- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 26831
Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di Hotel Borobudur, Rabu (30/5/2018), menghadirkan narasumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. (Foto by Agung Rachmadyansah KPI)
Jakarta -- Media penyiaran diminta bijak dan arif dalam melakukan peliputan dan penyiaran terkait kejadian serta kasus hukum soal terorisme. Permintaan tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di salah satu Hotel di Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018).
Diskusi yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jelang buka puasa itu menghadirkan narasumber dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers.
Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, media jangan hanya berpikir bagaimana cara menyampaikan informasi tapi juga menaksir dampak yang akan ditimbulkan jika informasi itu disampaikan ke publik. “Kita tidak bisa menampilkan bahan berita apa adanya atau sederhana,” katanya di depan peserta yang sebagian besar perwakilan lembaga penyiaran dan wartawan.
Menurutnya, semangat media untuk menyajikan informasi mengenai terorisme dikhawatirkan justru memunculkan semangat baru atau membangkit sel-sel tidur terorisme. “Tanpa mengurangi kebebasan untuk memberi informasi, kita punya rujukan dan kearifan, bahwa setiap fakta tidak bisa disiarkan secara telanjang.Yang baik adalah harus ada proses edit, verifikasi dan pertimbangan lainnya,” jelas Mayong.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung, Mohamad Rum, mengatakan media harus memiliki kearifan dalam menyiarkan kasus terorisme terutama menyangkut persidangan kasus ini. “Memang susah hakim melarang peliputan tapi semuanya kembali ke medianya. Kebijaksanaan media menjadi harapan demi kepentingan publik dan nasional serta penegakan hukum,” jelasnya.
Sementara, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, Abdullah, menyampaikan siaran langsung perkara terorisme dapat mengancam keamanan perangkat pengadilan karena data identitasnya terutama hakim jadi terbuka. Selain itu, jalannya sidang yang disiarkan “live” dapat mempengaruhi keterangan para saksi di depan hakim.
“Mestinya saksi yang akan dimintai keterangan sesudah saksi sebelumnya tidak boleh mengetahui apa-apa yang disampaikan. Ini akan menambah wawasan kepada saksi berikutnya dan akan sulit dipertanggungjawabkan keterangannya karena hakim itu membutuhkan keterangan yang original,” kata Abdullah.
Menurutnya, sebaiknya siaran “live” dari ruang sidang dibatasi demi menjaga kemurnian keterangan saksi untuk mengadili terdakwa. Media memiliki andil besar menyelamatkan banyak orang dengan tidak menyiarkan hal ini.
Ketua Dewan Pers, Yoseph Adhi Prasetyo, juga mengingatkan media untuk mentaati aturan etika peliputan sidang di sebuah pengadilan. Dia mencontohkan persidangan kasusnya Jesica yang digelar di Pengadilan Negeri Pusat beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, semua media ingin meliput jalannya sidang yesica secara langsung, dimana kasus ini dianggap agak unik, karena Jaksa penuntut Umum tidak bisa menghadirkan alat bukti yang sah, sehingga vonis banyak berdasarkan dari saksi ahli.
Dewan pers juga ikut mengeluarkan pedoman peliputan terorisme maupun peliputan sidang lainnya yang dapat menjadi pegangan insan pers. Menurut Stanley, panggilan akrabnya, lembaga penyiaran punya kewajiban menyiarkan berita yang akurat di tengah masyarakat dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik dan regulasi penyiaran yang ada. “Media memang harus membuat info berdasarkan fakta tapi jangan sampai mengabarkan ketakutan,” katanya.
Kepala Biro Multimedia Polri, Brigjen Pol. Rikwanto mengatakan, media harus berhati hati dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme. Dia mengkhawatirkan informasi yang tanpa pertimbangan matang akan memicu perkembangan terorisme. Media juga harus berperan memisahkan konteks agama dan tindakan terorisme. “Perbuatannya yang harus dihukum. Labelisasinya di buang,” katanya. ***