseskan pelaksanaan Nyepi pada tahun-tahun sebelumnya tanpa siaran dari Lembaga Penyiaran. Tahun ini, pihaknya selaku perwakilan masyarakat Bali akan berkoordinasi dengan pihak terkait agar bisa lebih sukses dari tahun lalu, agar pelaksanaan Nyepi tahun ini lebih khusuk.

Di akhir acara Ketut Tama Tenaya menyerahkan surat sosialisasi himbauan pengehentian siaran untuk Lembaga Penyiaran saat pelaksanaan Nyepi kepada KPI Pusat yang diterima langsung oleh Bekti Nugroho.

Tarakan - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat akhirnya memutuskan memindahkan lokasi kegiatan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) terhadap 8 (delapan) pemohon Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dari kota Tanjung Selor ke kota Tarakan. Keputusan mendadak ini diambil menyusul kabar meluapnya sungai Kayan sehingga banjir setinggi satu meter merendam hanpir seluruh ibukota Kalimantan Utara itu. Kondisi banjir ini juga telah dinyatakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Utara sebagai situasi tanggap darurat dalam dua pekan kedepan (Radar Tarakan, 11/2/2015).

“Sedianya kami memang akan menyelenggarakan EDP di Tanjung Selor. Mengingat 6 dari 8 pemohon IPP, mereka memohon untuk wilayah Tanjung Selor. Kami bahkan sesudah kirim tim advance untuk verifikasi factual sejak tanggal 8 Februari 2015 ke Tanjung Selor, tapi pukul 05.00 Wita kami putuskan pindah ke kota Tarakan setelah mendengar kabar banjir semakin parah, listrik mati, dan gelombang laut dari Tarakan ke Tanjung Selor sangat tinggi,” ungkap Azimah Subagijo, Koordinator Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) KPI Pusat.

Kegiatan EDP Kaltara ini kemudian dipindahkan ke kantor Walikota Tarakan, “Kami mengucapkan terimakasih atas dukungan dari Pemkot Tarakan yang cepat merespon permintaan kami sehingga kegiatan EDP ini dapat tetap terselenggara,” ujar Maruli Matondang, Sekretaris KPI Pusat pada laporan pelaksanaan EDP di Kaltara.

Akibat kepindahan ini menyebabkan peserta EDP berkurang, dari 8 (delapan) pemohon IPP yang mengikuti EDP hanya tujuh pemohon yang hadir, satu pemohon yaitu PT. Mitra Televisi Tanjung Selor memohon maaf tidak bisa hadir. “Mohon maaf kami tidak bisa ikut EDP karena perubahan yang mendadak ini, menyangkut akomodasi dan transportasi yang sudah kami persiapkan sebelumnya, dan sudah kami cek tidak memungkinkan diubah untuk menyesuaikan perubahan tempat EDP yang mendadak tersebut,” demikian pesan singkat yang diterima panitia dari Risma, wakil PT. Mitra Televisi Tanjung Selor.

Kejadian dalam proses pelayanan perizinan terimbas bencana banjir baru kali ini dialami KPI Pusat. Tentu kondisi ini bukan hal yang diinginkan dan tak terelakkan. “Kondisi banjir di Tanjung Selor, bisa dikategorikan Force Major sehingga semua pihak harus menyikapinya secara bijaksana,” ujar Bekti Nugroho, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan yang juga turut hadir dalam acara tersebut.

Untuk itu, 5 komisioner KPI Pusat kemudian berembuk dan memutuskan memberi kesempatan kedua kepada PT. Mitra Televisi Tanjung Selor untuk melakukan EDP. “Kami tunggu PT. Mitra Televisi Tanjung Selor di Tarakan hingga pukul 12.00 Wita tanggal 12/02/2015 jika tidak hadir juga maka kami anggap mengundurkan diri,” demikian pesan singkat dari komisioner KPI Pusat Danang Sangga Buwana yang juga selaku penaggungjawab kegiatan EDP Kaltara ini, kepada PT. Mitra Televisi Tanjung Selor.

Kegiatan EDP ini merupakan proses perizinan awal bagi setiap pemohon IPP. Pasal 33 (4a) UU 32/2002 menyatakan bahwa izin dan perpanjangan IPP diberikan oleh Negara setelah memperoleh masukan dari hasil EDP antara pemohon dengan KPI. Untuk provinsi yang sudah terbentuk KPI Daerah, maka penyelenggaraan EDP dilakukan oleh KPI Daerah setempat. Namun karena Kaltara adalah Provinsi baru, maka EDP masih diselenggarakan oleh KPI Pusat.

Dalam kesempatan EDP kali ini, turut hadir dari unsur komisioner KPI Pusat yaitu, Amirudin dan Rahmat Arifin, sedangkan narasumber dari unsur masyarakat dan Pemda Kaltara adalah  Drs. Firmananur, M.Si (Asisten Administrasi Umum Kota Tarakan), KH. Zainudin Dalita (Ketua Umum MUI Provinsi Kalimantan Utara), Rahmat Budi Harto (Kasi Pemantauan dan Penelitian Balmon Samarinda Kemenkominfo RI), dan Masrur Ali Nuri, SH, MH (Dosen Fak. Hukum Univ Borneo Tarakan). –Dhea-

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.