Solo - Media dan publik memiliki hubungan interdependensi yang menunjukkan keduanya saling membutuhkan. Publik membutuhkan media sebagai sumber informasi dan hiburan. Demikian pula sebaliknya, media membutuhkan publik sebagai khalayaknya. Jika memahami relasi interdependensi pada keduanya, selayaknya publik juga paham akan haknya dalam melakukan kritisi terhadap konten media. 

Kegiatan literasi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam tajuk Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa, akan memiliki kekuatan yang lebih besar ketika dikolaborasikan dengan kalangan perguruan tinggi dan akademisi. Perguruan tinggi dapat bertindak sebagai amplifier untuk mendorong publik ikut kritis pada konten media, termasuk televisi dan radio. Hal ini disampaikan oleh Agus Riewanto dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo, dalam kegiatan GLSP yang digelar KPI di UNS, Solo, (27/1).  

Dosen yang juga pakar hukum tata negara ini menjelaskan pula, bahwa publik memiliki hak yang besar dalam mengawasi konten penyiaran agar sesuai dengan kepentingannya. Secara gamblang Agus memaparkan prinsip penggunaan frekuensi yang jumlahnya terbatas dan dimiliki oleh negara. “Karena sesungguhnya frekuensi ini milik negara, berarti publik atau masyarakat pun berhak melakukan kritisi terhadap penggunaannya,” ujar Agus. 

GLSP di Solo ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan literasi di KPI Pusat pada tahun 2023. Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah mengatakan, GLSP ini menjadi bagian usaha KPI dalam rangka meningkatkan kualitas isi siaran. Di tengah persaingan ketat antara media di medium penyiaran dan platform baru yang menggunakan broadband, KPI tetap memberikan pengawasan pada televisi dan radio agar tunduk pada koridor regulasi  penyiaran yang ada. 

Fenomena saat ini, ketika konten media sosial viral dengan jumlah viewer yang jutaan, pembuat program siaran di televisi segera mengadopsi untuk memarakkan konten layar kaca. “Tidak ada larangan menayangkan yang viral di media sosial ke televisi,” tegas Nuning. Tapi bukan berarti semuanya dapat tampil tanpa ada seleksi dan quality control yang ketat. Bagaimana pun, aturan pada dua jenis media tersebut berbeda. 

Adegan kekerasan, seksualitas,  dan eksploitasi anak jelas dilarang muncul di televisi dan radio. Hal-hal seperti ini yang harus diingat betul oleh para pembuat program siaran televisi. Nuning pun memberi contoh tayangan orang tua yang mandi lumpur di media sosial, kemudian muncul di televisi. “Untuk hal-hal seperti ini, KPI sudah memanggil lembaga penyiaran yang bersangkutan,” ujarnya. 

Dalam menjaga konten siaran, KPI juga mengambil langkah preventif lainnya, seperti pembinaan pada lembaga penyiaran serta menggelar Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) untuk para praktisi penyiaran. Langkah ini diambil KPI agar memastikan tim produksi di lembaga penyiaran memahami dengan betul aturan yang berlaku dalam pembuatan program. 

Kepada mahasiswa yang menjadi peserta GLSP, Nuning menjelaskan bagaimana perolehan rating share dari masing-masing jenis program siaran. Program siaran yang memiliki rating share tinggi seperti infotainment dan sinetron, ternyata mendapatkan nilai indeks kualitas yang paling rendah dalam penelitian yang dilakukan oleh KPI. Kondisi ini tentu harus diberikan intervensi, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas literasi publik. “Sehingga publik paham mana tayangan yang baik mana yang buruk,” ujarnya. Kalau sudah mengetahui, tentu publik pun dapat mengambil sikap dengan hanya menonton tayangan-tayangan yang berkualitas saja. 

Nuning mengingatkan pula tentang prinsip supply and demand dalam konteks penyiaran. “Banyak netizen di media sosial yang meminta tayangan pendidikan hadir lagi di televisi,” ungkapnya. Tapi sebenarnya dari data lembaga pemeringkatan tayangan televisi, program siaran dengan genre pendidikan hanya ditonton oleh 0,4 persen pemirsa saja. Padahal untuk dapat menjaga kesinambungan tayangan, dibutuhkan pemasang iklan yang biasanya menempatkan produk pada tayangan yang banyak penonton. Kondisi seperti ini tentu harus dipahami publik, sehingga dukungan terhadap program-program siaran yang baik dapat dilakukan. 

Narasumber lain yang turut hadir adalah Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari yang mengulas dinamika dunia penyiaran yang sangat membutuhkan regulasi baru. Selain Abdul Kharis, hadir pula Serly Artika Sri Devi pemenang Dangdut Akademi Indosiar yang berbagi pada peserta GLSP tentang langkah yang ditempuhnya sebagai putra bumi Sriwijaya, hingga menjadi juara di pentas layar kaca.

(Foto: KPI Pusat/ Syahrullah)

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai mengambil langkah cepat menghadapi agenda Pemilihan Umum (Pemilu) di 2024 mendatang lewat perencanaan kerjasama dalam pengawasan isi siaran pemberitaan dan iklan kampanye di lembaga penyiaran. Kerjasama akan dikuatkan melalui penandatanganan nota kesepahaman bersama atau MoU (memorandum of understanding) kedua belah pihak dalam waktu dekat.

Rencana ini mengemuka dalam petemuan Kepala Sekretariat KPI Pusat dengan perwakilan KPU membahas agenda MoU dan PKS (Perjanjian Kerja Sama) antara kedua lembaga di Kantor KPI Pusat, Jakarta Kamis (26/1/2023).

Sekretaris KPI Pusat, Umri mengatakan, MoU ini sangat penting dalam kaitan peran pengawasan siaran pemberitaan dan iklan kampanye dalam Pemilu mendatang. Hal ini untuk memastikan siaran pemberitaan dan iklan kampanye di lembaga penyiaran tidak melanggar aturan penyiaran Pemilu juga netral, adil, berimbang dan aman. 

“Perlu diketahui jumlah lembaga penyiaran di seluruh Indonesia ada ribuan. Karenanya, MoU ini nantinya harus tersampaikan hingga daerah. Saya usul perlu adanya bimbingan teknis dengan lembaga penyiaran tersebut untuk menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan terkait siaran kampanye,” jelasnya.

Menurut Umri, keberadaan MoU ini sangat ditunggu khususnya regulator penyiaran di daerah. Ada 33 KPID yang di 33 Provinsi yang akan menjalankan fungsi pengawasan siaran politik di lembaga penyiaran lokal. 

“Adanya MoU ini sangat baik karena ini akan ditunggu KPID karena mereka juga butuh acuan untuk koordinasi dengan pihak terkait di daerah,” ujar Umri.

Sementara itu, perwakilan KPU melalui Tim Humas dan Hubungan Antar Lembaga, mengakui kerjasama ini sangat penting bagi mereka. Pasalnya, KPI memiliki kewenangan dan faslitas dalam pengawasan siaran dari lembaga penyiaran. “Kita ingin bekerjasama dengan KPI dan mensosialisasikan hal ini bersama-sama,” katanya. ***/Foto: AR

 

 

 

Jakarta - Jakarta - Terpilihnya tiga orang perempuan sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2022-2025 memberikan harapan baru dalam mengawal agenda penyiaran yang ramah terhadap anak dan perempuan. Nuning Rodiyah memberikan apresiasi yang tinggi kepada Komisi I DPR RI yang menghadirkan perempuan sebagai anggota KPI Pusat dengan jumlah yang lebih banyak dari tiga periode KPI terakhir. Hal tersebut disampaikan Nuning, menyambut terpilihnya Mimah Susanti, Aliyah dan Evri Rizqi Monarshi sebagai Anggota KPI periode 2022-2025 bersama enam orang lainnya, oleh Komisi I DPR RI, (24/1). 

Harus disadari, tantangan konten siaran ke depan akan semakin besar, baik sebagai konsekuensi dari penyiaran digitial serta media baru yang makin memudahkan setiap orang membuat konten ke muka pubik. Kehadiran tiga perempuan sebagai regulator penyiaran selama tiga tahun ke depan, tentunya diharapkan dapat membuat siaran televisi dan radio tetap terjaga dari konten yang mengancam masa depan anak Indonesia dan tidak berpihak pada kepentingan perempuan. 

Lebih jauh, Nuning berharap Komisi I DPR RI juga dapat dengan segera merampungkan regulasi terhadap media baru, sebagai bentuk perlindungan negara pada publik. “Tidak saja pada industri kreatif, tapi juga pada anak dan perempuan yang sangat rentan terhadap dampak konten di media baru dan juga OTT,” ujarnya. 

Nuning yang telah menjadi anggota KPI Pusat sejak tahun 2016, mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan Komisi I pada dirinya untuk mengabdi pada lembaga negara ini. Bagi Nuning, selepas dari KPI, komitmennya untuk terus menyuarakan perlindungan terhadap kepentingan anak dan perempuan tidak akan berhenti. Dia meyakini, jalan itu akan terus terbuka untuknya, meski sudah tidak lagi di KPI. “Bagi saya, melindungi perempuan dan anak adalah kemestian. Karena kesejahteraan anak dan perempuan memiliki peran penting untuk kebaikan peradaban,” pungkasnya.

(Foto: KPI/ Agung Rahmadiansyah)

 

Jakarta – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengumumkan sembilan nama Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2022-2025 yang terpilih, Selasa (24/1/2023). Ke sembilan nama ini terpilih secara musyawarah mufakat setelah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and propertest) pekan lalu.

Pengumuman ke sembilan nama Anggota KPI Pusat periode 2022-2025 disampaikan langsung Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid. Adapun ke 9 Anggota KPI Pusat terpilih periode 2022-2025 yakni:

1. Aliyah

2. Amin Shabana

3. Evri Rizqi Monarshi

4. I Made Sunarsa

5. Mimah susanti

6. Mohamad Reza

7. Muhammad Hasrul Hasan

8. Tulus Santoso

9. Ubaidillah

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid mengatakan, Komisi I menetapkan tiga orang perempuan untuk keterwakilan perempuan 30 persen.“Tiga perempuan menjadi calon anggota KPI menunggu disahkan saja. Tercapai 30 persen,” kata Meutya Hafid.

Selain memilih sembilan nama Anggota KPI Pusat, Komisi I DPR RI menetapkan enam nama cadangan Anggota KPI Pusat Periode 2022-2025 antara lain Mulyo Hadi Purnomo, Tantri Relatami, Cecep Suryadi, Ida Fitri Halili, Gustav Aulia dan Bondan Kartiko. ***

 

Jakarta - Bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), prinsip perlindungan anak adalah hal yang sangat mendasar dalam pengawasan konten siaran di televisi dan radio. Karenanya, jika ada program siaran yang mengeksploitasi anak, melakukan bullying pada anak, maka dapat dipastikan KPI akan tegas memberikan sanksi. Hal ini disampaikan Nuning Rodiyah, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan di kantor KPI dalam pertemuan dengan pengelola program siaran televisi, (20/1).

 

Selain itu, harus diingat pula, KPI mengedepankan prinsip imparsialitas dalam penjatuhan sanksi. “Sehingga, jika terbukti melanggar ya harus ditindak,” tegas Nuning. Dirinya mencermati, belakangan ini banyak program siaran di televisi yang bersumber dari sesuatu yang sedang viral di media sosial. “Hal ini harus mendapat perhatian khusus untuk diatur,” ujarnya. Agar tidak semata-mata menampilkan yang viral demi menaikkan angka rating. Padahal harus dipahami betul, aturan di televisi dan radio sangat berbeda dengan aturan di media sosial yang sangat longgar dan cenderung tak punya aturan.

 

Dia mengingatkan, jangan sampai konten-konten viral di media sosial yang cenderung menimbulkan penyakit sosial baru, diamplifikasi oleh televisi ke tengah publik. “Jangan sampai televisi melakukan amplifikasi terhadap konten viral di sosmed yang muatannya mengarah pada munculnya penyakit sosial,” tandasnya. Pada dasarnya menjadikan muatan viral di media sosial sebagai konten televisi kalau memang positif, rasanya baik-baik saja. Maka dari itu, ketika menginisiasi sebuah program siaran, jangan sampai memunculkan persoalan baru. Misalnya, eksploitasi anak, bullying, mandi-mandi lumpur atau pun pukul-pukul panci,” ujarnya. Yang seperti itu seharusnya tidak perlu dimunculkan di televisi, kecuali dalam rangka menjadikan sebuah bahasan tentang fenomena sosial dengan mengundang narasumber yang kompeten.

 

Pada kesempatan tersebut, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo dan Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti. Mulyo berpendapat, mungkin saja televisi mengangkat sesuatu yang viral di media sosial. Norma sosial harus menjadi pertimbangan sebelum dimunculkan. “Apakah punya potensi menimbulkan kegaduhan? Jika iya, maka harus ada pesan dan edukasi kepada publik bahwa ada yang tidak benar dari konten tersebut agar tidak ditiru. Sehingga, konten televisi hadir sebagai pengingat bagi masyarakat, jangan justru membuat muatan siaran yang membenarkan konten-konten negatif,” ujarnya.

 

Termasuk persoalan konten mandi lumpur yang juga muncul di televisi. “Kalau tidak ada penegasian yang tegas dari televisi dan penjelasan pada publik, ini yang membuat saya yakin kalau anak-anak dan publik secara umum akan semakin bersemangat membuat konten yang nyeleneh, agar dapat duit. Yang penting ditonton sebanyak-banyaknya orang,” tambah Mulyo.

KPI juga menerima penjelasan dari para pengelola program siaran tentang alasan konten-konten viral diangkat di televisi. Nuning berharap, para produser program memiliki sensitivitas yang baik terhadap perlindungan anak dan juga perempuan dalam menjalankan ide-ide kreatif untuk konten televisi. “Yang pasti mereka juga harus paham menempatkan gimmick dalam sebuah program. Jangan sampai eksplotatif dan juga mengesampingkan kepentingan anak, baik yang hadir di televisi ataupun sebagai penonton,”ujar Nuning.

 

Catatan lain dari Nuning terhadap program siaran yang mengambil konten media sosial adalah persoalan rumah tangga perselingkuhan antara mertua dan menantu yang muncul di televisi, dengan menghadirkan pelaku. Hal-hal seperti ini, menurut Nuning, menunjukkan minimnya sensitivitas pengelola program tentang kewajiban memberikan edukasi kepada publik.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.