Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) didorong supaya mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah untuk membentuk lembaga rating alternatif dengan pendanaan berasal dari APBN. Selain memberi opini berbeda terhadap data rating di tanah air, adanya lembaga lain akan menimbulkan persaingan sehat bagi semua pihak termasuk industri penyiaran.

Pendapat dan keinginan tersebut mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan KPI Pusat dengan tema “Quo Vadis Rating dalam Dunia Pertelevisian Indonesia” di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kamis, 27 Juni 2013.

Saat ini, satu-satunya lembaga rating yang ada di Indonesia hanyalah Nielsen. Dalam industri pertelevisian di tanah air, rating  dari Nielsen terkait acara televisi menjadi patokan sebuah program acara apakah sukses atau tidak tanpa menilai kualitas isinya. Karena tidak adanya lembaga rating lain, rating Nielsen menjadi satu-satunya dewa bagi televisi.

Amir Effendi Siregar, pengamat media penyiaran, salah satu narasumber diskusi, mengatakan rating menyebabkan keberagaman isi siaran menjadi hilang. Lihat kondisi yang tergambar dilayar kaca, hampir semua isi televisi seragam dengan porsi hiburan yang dominan. “Kita ini perlunya keanekaragaman,” kata Amir yang diawal presentasinya menjelaskan bagaimana survey yang dilakukan Nielsen sangat bias Jakarta dan bias urban sangat tidak merefresentasikan semua masyarakat Indonesia.

Kondisi yang terjadi ini, menurut Amir,  harus diperbaiki mulai dari sistem penyiarannya. Sistem penyiaran yang dianut negara ini berikut sistem ratingnya dinilai absurd. Perubahan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 yang sedang diproses harus memberi kepastian sistem tersebut. “Lembaga rating harus ditambah,” tegasnya di depan puluhan peserta yang sebagian besar datang dari industri penyiaran.

Hal senada dengan Amir turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nina Mutmainnah. Menurutnya, sistem rating yang ada sekarang sangat tidak peduli dengan keberadaan pasar lokal. Sistem yang ada sekarang lebih pro pasar nasional.

Seharusnya, lembaga rating membuat sistem yang lebih mewakili Indonesia dan lebih merata samplenya. Rating yang jadi acuan utama sekarang sama sekali tidak berhubungan dengan kualitas program. “Kami melihat bahwa sistem rating sekarang sangat tidak peduli local. Seandainya sistem siaran jaringan berjalan, kita akan leboh berharap lembaga rating alternatif akan tumbuh. Sehingga banyak terbuka lembaga rating di daerah,” kata Nina yang juga menjadi narasumber di acara tersebut.

Sayangnya, kata Nina, rating bukan menjadi kewenangan KPI di UU Penyiaran. Bahkan di draft revisi UU Penyiaran itu tidak ada demikian juga dengan hasil draft dari Baleg. Sekarang, yang penting dibicarakan apakah rating ini valid dan reliable. “Publik perlu diyakinkan karena pemainnya tunggal. Jadi yang diperlukan adalah transparansi,” jelasnya.

Meskipun demikian, lanjut  pengajar di Universitas Indonesia (UI) ini, KPI dapat mendorong dibentuknya audit rating yang pelaksanaannya dibiayai oleh industri penyiaran, pemasang iklan, agensi periklanan, dan lembag riset. Hal ini sudah dilakukan di Amerika. “Ada media rating council. Ini bisa tumbuh jadi asosiasi, seperti yang sudah ada pada lembaga polling. Kalau ini jalan maka kita akan dapatkan sistem penyiaran yang leibh baik,” paparnya penuh harap.

Sebelumnya, perwakilan Nielsen, Ardiansyah, dan Host Hitam Putih, Deddy Corbuzier, memaparkan presentasi dan pendapatnya. Menurut Deddy, jika pelaksanaan survey tidak mewakili lebih dari 51% dari penduduk, rating yang ada tidak bisa disebut mewakili semua orang. Selain itu, rating seharusnya menjadi sarana pendidikan.

Diawal diskusi, Wakil Ketua KPI Pusat, Ezki Suyanto, memberikan sambutan dan pandangannya. Dikatakannya, rating selama ini jadi salah satu faktor yang dilihat oleh lembaga penyiaran dan menjadi dewa. Dan, program yang ditegur oleh KPI setelah dicek, rating-nya ternyata tinggi. Red

(Jakarta) - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali memanggil Trans TV terkait program Sexophone yang dinilai kembali menayangkan pembahasan masalah seks yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) kemarin (26/6). Dalam forum klarifikasi tersebut, hadir Wakil Ketua KPI Pusat Ezki Suyanto, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Nina Mutmainah, Koordinator bidang Kelembagaan Azimah Subagijo, Komisioner bidang Perizinan dan Infrastruktur Penyiaran Dadang Rahmat Hidayat.

Di awal pertemuan, Nina yang memimpin forum tersebut menyampaikan hasil analisa dari KPI Pusat atas Sexophone. Dalam periode Maret-Juni 2013, Nina melihat ada beberapa topik Sexophone yang tampil demikian deskriptif atas perilaku seks tertentu, hingga tak heran banyak pengaduan yang masuk ke KPI menilai program ini mempromosikan seks bebas. Selain itu, dalam pengamatannya, Sexophone jarang menyebut kata suami-istri untuk bicara soal aktivitas seks ini, melainkan hanya menyebut “pasangan seksual”.

Senada dengan Nina, Azimah juga melihat adanya tendensi dari Sexophone untuk merendahkan institusi pernikahan. Lebih lanjut, menurut Azimah, dalam hasil analisa tim kajian pornografi KPI Pusat, banyaknya muatan seks yang menyimpang dan kecenderungan Sexophone menjadikannya sebagai bukan sesuatu yang bermasalah, menjadikan program ini seharusnya tidak ada lagi di layar TV.

Dalam pertemuan tersebut Ezki Suyanto juga mengingatkan pengategorian Sexophone sebagai program jurnalistik. Menurutnya, program jurnalistik haruslah menyangkut kepentingan publik, dan hal tersebut sudah jelas dalam P3 & SPS tentang apa yang disebut kepentingan publik. “Jangan sampai prinsip-prinsip jurnalistik dikaburkan dengan acara seperti ini hanya karena tidak mau adanya penyensoran”, tegasnya.

Sementara itu Dadang Rahmat Hidayat meminta Sexophone mempunyai ketegasan posisi dalam memberitakan masalah seks, terutama yang menyimpang dan bertentangan dengan norma kesusilaan yang ada. Menurutnya, sangat wajar media menyampaikan realitas yang ada di masyarakat, namun bukan berarti media demikian gamblang menjelaskan bahkan sampai mengajarkan masyarakat bagaimana cara mendapatnya. Justru, ujar Dadang, media harus mengambil posisi membantu mencarikan solusi atas permasalahan tersebut.

Azimah juga mengingatkan pada Sexopohone, yang mengaku melakukan perubahan besar atas konsep programnya itu. “Mata kamera yang muncul harus yang sedih, muram, dan penuh keprihatinan. Bukan mata kamera yang berbinar dan gembira atas realitas sosial yang menyimpang”, ujarnya.  Sexophone juga harus punya pembelaan moral atas fenomena penyimpangan tersebut, tambah Azimah. Sebagai penutup, Nina kembali mengingatkan bahwa Sexophone sudah menerima dua kali sanksi dari KPI atas programnya. KPI memberikan kesempatan adanya perbaikan konsep program seperti yang dijanjikan pengelola acara. “Kami ingin Sexophone bisa hadir sebagai program sex yang edukatif dan bermanfaat bagi masyarakat”, tegasnya.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi pengurangan durasi kepad program siaran “Fokus Selebriti” Global TV. Sanksi ini diberikan lantaran pada tanggal 4 Mei 2013 pukul 15.38 WIB, program yang dimaksud menampilkan tayangan yang melanggar.

Pelanggaran yang dilakukan program adalah menampilkan dan menjadikan kehidupan pribadi (privasi) Eyang Subur sebagai konsumsi publik yang disajikan dalam seluruh acara. Dalam program tersebut juga ditampilkan adegan yang mengesankan pembenaran terhadap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap hak privasi, nilai-nilai agama, perlindungan anak dan remaja, dan penggolongan program siaran.

Demikian dijelaskan dalam surat pengurangan durasi KPI Pusat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat. Mochamad Riyanto, tertuju Dirut Global TV, Fernando Audy, Kamis, 27 Juni 2013.

Sebelumnya, KPI Pusat telah menerima surat No. U-176/MUI/V/2013 tertanggal 15 Mei 2013 dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal Laporan Tayangan yang Bertentangan dengan Norma Agama & Hukum (surat terlampir). Surat tersebut pada intinya melaporkan tentang beberapa tayangan yang menampilkan 7 (tujuh) istri Eyang Subur yang digambarkan penuh kemesraan dan menimbulkan kesan pembenaran terhadap tindakan yang menyimpang dan bertentangan dengan ketentuan perkawinan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 42 Kompilasi Hukum Islam.

Koordinator bidang Isi Siaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Nina Mutmainnah menjelaskan, pihaknya memutuskan bahwa tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 21 ayat (1) serta Standar Program Siaran Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (4) huruf a.

Selain itu, lanjut Nina, acara “Fokus Selebriti” telah 2 (dua) kali menerima sanksi administratif teguran tertulis, yaitu: Surat Sanksi Administratif Teguran Tertulis Pertama No. 392/K/KPI/05/11 tertanggal 23 Mei 2011 dan Surat Sanksi Administratif Teguran Tertulis Kedua No. 758/K/KPI/12/12 tertanggal 21 Desember 2012. KPI Pusat juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada tanggal 24 Mei 2013.
 
“Berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukan program ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 79 ayat (3) Standar Program Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat tentang pemutusan sanksi administratif program pada tanggal 18 Juni 2013, KPI Pusat memutuskan memberikan sanksi administratif pengurangan durasi 30 (tiga puluh) menit masing-masing selama 2 (dua) hari penayangan,” kata Nina pada saat pemberian sanksi tersebut di kantor KPI Pusat, Kamis pagi ini.

Sanksi administratif pengurangan durasi ini wajib Global TV laksanakan di antara tanggal 28 Juni – 12 Juli 2013. Dalam melaksanakan sanksi administratif pengurangan durasi ini, KPI Pusat memperkenankan Global TV untuk menentukan sendiri 2 (dua) hari waktu pelaksanaan, sesuai dengan batas tanggal yang telah KPI Pusat tentukan.

Global TV wajib melaporkan kepada KPI Pusat kapan pelaksanaan sanksi akan dilaksanakan di antara tanggal tersebut. “Kami akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi administratif ini di Global TV”, kata Nina. Red

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi kepada “Obsesi” di Global TV berupa penghentian sementara selama 2 (dua) hari penayangan. Demikian disampaikan KPI Pusat dalam suratnya kepada Global TV yang diserahkan langsung ke perwakilan Global TV yang datang ke KPI Pusat, Kamis pagi, 27 Juni 2013.

Dijelaskan dalam surat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto, bahwa program Siaran “Obsesi” yang ditayangkan Global TV  pada tanggal 4 Mei 2013 pukul 10.04 WIB kedapatan melanggar aturan. Pelanggaran yang dilakukan program adalah menampilkan dan menjadikan kehidupan pribadi (privasi) Eyang Subur sebagai konsumsi publik. Dalam program tersebut juga ditampilkan adegan yang mengesankan pembenaran terhadap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Jenis pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran atas penghormatan terhadap hak privasi, nilai-nilai agama, perlindungan anak dan remaja, dan penggolongan program siaran.

KPI Pusat telah menerima surat No. U-176/MUI/V/2013 tertanggal 15 Mei 2013 dari Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perihal Laporan Tayangan yang Bertentangan dengan Norma Agama & Hukum (surat terlampir). Surat tersebut pada intinya melaporkan tentang beberapa tayangan yang menampilkan 7 (tujuh) istri Eyang Subur yang digambarkan penuh kemesraan dan menimbulkan kesan pembenaran terhadap tindakan yang menyimpang dan bertentangan dengan ketentuan perkawinan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 42 Kompilasi Hukum Islam.

“KPI Pusat memutuskan bahwa tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 Pasal 7, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 21 ayat (1) serta Standar Program Siaran Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 37 ayat (4) huruf a,” kata Nina Mutmainnah, Koordinator bidang Isi Siaran KPI Pusat usai penyerahan surat sanksi tersebut di KPI Pusat.

Sebelumnya, program ini telah 3 (tiga) kali menerima sanksi administratif, yaitu: Surat Sanksi Administratif Teguran Tertulis Pertama No. 267/K/KPI/06/10 tertanggal 11 Juni 2010, Surat Sanksi Administratif Teguran Tertulis Kedua No. 533/K/KPI/09/12 tertanggal 11 September 2012, dan Surat Sanksi Administratif Pengurangan Durasi No. 38/K/KPI/01/13 tertanggal 16 Januari 2013. KPI Pusat juga telah melaksanakan tahap klarifikasi pada tanggal 24 Mei 2013.
 
Berdasarkan pelanggaran yang telah dilakukan program ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 79 ayat (3) Standar Program Siaran dan hasil Rapat Pleno Komisioner KPI Pusat tentang pemutusan sanksi administratif program pada tanggal 18 Juni 2013, KPI Pusat memutuskan memberikan sanksi administratif penghentian sementara selama 2 (dua) hari penayangan.

“Sanksi administratif penghentian sementara ini wajib Global TV laksanakan di antara tanggal 28 juni - 12 Juli 2013. Dalam melaksanakan sanksi administratif penghentian sementara ini, kami memperkenankan Global TV untuk menentukan sendiri dua hari waktu pelaksanaan, sesuai dengan batas tanggal yang telah kami tentukan. Global TV wajib melaporkan kepada kami kapan pelaksanaan sanksi akan dilaksanakan di antara tanggal tersebut,” papar Nina.

Selain pemberian sanksi, KPI Pusat juga meminta Global TV untuk tidak membuat program pengganti sejenis yang ditayangkan pada waktu yang sama atau waktu berbeda pada saat pelaksanaan pelaksanaan sanksi administratif penghentian sementara. KPI Pusat akan melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan sanksi administratif di stasiun Global TV. Red

Jakarta – Media penyiaran khususnya televisi diharapkan ikut menyukseskan gawean besar atau pesta demokrasi di negara ini pada 2014 mendatang yakni Pemilihan Umum (Pemilu). Salah satu bentuk tanggungjawab media televisi untuk menyukseskan kegiatan tersebut adalah dengan menjadi media yang memberikan informasi dan pendidikan politik secara berimbang, adil dan objektif kepada masyarakat.

Harapan tersebut mengemuka pada acara diskusi yang diselenggarakan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) bertema “Peran Media TV Mencerdaskan Pemilih dan Pemilu 2014” di Hotel Arya Duta, Rabu, 26 Juni 2013.

Komisioner KPI Pusat, Idy Muzayyad, mewakili Ketua KPI Pusat, mengibaratkan media televisi sebagai penyelamat ketika kondisi demokrasi di negara ini dalam keadaan lampu kuning. “Peranan ini memang seharusnya dipegang oleh media,” katanya.

Namun demikian, media televisi tidak boleh melupakan bahwa ada hak publik yang harus dipenuhi secara utuh. Hal-hak itu antara lain hak publik mendapatkan informasi atau juga pendidikan politik. “Ini juga termasuk hak dari peserta pemilu untuk mengunakan media sebagai sarana komunikasi politik kepada publik. Jadi, ada hak dan kewajiban dari media terhadap kegiatan Pemilu, ” jelas Idy.

Media televisi harus proporsional dalam menyediakan ruang-ruang bagi peserta Pemilu. Menurut Idy ini harus ditanyakan. Istilahnya, jika salah satu media banyak menampilkan sosok partai tertentu, tentunya media tersebut harus mau memberikan porsi yang sama bagi partai lain.

Selain itu, dalam pengawasan Pemilu tidak cukup hanya satu lembaga saja mengawasi, dalam hal ini Bawaslu. Menurut Idy, harus ada wadah-wadah lain diluar itu yang melakukan pengawasan terhadap Pemilu dan ini berkaitan langsung dengan fungsi media.

“Saya berharap media tetap menjaga independensinya meskipun ada lembaga penyiaran yang berafiliasi dengan partai tertentu,” pintanya yang disaksikan Ketua KPU Pusat, Husni Kamil Manik, Pemred SCTV dan Indosiar, Nurjaman, Mantan Ketua MK, Mahfud MD, dan Wartawan Senior, Atmakusumah.

Sebelumnya, di tempat yang sama, Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyampaikan pandangannya mengenai peran media terhadap pencerdasan pemilih dan Pemilu 2014. Menurutnya ada beberapa pokok renungan untuk itu yakni pers atau media harus mencintai rakyatnya atau negara ini karena hal itu bagian dari proses perbaikan. Pers harus berperan sebagai pemelihara peradaban dalam hal ini proses demokrasi. Pers juga berperan sebagai pencerdas dalam rentetan proses demokrasi. “Sifat pencerdasan harus ditimbulkan. Ini bagian tugas media sebagai intelektual,” katanya.

Dalam acara yang digelar mulai pagi hingga sore tersebut dihadiri ratusan peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa, akademisi, calon politisi, wartawan, dan pengamat. Hadir pula sebagai narasumber CEO MNC, Hary Tanoe Sudibyo. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.