Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meneruskan surat aduan dari masyarakat terkait rencana penyiaran ajang Miss Wolrd 2013 oleh stasiun televisi RCTI, Selasa, 3 September 2013. Dalam suratnya, KPI meminta RCTI agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh aduan dari masyarakat tersebut. Aduan masyarakat ke KPI didasarkan pada pandangan atas keberagaman budaya dan nilai-nilai yang ada di masyarakat tentang penyelenggaraan dan rencana penyiaran ajang tersebut.
Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, dalam suratnya mengatakan, penerusan aduan ini dilandasi ketentuan Pasal 8 ayat 3 huruf e dalam UU Penyiaran tahun 2002. “KPI berkewajiban untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran,” katanya.
Tidak lupa, dalam surat itu, KPI meminta RCTI untu menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 20012 sebagai acuan utama dalam penayangan setiap program siaran. Red
Jakarta – KPI dan Bawaslu segera membuat keputusan bersama mengenai SOP tentang Desk Penyiaran Pemilu 2014. Hal itu disepakati dalam pertemuan lanjutan antara KPI dan Bawaslu di kantor Bawaslu Pusat, Senin, 2 September 2013. Selain itu, hasil pertemuan tersebut mendesak agar pembentukan task force 4 lembaga dipercepat.
Dalam pertemuan tersebut, KPI dihadiri langsung Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, Anggota KPI Pusat, Agatha Lily dan Fajar Arifianto Isnugroho.
Diawal pertemuan, Idy Muzayyad menegaskan bahwa MoU antara KPI dan Bawaslu memandatkan beberapa hal seperti pembentukan desk bersama dan penyamaan persepsi tentang batasan kampanye. Terkait persepsi kampanye ini, Judhariksawan meminta agar semua pihak bisa sama. “Ini sangat penting dalam desk penyiaran. Pasalnya, definisi siaran kampanye belum jelas,” katanya.
Anggota Bawaslu bidang Pengawasan, Daniel Zuchron menyampaikan beberapa masalah seperti pelanggaran pada iklan peserta pemilu. Pertemuan antara lembaga akan dilakukan kembali dalam waktu dekat. Red
Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat mencabut izin dari lembaga penyiaran yang menunggak pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Perizinan dan Infrastruktur KPI Pusat dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra-FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).
Dalam Pra FRB yang juga dihadiri oleh jajaran Ditjen Sumber Daya Penyelenggaraan Pos dan Informatika (SDPPI) dan Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo tersebut, diketahui beberapa lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin, ternyata sudah lama menunggak pembayaran IPP yang seharusnya dilakukan setiap tahun. Padahal surat peringatan ataupun teguran telah dilayangkan oleh Ditjen PPI dan KPID setempatkepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Karenanya, KPI dan Kemenkominfo akan melakukan tindakan tegas atas penunggakan-penunggakan ini, yakni berupa penolakan perpanjangan izin ataupun pencabutan izin siaran.
Menurut Azimah, lembaga penyiaran seharusnya memiliki kesadaran penuh bahwa frekuensi yang digunakan untuk bersiaran adalah milik negara yang dipinjamkan. Konsekuensi dari peminjaman frekuensi tersebut, lembaga penyiaran harus membayar kepada negara sebagai salah satu bentuk kontribusinya pada negara.
Azimah menyadari bahwa kehadiran lembaga penyiaran di tengah masyarakat membantu pemerintah baik dalam penyebaran informasi serta pelayanan publik bagi masyarakat. Namun, lanjut Azimah, lembaga penyiaran pun mendapatkan keuntungan financial atas bisnis mereka yang menggunakan frekuensi tersebut. Sesuai ketentuan berlaku, seharusnya lembaga penyiaran taat dengan menunaikan kewajiban financial pada negara. “Dalam undang-undang penyiaran sudah disebutkan bahwa negara menguasai spectrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, ujarnya. Sehingga sikap dari lembaga penyiaran yang menunggak tersebut tidak sejalan dengan amanat undang-undang penyiaran.
Ke depannya, Azimah menjelaskan, KPI Pusat akan melakukan penataan terhadap mekanisme perizinan untuk lembaga penyiaran. Saat ini frekuensi yang tersedia sedemikian terbatas, sedangkan pemohon atas izin penyiaran terus bertambah. Sehingga terjadidefisit frekuensi di beberapa daerah yang memang memiliki banyak peminat untuk menyelenggaran penyiaran. Di sisi lain,ujar Azimah, di tengah defisit frekuensi ini ada pula frekuensi yang dimiliki lembaga penyiaran namun tidak digunakan untuk bersiaran, atau digunakan namun tidak membayar iuran ke negara baik dalam bentuk biaya ISR ataupun IPP. Karenanya, penataan mekanisme perizinan ini, menurut Azimah, akan memberikan data riil atas lembaga penyiaran yang benar-benar beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada. Dirinya berharap dengan penataan ini, seluruh frekuensi yang tersedia dapat dimanfaatkan optimal oleh lembaga penyiaran untuk memberikan kemaslahatan bagi negara dan bangsa Indonesia.
Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat akan pusatkan perhatian atas mekanisme pelayanan perizinan penyelenggaraan penyiaran agar dapat ditempuh dengan cepat dan akuntabel. Hal tersebut juga sejalan dengan undang-undang tentang keterbukaan informasi public serta undang-undang pelayanan publik. Hal tersebut disampaikan Amiruddin, komisioner KPI Pusat bidang perizinan dan infrastruktur dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).
Apa yang dikatakan Amiruddin ini sejalan dengan harapan yang disampaikan jajaran Ditjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Syaharuddin, saat membuka acara Pra FRB tersebut. Menurut Syaharuddin, sebagai regulator bersama, KPI dan Kemenkominfo harus meningkatkan lagi kualitas pelayanan perizinan penyiaran. Sehingga para pemohon izin mendapatkan kepastian tentang status perizinan dari usaha penyiaran yang mereka jalani.
Ke depan, ujar Amiruddin, pusat data perizinan penyiaran yang dimiliki oleh KPI akan dimutakhirkan, sehingga kinerja perizinan penyiaran ini dapat diketahui masyarakat lewat informasi yang sesuai melalui web site KPI Pusat. Hal ini merupakan salah satu upaya KPI dalam menciptakan pelayanan publik yang optimal dan akuntabel bagi masyarakat.
Sebelumnya dijelaskan pula oleh Koordinator bidang perizinan dan infrastruktur KPI Pusat, Azimah Subagijo, penataan mekanisme pelayanan perizinan yang dilakukan KPI Pusat untuk mengoptimalkan pemanfaatkan frekuensi sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang penyiaran. Keberadaan frekuensi sebagai salah satu sumber daya yang dikelola negara, sangat terbatas. Namun peminat yang berkeinginan mengelola frekuensi untuk dunia penyiaran sangat banyak. “Disinilah peran KPI untuk memastikan frekuensi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat”, ujar Azimah. “TIdak boleh ada frekuensi yang diberikan pada lembaga penyiaran, namun ternyata tidak digunakan untuk bersiaran. Atau kalaupun bersiaran, tapi tidak menunaikan kewajiban pembayaran izin-izin kepada negara” tegasnya. Dua hal terakhir ini yang menjadi temuan dalam Pra FRB, yang merupakan salah satu tahapan perizinan yang harus dilewati oleh pemohon izin siaran. Azimah menekankan, bahwa KPI berkomitmen agar frekuensi yang dipinjamkan negara pada para penyelenggara penyiaran ini, harus member manfaat optimal bagi kebaikan masyarakatnya.
Jakarta - Realisasi pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) harus diikuti dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang LPPL tersebut. Mengingat pembiayaan operasional LPPL dibebankan pada Anggaran Perencanaan dan Belanja Daerah (APBD) setempat. Karenanya, untuk mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Tetap, LPPL harus sudah memiliki payung hukum berupa Perda. Hal tersebut disampaikan Sujarwanto Rahmat M Arifin, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, saat menerima Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gunung Kidul, di kantor KPI (29/8).
Dalam pertemuan tersebut, hadir Ketua DPRD Gunung Kidul, Budi Utama didamping Ketua Komisi B Suhardono, Sekretaris Komisi B, Tri Iwan Isbumaryani danbeberapa anggota lainnya. Menurut Budi Utama, pemerintah daerah kabupaten Gunung Kidul sedang memproses perizinan dari radio pemerintah kabupaten, Swaradaksinaga, yang berupa LPPL. Hingga saat ini, radio Swaradaksinaga sudah melewati proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan KPID Daerah Istimewa Yogyakarta. Direncanakan, dalam waktu dekat, radio Swaradaksinaga akan melewat proses Pra FRB (Forum Rapat Bersama) antara KPI, KPID dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Rahmat sendiri mengakui, keberadaan radio Swaradaksinaga sangat didukung oleh KPID DIY tempatnya dulu berkiprah. Lewat KPID DIY, radio ini diharapkan dapat memberikan layanan informasi pada masyarakat Gunung Kidul, melengkapi tiga radio yang sudah ada terlebih dahulu. Untuk itu dirinya menyarankan agar DPRD Gunung Kidul segera mengagendakan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2014, tentang Perda LPPL ini.
Selama ini, untuk mendapatkan Rekomendasi Kelayakan (RK) dari KPID DIY, memang cukup dengan adanya Peraturan Bupati (Perbup) tentang LPPL. Namun untuk bisa bersiaran dan memeroleh IPP Tetap, syarat yang ditetapkan regulasi adalah keberadaan Perda.
Rahmat memberikan contoh tentang LPPL radio di Purworedjo dan LPPL Televisi di Kebumen. Keduanya dapat beroperasi dengan payung hukum berupa Perda LPPL setempat. Namun demikian Rahmat mengingatkan, bahwa keberadaan LPPL nantinya bukanlah untuk sarana pencitraan pejabat. “LPPL harus bersifat netral seperti RRI dan TVRI sekarang. Karenanya tidak boleh digunakan untuk narsisme pejabat”, tegas Rahmat.
Bagi KPI keberadaan LPPL di daerah menjadi sarana diseminasi informasi yang efektif pada masyarakat. Diharapkan lewat LPPL ini jangkauan pelayanan informasi pada masyarakat di berbagai pelosok daerah dapat lebih besar dan optimal.
Pada program Acara komedi BTS yang tayang hari minggu, 15 Mei 2022 di Trans7. Pada menit 1:05 Ditemukan adanya adegan pelanggaran, dimana pemeran orangtua nya Wendi bertutur kata kepada Ayu dengan berbunyi"lu cinta dengan anak vampir begini" hal itu mengandung unsur SARA atau rasis. Hal itu berkaitan dengan uu p3sps
1. UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, Pasal 36 ayat (6), melarang “memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.” Pelanggaran pasal ini diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar (Pasal 57).
2. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS), Pasal 24 ayat (1), menyatakan: “Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau menghina agama dan Tuhan.” Pelanggaran atas pasal ini diancam sanksi penghentian sementara (Pasal 80), dan bila tidak patuh, dapat diancam sanksi lebih keras: denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (Pasal 75 ayat 2).
Selanjutnya pelanggaran yang kedua, terdapat pada menit 6:43 ketika adegan si ayu menonjok wendi. Muatan tersebut tidak layak ditayangkan karena dapat berdampak negatif terhadap khalayak penonton, Ditambah lagi, tayangan tersebut dikategorikan sebagai tontonan remaja yang ditayangkan pada jam anak-anak masih beraktivitas. Mereka dapat menganggap hal seperti itu sebagai perilaku wajar dan normal dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga hal tersebut dinilai tidak pantas dan dapat berpotensi melanggar UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 pasal 36 (5) melarang isi siaran yang menonjolkan kekerasan. Kualifikasi kekerasan tersebut diatur secara rinci dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Adapun kualifikasi program yang menonjolkan kekerasan adalah program tayangan yang menampilkan 1) tindakan verbal dan/atau non-verbal yang bisa menimbulkan rasa sakit secara fisik dan/atau psikis dan/atau sosial bagi korban, serta berpotensi melanggar ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 pasal 9 tentang pedoman perilaku penyiaran yaitu Lembaga penyiaran wajib menghormati nilai dan norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat, Pasal 15 Ayat 1 tentang standar program siaran yaitu Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak- anak dan/atau remaja, dan Pasal 37 Ayat 4 tentang standar program siaran yaitu Program siaran klasifikasi R dilarang menampilkan: (a.) muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya pelanggaran di program komedi ada beberapa poin yang mengandung kekerasan verbal. Alangkah lebih baik jika program yang ditayangkan khususnya program komedi bukan merupakan tayangan yang bermuatan kekerasan, terutama kekerasan verbal, terlebih lagi sampai membeberkan mengolok orang dengan sebutan lain kepada publik. Perlu diingat bahwa setiap stasiun televisi memiliki tanggung jawab sosial pada pemirsa lewat tayangan yang dihadirkan.
Pojok Apresiasi
Umar Hidayatullah
Nanti Insya Allah bila saya jadi presiden akan ada kementerian yang mengurusi persoalan kesihatan mental yang mana didalamnya akan terdapat sebuah bagian yang mengatur konten konten di youtube atau aplikasi aplikasi mobile lainnya yang dapat merusak mental akan kita datangi dan berbicara dari hati ke hati dengan konten kreator tersebut