Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, didampingi Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan, menyampaikan keterangan pada peserta FGD KPU tentang Pemilukada di Hotel Royal Kuningan, Rabu (7/2/2018).
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) mengusulkan pelaksanaan siaran debat publik lokal pasangan calon kepala daerah dilakukan oleh lembaga penyiaran lokal (lembaga penyiaran swasta lokal maupun publik lokal). Hal ini menyangkut pemberdayaan media lokal serta cakupan kepemirsaannya yang tepat sasaran sesuai dengan daerah yang sedang menyelenggarakan pemilihan. Usulan tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, disela-sela acara fokus grup diskusi (FGD) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) tentang Kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2018 di Hotel Royal Kuningan, Rabu (7/2/2018).
“Pelaksanaan debat publik sudah di atur dalam peraturan KPU. Pandangan kami jika debat paslon ini dilakukan oleh media penyiaran lokal akan lebih fokus target audience yang menjadi sasaran debat, karena terlokalisir di daerah yang sedang menyelenggarakan pemilihan. Ini strategis dan efektif,” kata Nuning di depan peserta FGD yang diantaranya para Komisioner KPU Provinsi.
Menurut Nuning, meskipun pelaksanaan debat oleh lembaga penyiaran lokal bukan suatu kewajiban dan bisa juga disiarkan televisi induk jaringan, minimal KPU memberi satu kali kesempatan untuk lembaga penyiaran lokal untuk menyiarkannya. “Kecuali kalau memang tidak ada lembaga penyiaran lokal atau memang fasilitas dan alat yang dimiliki media penyiaran lokal tidak memadai untuk siaran langsung, atau dapat juga dilakukan oleh Televisi induk jaringan yang juga dapat di relay oleh lembaga penyiaran yang lain dengan syarat harus clean feed dan disepakati antara KPUD dan Lembaga penyiaran yang ditunjuk sebagai host,” katanya.
Persoalan pilihan lembaga penyiaran lokal maupun nasional yang akan menyiarkan debat publik, yang penting harus mengikuti prosedur yang berlaku. Nuning menegaskankan, legalitas ijin lembaga penyiaran harus jelas yakni memiliki izin penyelenggaraan penyiaran atau IPP tetap. Hal ini harus menjadi perhatian KPU yang akan menentukan lembaga penyiaran penyelenggara debat dan yang akan menayangkan iklan kampanye," jelas Nuning.
Dalam kaitan penyelenggaraan debat publik, selain menetapkan Lembaga penyiaran yang akan menyiarkan debat, KPU juga menentukan mekanisme pelaksanaan debat seperti siapa moderator, panelis dan pertanyaan-pertanyaan yang akan disampaikan ke paslon," papar Nuning.
Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan pelaksanaan debat publik dilakukan oleh media penyiaran manapun. “Yang paling penting harus melihat aspek-aspek yang berkaitan seperti keamanan dan yang lainnya. Tapi, memang lebih baik dilakukan di daerah,” katanya.
Wahyu mengungkapkan, proses debat publik ditekankan pada penyampaian visi, misi dan program peserta. KPU juga menyampaikan mekanisme debat apabila pada pemilihan kepala daerah hanya terdapat 1 pasangan calon peserta pilkada, maka format debat akan berbeda dengan mekanisme debat yang pesertanya lebih dari satu pasangan calon. ***
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis didampingi Komisioner Bidang Kelembagaan Ubaidillah dalam Rapat Koordinasi tentang Kelembagaan KPI Daerah Bersama Kementerian dan Lembaga Terkait, (7/2).
Jakarta - Penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah pasca terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, terus dilakukan KPI Pusat dengan melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait. Dalam rapat koordinasi antara KPI Pusat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), di kantor KPI (7/2), dibahas tentang posisi KPI Daerah dalam struktur pemerintahan daerah termasuk pembebanan anggarannya.
Merujuk pada Pasal 9 Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dinyatakan bahwa pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun sejak diberlakukan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, anggaran KPI Daerah tidak lagi dibebankan pada APBD. Tafsiran inilah yang mengakibatkan pelemahan pada kelembagaan KPI Daerah. “Fungsi pelayanan publik berupa pelayanan perizinan dan pengawasan isi siaran oleh KPI Daerah, menjadi berhenti”, ujar Yuliandre Darwis Ketua KPI Pusat.
Padahal, Yuliandre mengatakan, dalam waktu dekat bangsa Indonesia menghadapi agenda politik nasional yang membutuhkan kontribusi KPI Daerah dalam melakukan pengawasan konten-konten siaran dari radio dan televisi lokal di seluruh daerah. Momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), misalnya, tambah Yuliandre. Dengan ketiadaan anggaran, tentulah menyulitkan KPI Daerah melakukan pengawasan atas netralitas, independensi dan keberimbangan lembaga penyiaran pada momen politik ini. Selain itu ada pula ancaman terhadap integrasi nasional dan radikalisme yang muncul lewat ruang-ruang udara, jika tidak dilakukan pengawasan dan pembinaan oleh KPI Daerah. “KPI Pusat memang melakukan pemantauan pada televisi dan radio yang berjaringan nasional,” ujar Yuliandre. Namun masih ada ribuan radio dan televisi lokal yang tidak dijangkau KPI Pusat untuk pengawasannya. Tak heran pula, pada wilayah-wilayah di perbatasan yang dilaporkan, terdapat radio dengan siaran yang dianggap mengancam keutuhan integrasi nasional.
Dalam kesempatan tersebut, Komisioner KPI Daerah Jawa Tengah Rofiuddin menyampaikan kondisi terakhir yang dihadapi lembaganya saat ini. “Jawa Tengah memiliki lebih dari 300 lembaga penyiaran, baik televisi dan radio, yang harus diawasi muatannya oleh KPID,” ujar Rofiuddin. Selain itu, dalam proses pemberian izin penyelenggaraan penyiaran, KPID menjadi lembaga yang pertama kali ditemui oleh pemohon. “KPID juga harus melakukan verifikasi faktual ke setiap lokasi yang mengajukan IPP, serta meminta masukan masyarakat atas rencana kehadiran lembaga penyiaran tersebut,” tambahnya. Rofiuddin memahami adanya tuntutan proses perizinan yang lebih cepat demi memperbaiki iklim usaha. Namun dengan terbatasnya frekuensi yang tersedia, menjadi kewajiban KPI Daerah untuk memastikan pengelolaannya diberikan pada pihak yang kompeten. “Tentunya hal seperti ini membutuhkan ketelitian dan kecermatan penilaian,”tegasnya.
Kemendagri yang diwakili Direktorat Bina Keuangan Daerah, Ihsan Dirgahayu memahami adanya perbedaan tafsiran atas regulasi terbaru tentang perangkat daerah. Namun demikian, Ihsan menilai penganggaran untuk KPI Daerah masih memungkinkan lewat hibah. “Apalagi Undang-Undang Penyiaran secara tegas menyebutkan bahwa pendanaan KPI Daerah dibebankan pada APBD!” ujar Ihsan. Karenanya dapat disimpulkan bahwa penganggaran KPID tetap melalui APBD lewat mekanisme hibah, yang dapt diulang setiap tahun.
Sementara itu Kepala Biro Perencanaan Kemenkominfo, Arifin Lubis menyampaikan pendapatnya tentang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang beririsan antara KPI dan Kemenkominfo. Arifin mengatakan harus ada sinkronisasi pada anggaran dan program antara KPI Daerah dan Dinas Kominfo di daerah, sehingga tidak ada tumpang tindih. “Termasuk juga tupoksi literasi media yang harusnya dapat dipecah antara Kominfo dan KPI,”ujarnya. Selain itu Arifin juga menyampaikan target yang dibebankan Menteri Kominfo terkait pelayanan perizinan untuk penyiaran yang harus dapat diselenggarakan dengan waktu yang lebih cepat lewat e-licensing.
Dalam pertemuan tersebut Paskalis Baylon dari jajaran Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, ikut menyampaikan pendapat. Paskalis setuju bahwa pada prinsipnya pelayanan terhadap masyarakat harus tetap berjalan, dan pengawasan isi siaran juga harus tetap dilakukan KPI Daerah. Dirinya berpesan agar KPI Daerah menjaga hubungan baik dengan pada kepala daerah, sehingga mereka paham urgensi tupoksi KPI di daerah, dan dapat memberikan dukungan anggaran yang baik.
Hadir dalam rapat koordinasi yang merupakan amanat dari Rapat Dengar Pendapat antara Komisi I DPR dan KPI Pusat, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Ubaidillah. Dirinya menyampaikan kondisi terakhir beberapa KPI Daerah yang tidak lagi memiliki anggaran seperti Sumatera Barat dan Jambi. “Ketiadaan anggaran tentunya mengganggu pelayanan perizinan yang merupakan amanat Undang-Undang,” ujar Ubaidillah. Selain itu, terdapat beberapa daerah yang melakukan penundaan terhadap proses seleksi KPID ataupun pelantikan anggota yang sudah terpilih lantaran tidak adanya kejelasan anggaran. Karenanya KPI sangat berharap segera didapat kepastian tentang bolehnya anggaran dalam bentuk hibah dari APBD yang bergulir setiap tahun. “Jika sudah ada kepastian, dengan sendirinya KPI Daerah di berbagai provinsi dapat menjalankan peran-peran strategisnya yang dipercayakan regulasi!” pungkasnya.
Sementara perwakilan dari BAPPENAS, Wariki Sutikno menegaskan, bahwa sudah menjadi tugas semua untuk mengawal substansi penyiaran di tanah air. Melihat peliknya persoalan yang dihadapi secara kelembagaan, Wariki berharap dengan adanya kepastian soal hibah di APBD, KPI Daerah melakukan pengawalan pada APBD Perubahan 2018. Dengan demikian pada tahun ini program-program KPI Daerah dapat segera dianggarkan melalui mekanisme hibah di APBD. Pertemuan yang dimoderatori oleh Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang ini, ditutup dengan merumuskan beberapa kesimpulan yang akan ditindaklanjuti oleh KPI Pusat kepada instansi terkait.
Jakarta – Media penyiaran dituntut melaksanakan fungsinya sebagai penyampai informasi yang benar dan terpercaya. Salah satu informasi yang harus dijamin kebenarannya adalah siaran iklan tentang kesehatan.
Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, menyatakan siaran iklan tentang kesehatan dilarang mengandung informasi yang sumir, membingungkan, tidak benar dan bahkan menyesatkan. Pasalnya, hal ini sangat berkaitan dengan persoalan vital hidup manusia yakni kesehatan.
Dia mengkhawatirkan informasi tidak benar atau menyesatkan tersebut akan sangat mudah diterima dan dipercaya masyarakat. Apalagi jika siaran iklan tersebut ditujukan untuk anak-anak dan hal itu sangat berbahaya. “Anak-anak sangat mudah meniru tanpa bisa melakukan penyaringan dari informasi yang mereka terima di tayangan media,” jelas Dewi saat menjadi narasumber kegiatan Sosialisasi tentang Pengawasan Iklan dan Publikasi bidang Kesehatan di media penyiaran.
Menurut Dewi, peran media penyiaran sangat signifikan dalam penyebar luasan informasi tentang kesehatan. Selain karena pengaruhnya yang besar, siaran melalui media penyiaran dapat diterima masyarakat secara luas.
“Karena itu, kami meminta kehati-hati pihak media ketika menayangkan informasi atau iklan mengenai kesehatan. Apakah isinya sudah sesuai dan mendapat izin dari pihak yang berwenang seperti kementerian kesehatan dan BPOM,” jelas Dewi.
Dalam kesempatan itu, Dewi mengingatkan pembuatan iklan untuk berhati-hati ketika melibatkan anak. Menurutnya, tidak boleh ada eksplotasi anak di bawah umur 12 tahun. “Selain itu, iklan juga seharusnya tidak mengandung unsur kekerasan, bebas dari eskploitasi seksual, sebagai bagian perlindungan terhadap anak,” tandasnya. ***
Jakarta -- Lembaga penyiaran harus mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan golongan ataupun pribadi. Hal itu erat kaitannya dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Evita Nursanty, di depan peserta Sekolah P3 dan SPS KPI Angkatan XXVI di Kantor KPI Pusat, di bilangan Jalan Djuanda, Selasa (6/2/2018).
Menurut Evita, media penyiaran memiliki tanggungjawab besar untuk menyampaikan informasi yang benar bagi masyarakat. Informasi yang disampaikan tidak hanya benar, tapi memiliki manfaat dan berpihak terhadap kepentingan mereka.
“Kita semua memiliki tanggungjawab yang sama yakni menjaga kedaulatan negara ini. Jadi selayaknya informasi yang disampaikan lembaga penyiaran sejalan dengan tujuan penyiaran yakni bermanfaat dan mencerdaskan serta menjunjung nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila,” kata Evita.
Evita pun mengungkapkan permasalahan penyiaran di tanah air mencakup kosentrasi kepemilikan media yang sekaligus berpolitik praktis. Selain itu, isi siaran pun terkesan hanya mengejar keuntungan semata. Belum lagi persoalan kreativitas sumber daya manusia yang perlu ditingkat. Upaya itu sangat berkaitan dengan mutu dan kualitas konten siaran.
Hal lain yang perlu dipacu yakni pertumbuhan penyiaran di daerah atau lokal. Menurut penilaian Evita, siaran media lokal belum dapat menyamai saudara tuanya yang ada di Jakarta. “Belum lagi persoalan lembaga penyiaran publik yang belum optimal,” kata Politisi dari Partai PDI Perjuangan ini.
Dalam kesempatan itu, Evita mendorong Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) menjadi negarawan. Menurutnya, Komisioner KPI Pusat harus memiliki konektivitas dengan ideologi negara dan rasa cinta pada tanah air. “Jika tidak, KPI bisa terombang-ambing, bias dan tidak imparsial seperti logo KPI yang ada Pancasila,” paparnya. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), mulai menyosialisasikan kesepakatan yang ditandatangani beberapa waktu lalu tentang pengawasan iklan dan publikasi bidang kesehatan pada lembaga penyiaran, Senin (5/2/2018), di kantor KPI Pusat, Jakarta Pusat. Sosialisasi ini diharapkan memberi pemahaman lembaga penyiaran untuk lebih berhati-hati ketika menyampaikan informasi kesehatan melalui iklan dan program siaran lainnya.
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan pihaknya punya semangat yang sama dengan Kemenkes dan BPOM soal penyampaian informasi tentang produk atau siaran kesehatan di media penyiaran. “Pesan yang disampaikan tidak boleh menyesatkan publik, tidak boleh superlatif, tidak mengesankan produk itu bisa menyembuhkan segala hal, terlalu berlebihan, serta tidak lengkap infomasinya,” katanya di depan perwakilan lembaga penyiaran yang hadir dalam acara sosialisasi itu.
Terkait hal itu, perlu ada pengawasan serta penindakan yang melibatkan lembaga terkait. Menurut Hardly, P3 dan SPS KPI tidak cukup detail mengatur persoalan kesehatan. Karenanya, harus ada semacam rekomendasi dari lembaga terkait seperti Kemenkes dan BPOM untuk KPI.
“Tadi sudah ada titik terangnya dengan BPOM. Komitmennya dengan KPI sudah sejalan. Selama ini yang sering kita bicarakan bahwa kalau ada potensi pelanggaran dalam iklan sebuah produk makanan, obat-obatan untuk komestik, maka BPOM akan memberikan sanksi berupa peringatan kepada produsen dan meminta produsen dalam waktu tiga puluh hari untuk menghentikan tayangan iklannya dan KPI akan bekerja setelah tiga puluh hari BPOM selesai. Kalau masih ada yang menayangkan iklan sebagaimana yang dimaksud BPOM, maka KPI akan menyisir dan akan memberikan peringatan kepada lembaga penyiaran,” jelas Hardly.
Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik & Produk Komplemen BPOM RI, Indriaty Tubagus, salah satu narasumber sosialisasi menyatakan, BPOM memiliki mekanisme aturan periklanan yang mengedepankan prinsip obyektivitas, tidak menyesatkan dan kelengkapan informasi. “Seharusnya iklan yang terkait produk kesehatan maupun makanan sebelum beredar harus izin ke BPOM. Prosedur pre market istilahnya,” tambahnya.
Menyangkut hal itu, Hardly Stefano, menyatakan perlu tindak lanjut karena dinilai ada ruang kosong terkait salah satunya adalah mekanisme pre market pengawasan iklan sebelum tayang yang dibuat BPOM.
“Ternyata pre market BPOM ini tidak pernah atau belum menjadi bahan untuk keluarnya surat tanda lulus sensor dari LSF. Maka kami mendorong kalau ada pertemuan lanjutan agar melebarkan lagi peserta yang dilibatkan yakni dengan mengundang LSF untuk memastikan pre market yang dibuat BPOM dengan melakukan analisa pra tayang dari iklan itu menjadi bahan pertimbangan bagi LSF. Artinya selain hal-hal teknis sebagaimana diatur dalam regulasi penyensoran, LSF sebaiknya mempertimbangkan rekomendasi dari BPOM. Jadi kita tidak hanya menyelesaikan permasalahan di hulu tapi juga di hilir. Itu harapan dari KPI,” rinci Hardly.
Hardly juga menyoroti persoalan dengan kemenkes yang meminta dihentikannya siaran produk-produk yang sifatnya produk umum yang dapat izin dari kementerian perdagangan tetapi memiliki klaim-klaim kesehatan. Permasalahan ini tidak serta merta dapat diselesaikan secara sepihak karena jika hanya merujuk pada regulasi penyiaran, maka belum ditemukan potensi pelanggaran. Perlu rujukan dari regulasi terkait lainnya baik dalam bidang perdagangan maupun kesehatan.
“Tetapi ketika ada keberatan, kami akan mengadakan forum khusus untuk klarifikasi dengan menghadirkan kemenkes, supaya kita bisa menentukan persoalan secara proposional dan memutuskan tindakan. Akan tetapi, jika menyangkut pengobatan tradisonal dan klinik tradiosionalnya, kita akan mengikuti semua rekomendasi. ketika Kemenkes bilang itu klinik yang tidak boleh tayang di lembaga penyiaran kita akan menertibkan,” tegas Hardly.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, meminta perhatian soal perlindungan anak dan remaja terkait dengan siaran kesehatan. “Anak-anak dan remaja menjadi fokus perlindungan kami dari siaran atau tayangan kesehatan yang informasi menyesatkan serta tidak dapat dipertanggungjawab,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, Oscar Primadi, mengatakan tujuan utama kerjasama ini untuk membebaskan masyarakat dari tayangan kesehatan yang tidak benar. “Masyarakat harus dilindungi dan menghindarkan mereka dari bahaya dan dampak informasi yang tidak benar serta kerugian material akibatnya. Kami juga akan berbicara dengan Ikatan Dokter Indonesia atau IDI dalam kaitan ini.Kami bertekad menyelesaikan hal ini, tidak hanya di hilir tapi juga di hulunya,” jelasnya. ***
Bahwa Program Siaran Jurnalistik “Primetime News” yang ditayangkan oleh stasiun METRO TV pada tanggal 07 Februari 2022 pukul 18.48 WIB menampilkan pemberitaan terkait “Keji, Guru Dibunuh Saat Hendak Mengajar” di Bandung, Jawa Barat. Dalam pemberitaan tersebut terdapat muatan kata kasar “anjing” yang diucapkan seorang pria pada saat pihak kepolisian berada di sekolahan sebagai lokasi kejadian pembunuhan;