- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 35501
Jakarta - Merebaknya protes masyarakat atas muatan sinetron “Zahra”, harus jadi momentum untuk meningkatkan sensitivitas publik terhadap isu perlindungan anak dan keadilan gender. Kehadiran anak yang berperan sebagai orang dewasa dengan konflik rumah tangga di sinetron tersebut, menunjukkan adanya ketidakpahaman atas regulasi. Baik itu yang termuat dalam undang-undang penyiaran, undang-undang perkawinan serta undang-undang perlindungan anak. Untuk itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan segera berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) guna melakukan edukasi kepada lembaga penyiaran dan juga pengelola rumah produksi tentang perspektif perlindungan anak dan keadilan gender di media.
Hal tersebut menjadi pembahasan dalam pertemuan antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dengan KPI Pusat yang diwakili oleh Komisioner Bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah dan Hardly Stefano Pariela, di kantor KPPPA (3/11).
Bintang menegaskan, dalam rangka pemenuhan hak anak dan juga perlindungan anak di media, seharusnya anak-anak diberikan peran sesuai dengan usianya. Kalau usia 15 tahun berperan sebagai orang dewasa sebagaimana yang muncul dari sinetron Zahra, bertentangan dengan usaha pemerintah menggencarkan pencegahan perkawinan anak dengan sosialisasi undang-undang nomor 16 tahun 2019 yang menyamakan batas usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun. “Kita dihajar oleh sinetron yang dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah yang dapat dengan mudah menerima bahwa apa yang tampil di sinetron adalah benar,” ujar Bintang. Karena tidak adanya pemilihan dan pemilahan terhadap konten siaran yang dikonsumsi masyarakat.
Sementara itu menurut Nuning Rodiyah, pelajaran penting dari sinetron Zahra ini, masyarakat memberikan perhatian yang besar terhadap isu perlindungan anak dan perempuan. Sensitivitas publik atas isu ini harus dijaga lewat program literasi ke masyarakat. “Sehingga, kalau muncul lagi muatan siaran yang tidak sensitive gender atau tidak memperhatikan perlindungan anak, masyarakat dapat segera bersuara dan memberikan koreksi,” ujarnya.
KPI sendiri memiliki program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dalam rangka penguatan kapasitas literasi masyarakat. Lewat literasi ini, selain memberikan pemahaman tentang bagaimana menonton siaran baik dan meninggalkan siaran yang buruk, diharapkan dapat mengubah selera menonton di masyarakat yang akhirnya memaksa pihak televisi untuk hanya menyiarkan program yang berkualitas. Nuning berharap kerja sama dengan KPPPA juga dapat direalisasikan melalui literasi media guna memberikan sosialisasi terhadap urgensi perlindungan anak dan keadilan gender di tengah masyarakat. “Pelajaran penting dari sinetron Zahra, masyarakat punya perhatian yang besar terhadap isu-isu perlindungan anak dan juga perempuan,” ujarnya.
Hal mendesak yang juga harus segera direalisasi adalah peningkatan kapasitas para pekerja rumah produksi dan lembaga penyiaran. Dalam pengamatan Nuning, kedua unsur penting dalam dunia penyiaran ini masih minim informasi tentang keadilan gender dan perlindungan anak. “Sehingga perlu ruang-ruang belajar bersama berkaitan dengan dua isu tersebut,” ujarnya.
Hardly Stefano berpendapat, harus diakui adanya fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di masyarakat yang menginspirasi rumah-rumah produksi untuk diangkat dalam sebuah cerita di sinetron. Namun, menurutnya, harus ada lesson learned yang tegas muncul untuk tidak melegitimasi fenomena KDRT tersebut. Jika mengangkat fenomena tersebut, sinetron juga harus memberikan edukasi tentang solusi yang sudah disediakan negara atas KDRT. Menteri Bintang sangat mendukung jika materi edukasi dapat diselipkan dalam cerita di sinetron. Selama ini KDRT dianggap sebagai aib sehingga pihak yang menjadi korban enggan bicara. “Perempuan harus diedukasi untuk bicara dan melapor, jika mengalami KDRT,” ujarnya. Sehingga sinetron juga membantu memberikan solusi pada masyarakat tentang KDRT, bukan sekedar mengangkat fenomena belaka sehingga kerap kali dianggap publik sebagai pembenaran.
Senada dengan Menteri Bintang, Nuning memaparkan bahwa program hiburan seperti sinetron dan film memiliki magnitude yang sangat tinggi. Sebanyak 60% pemirsa televisi menonton program hiburan. “Sudah seharusnya pesan-pesan positif dapat diselipkan dengan kemasan kreatif dalam program tersebut, ujarnya.
Dalam pertemuan ini, hadir pula Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur Sitepu. Menteri Bintang berharap kerja sama kementeriannya dengan KPI dapat segera direalisasikan dalam waktu dekat. Baik dalam bentuk pembekalan untuk pelaku industri penyiaran, masyarakat umum, atau pun tim pengawasan isi siaran dari KPI agar lebih sensitive terhadap perlindungan anak dan juga keadilan gender. Foto: AR