Agam -- Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan Kabupaten Agam Sumatera Barat (Sumbar) memiliki histori dan potensi yang tinggi untuk pengembangan konten. Histori dan potensi itu salah satunya datang dari ketokohan seorang Buya Hamka yang telah banyak menjadi inspirasi lewat berbagai karyanya. 

“Salah satunya adalah film ‘Ranah 3 Warna’ film Buya Hamka yang bercerita tentang seseorang saat berada di Agam,” jelas Yuliandre bertemu dengan Wakil Bupati Agam di Rumah Dinas Bupati Agam Selasa (2/8/2022). 

Dalam pertemuan yang juga dihadiri Sekda Kab.Agam Edi Busti, Ketua TP-PKK Kab. Agam Yennita Andri Warman, Ketua Dharmawanita El Edi Busti, Kadis Kominfo Agam Rahmad Larmono, serta beberapa Komisoner KPID Sumbar, Yuliandre menyatakan pengembangan konten yang bersifat lokal tidak dapat dilakukan tanpa perencanaan yang baik. Tujuan pengembangan tentu tidak boleh melenceng dari regulasi serta nilai yang berlaku di masyarakat. 

“Mari kita tingkatkan kualitas siaran bertema kearifan lokal dan kehidupan sosial yang sesuai adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah,” tambah Yuliandre. 

Irwan selaku Wakil Bupati berharap banyak terobosan yang dilakukan KPI baik di tingkat pusat maupun daerah. Sehingga siaran sehat dapat terwujud dan menciptakan masyarakat yang kondusif, berkurangnya hoaks sekaligus berita negatif yang hadir di media.

Dia juga mengingatkan lembaga penyiaran, baik TV ataupun radio, untuk mematuhi regulasi yang ada. “Konten siaran harapannya tetap memperhatikan P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) supaya penyiaran dapat berjalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,” tutur Irwan. Abidatu/Foto: AR/Editor: RG

 

 

 

 

Pariaman - Hadirnya siaran TV Digital merupakan peluang teknologi bagi lembaga penyiaran lokal di Sumatera Barat khususnya di Kota Pariaman. Peluang tersebut dengan menjadikan potensi wisata budaya menjadi konten siaran yang dapat diekspos lebih luas ke publik.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dalam pertemuannya dengan Walikota Pariaman di Ruang Rapat Pimpinan I, Balai Kota Pariaman pada Selasa (2/8/2022).

Menurutnya, KPI selalu menekankan keutamaan visi penyiaran yang sehat bagi masyarakat. Siaran yang sehat harus mampu dipadukan dengan hiburan berbasis kearifan budaya tiap-tiap daerah.

“Kota Pariaman ini merupakan kota dengan peradaban tertua di Pantai Barat Sumatera, sehingga mampu digali sebagai konten wisata budaya bagi lembaga penyiaran daerah," jelas Yuliandre terkait konten kedaerahan.

Dia juga meminta KPI Daerah mampu berkolaborasi secara berkelanjutan dengan lembaga penyiaran daerah supaya potensi budaya setempat mampu dikenal lebih dekat dengan masyarakat melalui penyiaran. Terlebih migrasi teknologi TV digital yang memberikan kualitas yang merata dari segi visual menjadi peluang positif bagi lembaga penyiaran daerah yang selama ini dianggap kurang mampu bersaing. 

"TV sekarang ini gambarnya sudah sama rata sama rasa dari segi kualitas gambar. Sehingga, semua lembaga penyiaran mampu menampilkan konten siaran terbaik mereka secara maksimal," tutur Yuliandre.

Andre menambahkan potensi wisata budaya Kota Pariaman dibantu penyiaran serta banyaknya penghargaan daerah yang diraih, tentu akan semakin memberikan dampak yang luas bagi ekonomi kreatif. 

Dia berharap bahwa kemajuan penyiaran mampu lebih menguatkan potensi Kota Pariaman menjadi Kota yang maju secara ekonomi kreatif melalui siaran-siaran berbasis kearifan lokal.

Sementara itu, Wali Kota Pariaman, Genius Umar berharap hadirnya KPI dan KPID dapat konsisten membantu visi negara dalam mencerdaskan anak bangsa melalui jalan penyiaran. Salah satu upaya pencerdasan yang dilakukan Kota Pariaman yakni dengan mendorong setiap keluarga di Kota Pariaman menghasilkan sarjana. 

“Kami memberikan beasiswa untuk satu keluarga agar di setiap keluarga minimal ada satu sarjana,” katanya.

Dalam pertemuan itu, turut hadir Sekda Kota Pariaman, Yota Balad, Wakil Ketua DPRD Kota Pariaman, Mulyadi dan Ketua KPID Sumatera Barat Dasrul beserta beberapa komisioner. Abidatu/Foto: AR/Editor: RG

 

 

Jakarta –- Tenggat penghentian siaran analog atau Analog Switch Off (ASO) tak lama lagi, tepatnya 2 November 2022 mendatang. Keberhasilan migrasi siaran ini saat bergantung dengan kesiapan masyarakat menghadapinya. Hal ini menjadi tantangan terbesar pemerintah. Untuk itu, sosialisasi massif bersama dengan ikut melibatkan mahasiswa sebagai agen informasi ASO sangat dibutuhkan. 

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat menerima kunjungan balasan dari Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Bogor, Rabu (27/7/2022) di Kantor KPI Pusat, Jakarta.

“Kita harap semua tahu pada saat 2 November nanti, ASO akan dimulai. Ini butuh bantuan dari fakultas Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Ibnu Chaldun. Masyarakat banyak yang tidak tahu soal ASO. Kita harapkan komitmen untuk mensosialisasikan proses migrasi ini,” jelasnya kemarin.

Nuning berkeyakinan keterlibatan mahasiswa untuk mensosialisasikan ASO sangat tepat dan efektif. Menurutnya, anak-anak muda (mahasiswa) merupakan agen marketing komunikasi yang ampuh. “Dengan anak muda dan ibu-ibu serta netizen itu sudah beres. Ini marketing komnunikasi. Mohon ini disosialisasikan,” katanya.

Sebelumnya, di awal pertemuan, KPI dan UIC sepakat mengembangkan bentuk kerjasama dengan literasi bersama ke berbagai sekolah atau Goes To School di sekitar kota Bogor. 

“Kita bahagia atas kedatangan ini. Kita ingin dalam bentuk aksi setelah MoU. Dua poin utama akan kami yakni kirimkan mahasiwa untuk magang di sini. Lalu, turun ke sekolah untuk mengedukasi anak sekolah menciptakan konten edukatif di mereka,” kata Dewi, salah satu dosen UIC yang hadir di pertemuan itu. 

Dewi menilai saat ini banyak beredar konten viral yang menyimpang. Ironis, konten positif justru kurang dilirik masyarakat. “Ini bisa kita rancang bersama dalam dua semester. Sekolah yang ada di Bogor yang ada multi medianya untuk dikasih edukasi,” katanya.

Di akhir kesempatan, Nuning berharap kerjasama kedua lembaga dapat mendorong tumbuh kembang penyiaran di tanah air. “Ini juga bisa jadi sumber informasi untuk mahasiswa berkaitan dengan materi yang dibutuhkan. Masukan dari kampus bisa jadi kontribusi positif bagi KPI untuk kebijakannya,” tandasnya. *** 

 

Yogyakarta - Pengaturan konten internet dan layanan video streaming sudah diinisiasi oleh Inggris dan negara-negara lain yang tergabung dalam Uni Eropa. Khusus tentang Uni Eropa, kawasan ini sangat progresif dalam membuat regulasi di bidang teknologi informasi jika dibanding negara di kawasan lain. Pengaturna tersebut tercantum dalam Audio-Visual Media Services Directive yang sudah diamandemen pada tahun 2018. Engelbertus Wendratama dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Revisi UU Penyiaran: Urgensi Regulasi Konten Streaming OTT” yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, (26/7).

Wendra menerangkan, dalam regulasi yang dibuat Uni Eropa ini, mengatur siaran televisi tradisional yang tayang melalui free to air, layanan video on demand seperti Disney Hotstar, Netflix dan Amazone Prime dan juga video sharing seperti Youtube. Pada prinsipnya aturan ini bertujuan menciptakan arena bermain yang setara bagi media audiovisual baru dan  melindungi khalayak dari konten berbahaya dan hasutan untuk melakukan tindak kekerasan dan kebencian. Selain itu, untuk melestarikan keberagaman budaya yang diimplementasikan dengan aturan 30% film Eropa harus muncul dalam katalog video on demand seperti Netflix. Tujuan lainnya adalah serta menjaga pluralisme media, sehingga jangan sampai ada giant tech  yang mendominiasi audiens, ujarnya. 

Masing-masing anggota Uni Eropa, terang Wendra, berkewajiban membuat aturan turunan secara nasional yang selaras dengan kepentingan setiap negara. “Setidaknya ada tiga platform yang memiliki audiens paling besar dan mampu memberi pengaruh terhadap persepsi publik atas realitas,” ujarnya. Prancis mewajibkan tiga platform besar seperti Netflix, Amazone Prime dan Apple TV, untuk mengalokasikan 26% pendapatannya di negara itu untuk produksi konten nasional. Kebijakan serupa juga diambil Italia, dengan aturan alokasi 20% , sedangkan Spanyol mengatur sebesar 3,5 %. 

Sementara itu, regulasi di Australia meskipun tidak tergabung dalam Uni Eropa, ternyata memiliki aturan yang serupa. “Streaming service harus mendaftar pada regulator, baik pemerintah ataupun independen,” ujar Wendra. Selain itu penyedia layanan tersebut harus menyampaikan tentang investasi dan pendapatan yang diperoleh. Saat ini aturan yang ada mewajibkan 5% revenue dialokasikan untuk konten Australia. Namun demikian, asosiasi sineas Australia menilai seharusnya aturan ini dinaikkan menjadi 10% dari revenue untuk dapat menggerakkan ekonomi lokal. Harus diakui, kehadiran layanan video streaming ini memang menggerus kue iklan dari lembaga penyiaran konvensional yang selama ini telah menghidupi banyak production house. Permintaan ini juga agar para sineas ikut mendapatkan project dari para penyedia layanan video on demand seperti Netflix, karena permintaan produksi dari televisi swasta menurun. “Argumentasinya adalah, baik televisi konvensional ataupun layanan video on demand sama-sama berkompetisi untuk meraih audiens dan revenue,” kata Wendra. Considerable impact yang dihasilkan pun sama, yakni mempengaruhi opini pengguna, dalam hal ini khalayak luas. 

Pada prinsipnya, pengaturan konten streaming adalah mencari keseimbangan antara regulasi dan inovasi. “Jangan sampai regulasinya terlalu ketinggalan zaman,” tukasnya. Sementara itu di Inggris Raya, pengaturan pada konten streaming menggunakan referensi hukum Communication Act 2003. Saat ini, ujar Wendra, regulator penyiaran di Inggris (Ofcomm) sedang  membuat aturan konten seperti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk layanan video on demand. Pengaturan terhadap Facebook, Youtube, Instagram danTiktok, juga secara spesifik telah dimasukkan dalam Communication Act 2003 yang memang menjadi payung terhadap berbagai aspek, terutama penyiaran dan telekomunikasi. 

Dalam penyusunan regulasi ini, Ofcomm memiliki data ekonomi kreatif yang dikontribusikan oleh lembaga penyiaran selama ini. Ternyata, nilainya sangat besar. “Karena itu, jangan sampai lembaga penyiaran menjadi collapse dengan adanya layanan OTT,” ujar Wendra. Data ini menjadi  argumentasi kementerian di Inggris dalam menyusun regulasi untuk konten streaming. Hal ini tentu perlu diadopsi juga oleh para pemangku kepentingan penyiaran di Indonesia, ungkapnya.

Di akhir pemaparan Wendra menjelaskan, semangat pembuatan regulasi konten streaming ini agar pasar menjadi lebih kompetitif dan mencegah munculnya dominasi raksasa digital. Implementasi dari turunan regulasinya adalah mewajibkan penyedia layanan yang besar berbagi teknologi pada yang kecil, agar tidak terlalu dominan, pungkas Wendra. Hadir dalam diskusi tersebut, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution dan perwakilan dari Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel). 

 

Jakarta - Wacana pengaturan dan pengawasan konten di internet harus mengutamakan kepentingan publik agar kemanfaatan didapat optimal dan ekses negatif dapat direduksi. Hal ini didasari dinamika penggunaan media saat ini di Indonesia yang sudah mencapai 204,7 juta atau setara 73% populasi masyarakat. Data terbaru dari Kantar Research menunjukkan satu dari tiga orang Indonesia menonton platform Over The Top (OTT) Streaming. Kenaikan pengguna OTT Streaming ini dikarenakan fleksibilitas akses informasi dan hiburan, baik dalam penggunaan device, pemilihan waktu akses ataupun kesempatan akses bersamaan dengan aktivitas lain.  

Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Revisi Undang-Undang Penyiaran: Urgensi Regulasi Konten Streaming OTT” yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), (26/7). Hardly mengungkap, pada awal kehadirannya, internet mendapatkan atribusi yang sangat positif oleh masyarakat. Hal ini membuat kita menutup mata tentang ekses negatif di internet seperti hoax, ujaran kebencian, radikalisme, pornografi atau pun disinformasi. Atribusi inilah yang sering kali membuat pengaturan internet atau OTT menjadi isu yang sangat sensitif, sehingga banyak penolakan. “Lantaran atribusi positifnya diglorifikasi berlebihan,” ujar Hardly. 

Jika dibandingkan dengan media konvensional, perbedaan paling prinsip dengan internet adalah masalah redistribusi. Pada media konvensional, konten tidak dapat diredistribusi. Sedangkan pada internet, redistribusi dapat dilakukan berkali-kali termasuk dengan medium yang berbeda. Selain itu, meski sama-sama memiliki dampak yang masif seperti halnya media konvensional, pada internet memiliki dampak masif dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan pada era internet sekarang, siapa saja yang punya akses terhadap internet dapat membuat dan juga menyebarkan informasi apapun. Pada tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan “take down” terhadap 2,7 juta konten negatif. Hal ini menunjukkan memang ada hal-hal negatif di internet, ujarnya. 

Namun demikian, tambah Hardly, harus dipahami juga bahwa partisipasi tanpa regulasi dapat menghasilkan kekacauan (chaos) dan regulasi tanpa partisipasi akan memunculkan tirani. “Tantangannya adalah bagaimana partisipasi didasarkan pada regulasi agar menghasilkan demokrasi,” ujarnya. Kedua hal inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan media yang ideal dalam sebuah ranah publik (public sphere). Ini juga yang menjadi alasan perlunya pengaturan terhadap internet, termasuk di dalamnya OTT Streaming

KPI sendiri, ujar Hardly, melihat ada tiga kepentingan dalam pengaturan internet. Yakni kepentingan nasional baik berupa kedaulatan informasi, ketahanan budaya atau pun penerimaan negara. Kemudian kepentingan publik, tentang perlunya dinamika media yang memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, kepenting industri dan bisnis yang membutuhkan pengaturan yang adil dalam berusaha (equal level playing fields). 

Dari ketiga hal tersebut, KPI menilai yang paling penting pengaturan ini harus mengutamakan kepentingan publik. Kebebasan berekspresi dan berkreasi harus tetap dijamin namun juga ada koridor regulasi agar tidak kacau dan ranah publik menjadi sebuah ruang ekspresi yang konstruktif. Kemudian memberi perlindungan pada publik dari konten negatif di internet, serta menjamin hak cipta dan ekonomi bagi para pembuat konten. 

Hardly juga mengapresiasi Kominfo terkait pengaturan penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat. Hal ini dinilai sebagai sebuah terobosan untuk menundukkan industri aplikasi internasional untuk masuk dalam ruang hukum Indonesia. Adapun mengenai pengaturan konten internet dan OTT Streaming, menurut KPI pilihan instrumen pengaturannya dapat dilakukan dengan membuat undang-undang baru, revisi undang-undang yang sudah ada, atau melakukan terobosan regulasi. 

Jika pilihannya adalah revisi undang-undang penyiaran, paling tidak  hal mendasar yang perlu dilakukan adalah memperluas definisi penyiaran, menambah satu obyek hukum yang akan diawasi misalnya Lembaga Penyiaran Multimedia Internet, dan mengatur kewenangan pengawas untuk menjalankan co-regulation. Meski demikian, apapun pilihan yang diambil sebagai instrumen pengaturan internet, tetap harus mempertimbangkan diskursus publik, kewenangan pembuat undang-undang, dan efektivitas dalam memenuhi kepentingan nasional, publik dan bisnis. 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.