Bekasi -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar uji publik terhadap rancangan (draf) Peraturan KPI (PKPI) tentang Pengawasan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum tahap pertama, Selasa (5/9/2023) di Bekasi, Jawa Barat. Uji publik ini untuk menampung masukan dan aspirasi dari asosiasi penyiaran serta institusi terkait (KPU, Bawaslu dan Dewan Pers), sehingga ketika peraturan ini ditetapkan dapat diterima dan dijalankan dengan baik.

Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, dalam sambutannya menyampaikan, uji publik ini sangat penting dan mendesak karena dalam waktu dekat pelaksanaan kampanye untuk Pemilu 2024 segera bergulir. Menurutnya, peraturan ini bagian dari keterlibatan KPI untuk menjaga stabilitas dan keharmonisan kehidupan masyarakat. 

“Stabilitas ini dalam pengertian dan tafsir kami, tidak bisa lepas dari pengelolaan informasi yang bijaksana. Pengelolaan informasi ini bersumber dari standar regulasi dan kepentingan umum, terutama yang ada di layar kaca dan telinga pemirsa,” jelasnya.

Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI 2023 di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) awal Agustus lalu, KPI Pusat dan KPI Daerah sepakat mendorong ketertiban politik ini melalui standar hukum yang kuat sekaligus legitimated. Produk hukum ini berupa PKPI tentang Pengawasan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum di Lembaga penyiaran. 

“Atas dasar itulah, apa yang sudah diputuskan di dalam Rakornas, kami bawa ke sini untuk mendapatkan masukan yang lebih konprehensif mengenai PKPI tersebut. Saya rasa ini akan menjadi ibadah sosial dan politik kita, untuk menjadikan informasi dari lembaga penyiaran sebagai rujukan mengenai Pemilu 2024,” tutur Ubaidillah sekaligus berharap peraturan ini dapat menguatkan turunan dari regulasi induk pengawasan pemilu. 

Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja, menyarankan agar PKPI ini selaras dengan peraturan yang dikeluarkan KPU. Dia menilai hal ini penting untuk memastikan hukum acaranya. Namun demikian, ia lebih menyoroti pendeknya masa kampanye bagi para peserta Pemilu. 

“Kami ingin kampanyenya dari awal hingga akhir. Karena masa kampanye kita hanya 75 hari. Ini agak sulit bagi peserta. Kami juga mengerti bagaimana dengan teman-teman di TV untuk merayakan pesta ini karena undang-undangnya membatasi jadi kami mohon maaf,” kata Rahmat Bagja. 

Persoalan pengawasan lembaga penyiaran di daerah khususnya di kabupaten dan kota menjadi salah satu perhatian Bawaslu. Keterbatasan KPI yang hanya ada di provinsi mesti diperkuat melalui pembentukan gugus tugas bersama. 

“Yang berhak menegur lembaga penyiaran itu KPI. Karenanya kami akan melibatkan KPI. Tugas kita banyak yang belum selesai, soal gugus tugas misalnya. Harusnya sudah bisa dibentuk di awal ini. Ini menjadi PR kami dan kami mendorong ini juga kepada Kemenkominfo. Seharusnya gugus tugas tidak hanya berkaitan dengan media sosial tapi juga media penyiaran,” tambah Rahmat Bagja yang hadir melalui daring. 

Dalam kesempatan itu, KPU yang diwakili bagian Humas, Renny berharap agar peraturan ini segera diselesaikan sehingga cepat disosialisasikan. Upaya ini baik dalam rangka mengedukasi masyarakat sehingga akan menciptakan suasana demokrasi yang baik. 

Renny juga menyampaikan mekanisme penayangan iklan kampanye yang difasilitasi KPU serta pengawasan terhadap platform media yang sudah didaftarkan paslon dan peserta pemilu. Menurutnya, KPU hanya melakukan pengawasan terhadap akun maupun platform media yang telah didaftarkan. 

“Jika ada pertanyaan masyarakat, pada saat masa tenang muncul kampanye atau black campaign, KPU akan menjawab hanya atas nama gugus tugas dan hanya akun yang didaftarkan. Di sinilah peran KPI yang mengawasi media penyiaran semuanya. Jika ada yang melakukan proses kampanye pada masa itu yang disinyalir  sebuah kampanye, KPI akan mengatur hal itu sesuai instrumen pengawasannya dan ini akan mendukung tugas kami,” katanya.

Suara asosiasi

Sebagai pihak yang akan menjalankan peraturan ini, perwakilan dari sejumlah asosiasi media penyiaran meminta KPI agar memberi penjelasan secara rinci tentang peraturan tersebut. Mereka juga meminta waktu untuk dapat menyampaikan masukan melalui proses pembahasan di internal. 

“Kami juga ingin memastikan KPI dan KPU, aturan mana yang harus kami ikuti. Harus ada forum lain mengenai hal ini. Kami perlu penjelasan atas teks dan konteksnya. Kami akan melakukan review antar asosiasi untuk melihat aturan seperti ini,” kata Gilang Iskandar dari ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia). 

Menjawab permintaan itu, Anggota KPI Pusat sekaligus PIC Uji Publik Draft PKPI Aliyah, menyatakan uji publik ini untuk mengumpulkan masukan khususnya dari lembaga penyiaran. Karenanya, uji publik ini bukan yang terakhir dan akan ada uji publik berikutnya sebelum masuk ke tahap harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. 

“Kita akan ketemu lagi sebelum rancangan ini diharmonisasi. Kita berupaya PKPI ini menjadi sempurna. Kita akan bicara dengan lembaga penyiaran soal ini,” tuturnya. 

Dalam kegiatan ini, hadir hampir seluruh perwakilan dari asosiasi media penyiaran yang di tanah air termasuk ATVNI, ATSDI, PRSSNI, JRKI, dan LPP TVRI serta RRI. Hadir pula Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza dan seluruh Anggota KPI Pusat antara lain Evri Rizqi Monarshi, Tulus Santoso, I Made Sunarsa, Mimah Susanti dan Muhammad Hasrul Hasan. ***

 

Jakarta - Rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas di Komisi I DPR, merumuskan penganggaran terpusat untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sehingga pembiayaan untuk kerja KPI Daerah di seluruh provinsi menjadi beban dari Anggaran Perencanaan dan Belanja Nasional (APBN).  Selain itu, tengah dirumuskan pula perpanjangan masa jabatan KPI menjadi lebih dari tiga tahun. Hal ini diungkap anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin pada Rapat Kerja antara Komisi I DPR RI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang turut menghadirkan Ketua KPI Pusat, (4/9). 

Nurul mengatakan dalam kunjungan kerja yang dilakukan Komisi I ke berbagai provinsi, terungkap kondisi KPID yang sangat terbatas, tergantung kebaikan dari kepala daerahnya. Nurul memberi contoh di KPID Jawa Timur yang memiliki 38 kabupaten/ kota, hanya menerima satu sekian miliar untuk operasional dan kegiatan selama satu tahun.  Atau di provinsi lain, KPID berkantor  dan beraktivitas di rumah anggota KPID, dalam memberikan pelayanan publik.

Dengan realitas seperti ini, Nurul meminta Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi yang hadir dalam Rapat Kerja bersama DPR, menambahkan anggaran pada KPI agar tetap menjalankan amanat undang-undang secara optimal. “Meskipun anggaran Kominfo mengalami penurunan, saya berharap hak-hak dari Komisi (lembaga kuasi di bawah Kominfo. Red), tetap dapat ditunaikan,” ujar Nurul. 

Senada dengan hal tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini berpendapat bahwa sudah saatnya KPI memiliki anggaran sendiri yang terlepas dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Rasanya di Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti, Pak Menteri harus ikhlas melepas kewenangannya bahwa anggaran KPI tidak lagi lewat Kominfo,” ucapnya. Harapannya, dengan penganggaran yang lepas dari Kominfo, KPI dapat menjadi lembaga yang independen dalam kontrolnya. Lebih jauh, Jazuli menilai, KPI, Dewan Pers dan juga Komisi Informasi, adalah lembaga yang lahir dari undang-undang. Tapi kehadirannya, tidak didukung oleh kebijakan atau regulasi yang dapat membuat mereka melaksanakan tugas dengan baik, tambahnya. 

 

 

Dalam Rapat Kerja tersebut, hadir pula Ketua KPI Pusat Ubaidillah dan Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza. Ubaidillah mengatakan, saat ini KPI Pusat tengah melakukan clusterisasi KPID, mengingat kebutuhan masing-masing provinsi dalam menjalankan amanat regulasi terkait penyiaran, tidaklah sama. Misalnya saja kebutuhan KPID di Maluku Utara, akan berbeda dengan provinsi lain. Perbedaannya dilihat dari kondisi geografis, demografi penduduk, serta jumlah lembaga penyiaran yang diawasi KPID. 

Lebih jauh tambah Ubaidillah, KPI Pusat sudah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk penganggaran KPID. Harapannya, dengan arahan dari Kemendagri pada pemerintah daerah, penganggaran dapat diberikan secara signifikan agar pelayanan pada publik pun terselenggara dengan dengan baik. Pada Rapat Kerja ini, Ubaidillah juga melaporkan tentang dinamika pengusulan Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI pada Rakornas KPI se-Indonesia sebagai usaha KPI menyesuaikan regulasi konten siaran dengan dinamika teknologi terbaru dan tren perilaku publik dalam mengonsumsi media.

Selain membahas penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran, Komisi I juga mengevaluasi pelaksanaan Analog Switch Off (ASO) dari lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi. Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan secara khusus meminta pertimbangan dari Menteri Kominfo untuk mengevaluasi pembebanan sewa pada televisi lokal. Menurutnya, penerimaan negara bukan pajak yang diperoleh dari sewa kanal televisi lokal tidak cukup signifikan. Menurutnya, lebih baik baik digratiskan atau diberikan diskon yang besar supaya pengelola televisi lokal dapat bersaing dengan lebih baik. ”Toh, mereka juga membuka lapangan kerja,”tambahnya. Hal ini disampaikan Nico sebagai refleksi atas perjuangan pengelola televisi lokal bersaing tidak saja dengan televisi nasional, tapi juga melawan media streaming.

 

Jakarta - Wacana pengaturan konten layanan Over The Top (OTT) yang tengah dibahas DPR sangat dibutuhkan demi membangun level of playing field yang setara dengan penyiaran free to air (FTA) di tanah air. Kehadiran asosiasi seperti Asia Video Industry Association (AVIA) dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) dapat menjadi pengaya substansi pengaturan OTT yang diwacanakan akan masuk dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran. Hal ini diungkap Amin Sabhana, Anggota Bidang Kelembagaan KPI Pusat, usai menghadiri diskusi panel pada State of Piracy yang diselenggarakan AVIA di Jakarta, (30/8). 

“Ada permasalahan kompleks yang berkembang dalam layanan OTT, seperti perizinan, materi siaran, pembajakan dan juga klasifikasi siaran,” ujar Amin. Mengingat sebagian besar penyedia layanan OTT ini berbasis di luar negeri, tentu tidak mudah dihadapi jika dibebankan pengaturan dan pengawasan tersebut kepada KPI saja. 

KPI sendiri memiliki perhatian yang besar terhadap hak cipta yang harus dihormati dalam setiap program siaran di televisi, baik di FTA atau pun televisi berbayar (Pay TV). Apalagi dengan makin terbukanya kesempatan memproduksi konten dan menyiarkannya lewat saluran televisi digital yang mengakibatkan jumlah televisi berlipat-lipat dari sebelumnya.  

Meskipun hingga saat ini KPI belum mendapat kewenangan dalam layanan OTT, termasuk terkait pembajakan, Amin mengingatkan tentang pengalaman industri perfilman yang sempat mati suri akibat aksi pembajakan. Untuk itu, pembajakan yang terjadi dalam layanan OTT harus dicermati dengan cepat sesuai regulasi yang ada. “Bila tidak ada law enforcement yang tegas, praktik pembajakan tentang akan merugikan industri media dan mengakibatkan bisnis ini tidak berjalan dengan sehat. 

Pada pertemuan itu juga dilaksanakan penandatanganan kerja sama antara AVIA dan AVISI dalam rangka menanggulangi pembajakan yang menjadi isu global dalam industri pembuat konten. Dalam diskusi panel tersebut diungkap hasil survey konsumen terbaru dari Coalition Against Piracy (CAP) yang mengungkat 54% konsumen Indonesia mengakses layanan pembajakan pada tahun 2023. 

Namun demikian, survey CAP ini mengungkap adanya peningkatan kesadaran hingga 94% bahwa pembajakan ini memiliki konsekuensi negatif terhadap industri kreatif. Menurut CEO AVIA, Louis Boswell, pembajakan merupakan satu-satunya masalah terbesar yang dihadapi industri video dan untuk menyelesaikan masalah ini harus melakukan pendekatan pada multistakeholder. 

Ini juga yang menjadi alasan bagi AVIA untuk bekerja sama dengan AVISI dalam memberantas pembajakan, serta melindungi dan mempromosikan konten-konten di Indonesia. Kedua organisasi ini selain sepakat untuk memperkuat pertahanan dan mendorong akses hukum terhadap konten, juga akan memperjuangkan hak-hak pembuat konten untuk menumbuhsuburkan ekosistem konten kreatif. (Foto KPI Pusat/ Intantri K)

 

 

Jakarta --  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mengupayakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran melalui kegiatan Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran). Kegiatan ini menjadi wadah menimba wawasan tentang aturan penyiaran sekaligus mengasah kemampuan analisa dan sensitifitas masyarakat khususnya insan penyiaran terhadap bentuk tayangan.

Sejak kemarin (30/8/2023) hingga Kamis (31/8/2023), puluhan peserta Sekolah P3SPS Angkatan 47 mendapatkan materi berharga mengenai penyiaran para narasumber dari luar dan internal KPI Pusat. Pada hari ini, materi sekolah ditekankan pada elemen tayangan yang paling banyak mendapat soroton KPI  yakni tentang siaran berbau pornografi.

Terkait materi ini, Anggota KPI Pusat Aliyah, menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya tim produksi di lembaga penyiaran. Hal-hal itu menyangkut aturan yang ada dalam P3SPS seperti larangan menampilkan ketelanjangan dan/atau alat kelamin. Dilarang menampilkan adegan  yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan. 

Selain itu, dilarang menayangkan kekerasan seksual, menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Aturan ini juga dilarang menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Hal-hal lebih lengkap mengenai aturan ini terdapat dalam Pasal 18 di Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.

Aliyah juga menjelaskan secara rinci aturan tentang siaran iklan termasuk penayangan siaran iklan rokok dan produk atau jasa untuk dewasa seperti alat kontrasepsi dan lainnya. Pasalnya. dari catatan sanksi KPI Pusat masih ada pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran terhadap aturan siaran tersebut. 

Menganai siaran pemberitaan serta iklan dan kampanye Pemilu 2024, Aliyah meminta peserta untuk memahami secara dalam aturan penyiaran pemilu yang ada dalam Pasal 71 SPS KPI. Dia menegaskan jika pengawasan KPI terhadap siaran pemilu sangat ketat. Hal ini untuk memastikan seluruh komponen, baik kontestan maupun masyarakat, mendapatkan keadilan dan porsi yang proporsional dalam siaran.

“Program siaran harus memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan  secara adil serta proporsional dalam pemberitaan kegiatan kampanye peserta pemilu. Program siaran jangan dimanfaatkan untuk pemberitaan kepentingan peserta pemilu tertentu,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menerangkan aturan menyangkut siaran lokal, asing dan sistem stasiun jaringan (SSJ). Dia juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, keagamaan, ras dan antar golongan. Selain juga perlindungan kepentingan publik, layanan publik, dan penghormatan terhadap hak privasi. 

“Siaran asing berdasarkan SPS KPI Pasal 67 dapat disiarkan dengan ketentuan tidak melebihi 30% dari waktu siaran per hari. Adapun aturan SPS Pasal 68 menyatakan program siaran lokal wajib diproduksi dengan durasi paling sedikit 10% untuk televisi dan paling sedikit 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per-hari,” jelas Ubaidillah. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menambahkan materi tentang program siaran jurnalistik, program siaran terkait rokok, napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dan minuman beralkohol serta siaran mistik, horror dan supranatural. Di sela-sela materi tersebut, dijelaskannya aturan Pasal 18 P3 bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan rokok. napza, dan minuman beralkohol. 

“Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan mistik, horror dan supranatural. Aturan ini ada di pasal 20 dalam pedoman perilaku penyiaran KPI,” tandasnya. ***/Foto: Maman

 

 

 

Jakarta - Televisi dan radio diharapkan dapat ikut mendorong keterlibatan masyarakat membantu mengatasi stereotype negatif atau prasangka terhadap budaya dan kelompok tertentu, dengan menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang. Hal ini didasarkan dengan keberagaman masyarakat Indonesia yang membutuhkan sosialisasi serius dengan data yang akurat, agar dapat meningkatkan tolerasi sebagai sesama anak bangsa. 

Hal ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Krisantus Kurniawan saat menjadi pemateri dalam Kuliah Umum di Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) angkatan 47 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jakarta, (30/8).  

Dalam materi yang mengambil topik “Tanggungjawab Sosial Lembaga Penyiaran dalam Menjaga Karakter Bangsa, Krisantus juga menjelaskan secara rinci tentang pentingnya karakter bangsa dalam keberlanjutan dan identitas suatu negara. “Bukan hanya tentang membangun pondasi moral dan etika masyarkaat, tetapi juga tentang membentuk dasar untuk memahami dan menghargai identitas nasional,” ujarnya. 

Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Barat II yang meliputi kabupaten yang bersebelahan dengan negara tetangga, Krisantus menilai, media baik melalui lembaga penyiaran atau pun media sosial, memiliki fungsi yang strategis dalam menjaga karakter bangsa. “Media memiliki potensi besar untuk menyebarkan nilai-nilai positif, budaya, dan sejarah bangsa secara luas dan efektif,  termasuk diantaranya soal kekhasan dari setiap suku bangsa di  negeri ini,” tambahnya. 

Secara khusus Krisantus berharap, media juga dapat dioptimalkan untuk menyosialisasikan informasi tentang tradisi-tradisi budaya yang menjadi kekayaan negeri ini, seperti festival, upacara atau pun ritual tertentu. “Dengan adanya sosialisasi melalui media, tentu akan membantu masyarakat memahami dan menghargai warisan budaya negerinya sendiri,” tegas Krisantus.

Sekolah P3SPS sendiri merupakan kegiatan KPI Pusat dengan target peserta pelaku di industri penyiaran. Kegiatan ini digelar untuk memberi kesempatan pada pekerja di sektor penyiaran memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam acara ini menyampaikan kerangka dasar regulasi penyiaran yang saat ini menjadi sandaran bagi para pembuat konten siaran baik itu televisi dan radio. 

Melihat dari kronologi undang-undang penyiaran, Tulus mengungkap, secara perlahan sudah dilakukan pengurangan kewenangan KPI dari yang sesungguhnya diharapkan pembuat regulasi ini. Misalnya saja, kewenangan membuat peraturan pemerintah bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian dihilangkan setelah adanya pengajuan judicial review dari beberapa lembaga dan pemangku kepentingan penyiaran. Yang terakhir, tambah Tulus, adalah pencabutan kewenangan KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran lewat undang-undang cipta kerja. “Sehingga saat ini, kewenangan KPI hanya sebatas pada pengawasan konten siaran dan penjatuhan sanksi administrasi saja,” ujarnya. 

Namun demikian, apa pun kewenangan yang tersisa untuk KPI yang diamanatkan regulasi, tetang digunakan untuk menjaga kepentingan publik. Undang-undang kita secara tegas menyatakan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang  beriman dan bertakwa, termasuk juga menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, pungkas Tulus. (Foto: KPI Pusat/ Agung Rachmadiansyah).

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.