- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 2988
Banda Aceh - Sebagai negara yang berada pada posisi geografis dengan sebutan “Ring of Fire”, bencana alam di Indonesia memang tidak bisa dihindari. Namun demikian, resiko dampaknya dapat dikurangi dengan cara memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang dengan pesat. Salah satunya penggunaan fitur deteksi dini bencana (Early Warning System/ EWS) pada perangkat Set Top Box dalam sistem penyiaran digital. Hal ini disampaikan Ubaidillah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, dalam kegiatan simulasi fitur EWS yang diselenggarakan KPI Aceh di Museum Tsunami, (26/10)/
Menurut Ubaidillah, dengan adanya fitur ini, informasi dini mengenai bencana dapat segera sampai ke masyarakat untuk mengambil tindakan persiapan dalam rangka menyelamatkan diri. “Harapan kita, tentunya resiko yang timbul dari bencana ini dapat diminimalisir,” ujarnya.
Lebih jauh dari itu, Ubaidillah mengingatkan tentang urgensi pemberitaan tentang lingkungan lewat lembaga penyiaran. “Saya pernah mengajukan alternatif agar lembaga penyiaran tidak hanya membicarakan tentang bencana, tapi juga terkait mitigasi, pengurangan resiko bencana sampai dengan solusi alternatif yang dapat ditempuh,”tambahnya. Usulan ini dinamai dengan Ecobroadcasting, yakni penyiaran yang ramah terhadap lingkungan, termasuk mengangkat isu perubahan iklim dan cara lain yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan lingkungan.
Ubaidillah mengapresiasi inisiatif KPI Aceh menggelar simulasi EWS yang dihadiri berbagai elemen masyarakat termasuk siswa siswi dari sekolah yang ada di Banda Aceh. Menurutnya, tragedi tsunami di Aceh pada tahun 2004 silam, juga menjadi sebuah momentum hadirnya jurnalisme model baru yakni jurnalisme lingkungan dan juga jurnalisme warga (citizen journalism). Harian Kompas mencatat, munculnya jurnalisme warga dimulai sejak bencana tsunami Aceh. “Yakni ketika masyarakat memvideokan bencana tersebut dan membagikannya di sosial media dan juga lembaga penyiaran,” ujarnya.
Menurut Ketua KPI Aceh, Faisal Ilyas, EWS ini merupakan ikhtiar untuk menghadirkan alternatif teknologi yang membantu masyarakat membangun kesiapsiagaan dalam rangka pengurangan resiko bencana. Pada kegiatan simulasi ini, siswa dan guru mendapatkan literasi peringatan dini tentang siaran digital dengan tiga status, yakni waspada, siaga dan awas, ujarnya. Para siswa juga diedukasi tentang langkah yang harus ditempuh saat peringatan muncul di layar televisi, pada masing-masing status.
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria turut hadir dalam simulasi di Museum Tsunami Aceh. Dia berpendapat, dengan adanya sistem informasi ini melalui peringatan dini EWS yang disiarkan di seluruh saluran perangkat komunikasi, sangat berguna untuk memberi informasi pada publik, sehingga masyarakat jadi tanggap tentang bencana dan tahu apa yang akan dilakukan. "Kalau sistem informasinya baik, kemungkinan korban jiwanya tidak akan banyak," tambahnya.
Nezar mengungkapkan jika dikaji dari kejadian bencana alam 19 tahun lalu di Aceh, banyak masyarakat tidak mengetahui bahwa akan terjadi bencana tsunami yang akan menggulung setelah goncangan gempa. Kata dia, masyarakat hanya mengetahui tentang adanya gempa gempa bumi dan mereka bingung hendak evakuasi kemana.
Lebih jauh, Ketua KPI Pusat berharap, simulasi EWS ini dapat menjadi percontohan untuk daerah lain. Harapannya, ujar Ubaidillah, terjadi peningkatan kapasitas masyarakat dalam hal mitigasi bencana lewat sebaran informasi dan konten edukasi dari lembaga penyiaran. (Foto: Dokumentasi KPI Aceh)