Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada Senin, 29 September 2014 telah melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Lembaga Penyiaran dan Asosiasi TV. FGD berlansung di Ruang Rapat KPI untuk menyamakan persepsi terkait Program Jurnalistik agar sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS).

Setelah melalui berbagai tahapan, mengkaji seluruh tayangan-tayangan Program Jurnalistik dan masukan yang ada, KPI mengeluarkan "Surat Edaran terkait Program Jurnalistik" pada Rabu, 15 Oktober 2014. Surat Edaran bernomor 2399/K/KPI/10/14 itu dikirimkan ke Lembaga Penyiaran sebagai bentuk pemberitahuan sekaligus mengingatkan. 

Dalam Surat Edaran itu, KPI menyampaikan 16 poin kepada Lembaga Penyiaran tentang tayangan Program Jurnalistik. Berikut kutipan tertulis dari Surat Edaran KPI, "Berdasarkan tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran KPI berkewajiban untuk mengingatkan kepada seluruh Lembaga Penyiaran untuk lebih berhati-hati dalam menayangkan program Jurnalistik dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:." 

  1. Dilarang menayangkan secara terperinci langkah-langkah kejahatan atau operasional aksi kejahatan seperti: membuat bahan peledak, membongkar mesin ATM, membuat makanan dari bahan-bahan yang tidak layak serta tindakan kriminal lainnya yang dapat ditiru oleh orang lain;
  2. Dilarang menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual;
  3. Wajib menyamarkan gambar wajah dan identitas korban kejahatan seksual dan keluarganya serta orang yang masih dalam status terduga pelaku kejahatan seksual tersebut;
  4. Wajib menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan maupun korbannya adalah anak di bawah umur;
  5. Dilarang membuka identitas kerabat dari pelaku teroris;
  6. Dilarang menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang bunuh diri serta menyamarkan identitas pelaku;
  7. Dilarang menayangkan adegan tawuran dan perkelahian serta penyiksaan;
  8. Dilarang menayangkan detik-detik menjelang kematian (sakaratul maut) secara detail dan eksplisit seperti: anak remaja terjatuh saat panjat pohon pinang, korban luka-luka hingga meninggal;
  9. Dilarang menayangkan gambar berupa CCTV (Closed Circuit Television) tanpa melakukan penyuntingan sehinga tersiar hal-hal yang tidak layak seperti: detik-detik kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan maut lainnya secara eksplisit;
  10. Wajib menyamarkan gambar dan identitas pekerja seks komersial dan orang dengan penyakit tertentu seperi: HIV/AIDS;
  11. Dilarang menayangkan gambar potongan organ tubuh, korban luka berat, berdarah-darah atau mayat secara detail dengan close up;
  12. Dilarang mewawancara anak di bawah umur sebagai narasumber untuk hal-hal di luar kapasitasnya menjawab;
  13. Dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat korban bencana dengan memaksa, menekan/atau mengintimidasi untuk diwawancarai dan diambil gambarnya;
  14. Dilarang menayangkan acara bincang-bincang seks secara vulgar dan detail walaupun tayang pada jam tayang dewasa yakni pukul 22:00 - 03:00 WIB;
  15. Dilarang menayangkan bagian dari pertunjukan seni dan budaya asli suku/etnik bangsa Indonesia yang ekstrim dan mengandung adegan berbahaya di bawah pukul 22.00-03.00 WIB; dan
  16. Dilarang menayangkan pemberitaan yang dapat mendorong masyarakat bersimpati atau mengikuti ajaran dan kelompok aliran yang telah dilarang oleh pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia seperti: ISIS ( Islamic State of Iraq and Syria).

Dalam surat yang sama, KPI juga mengingatkan Lembaga Penyiaran dalam menjalankan tugasnya wajib menjalankan dan menjunjung tinggi idealisme jurnalistik, prinsip-prinsip jurnalistik yang menyajikan informasi akurat, berimbang, adil, tidak beritikad buruk, tidak menonjolkan unsur sadistik, tidak mempertentangkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), tidak menghasut dan menyesatkan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini sebagaimana telah diatur dalam Standar Program Siaran (SPS) Pasal 40 huruf a, b dan c.

Berikut isi Standar Program Siaran (SPS) Tentang Prinsip-Prinsip Jurnalistik, Bagian Satu, Pasal 40, "Program siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik sebagai berikut: a) akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; b) tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan/atau cabul; c) menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program siaran jurnalistik dan tidak melakukan penghakiman; dan...."

Surat Edaran KPI juga melampirkan bagian-bagian tayangan pelanggaran yang ditemukan dalam tayangan program-program jurnalistik:

Keterangan:

1. Menayangkan secara terperinci langkah-langkah kejahatan atau operasional aksi kejahatan seperti membuat makanan dari bahan-bahan yang tidak layak.

2. Menayangkan reka adegan kekerasan seksual dalam bentuk wawancara mendetail dengan korban.

3. Tidak menyamarkan gambar wajah dan identitas dari keluarga korban kejahatan.

Keterangan:

4. Tidak menyamarkan gambar wajah dari pelaku kejahatan yang masih di bawah umur (masih di bawah umur).

5. Menayangkan secara eksplisit adegan percobaan bunuh diri.

6. Menayangkan secara eksplisit adegan penyiksaan dalam bentuk liputan perploncoan mahasiswa baru.

7. Menayangkan detik-detik menjelang kematian dalam bentuk adegan anak remaja terjatuh saat panjat pohon pinang hingga meninggal.

8. Menayangkan gambar berupa CCTV (Closed Circuit Television) tanpa melakukan penyuntingan sehingga tersiar hal-hal yang tidak layak seperti detik-detik kecelakaan lalu lintas.

9. Tidak menyamarkan gambar wajah pekerja seks komersial.

10. Menayangkan gambar mayat secara detail.

 

Keterangan:

11. Mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber untuk hal-hal di luar kapasitasnya menjawab dalam bentuk mewawancarai anak yang hampir menjadi korban mutilasi.

12. Menayangkan acara bincang-bincang seks secara vulgar dan detail di luar jam tayang dewasa, yakni pukul 22:00 - 03:00 WIB.

13. Menayangkan bagian dari pertunjukan seni dan budaya asli suku/etnik bangsa Indonesia yang ekstrim dan mengandung adegan berbahaya di bawah pukul 22:00 - 03:00 WIB.

14. Menayangkan pemberitaan yang dapat mendorong masyarakat bersimpati atau mengikuti ajaran dan kelompok aliran yang telah dilarang oleh pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelenggarakan FGD dalam rangka Penyempurnaan P3SPS dengan tema: Implementasi Penyempurnaan Aturan Periklanan yang Aplikatif dalam P3SPS KPI, KPI Pusat, 10 Oktober 2014 di kantor KPI Pusat, Jakarta.

Beberapa poin penting dalam pembahasan FGD ini diantaranya : (1) batasan maksimal 20% iklan niaga berdasarkan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 dan proyeksi revisi UU Penyiaran kedepan (perhitungan iklan 20% berdasarkan satuan waktunya, (2) urgency lembaga penyiaran menyediakan dan memproduksi serta menayangkan iklan layanan masyarakat sendiri sebagai bagian dari CSR, (3) penayangan iklan layanan masyarakat cuma-cuma (gratis) dari pemerintah atau lembaga pemerintah berkaitan dengan keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, kesehatan masyarakat, dan kepentingan umum lainnya yang disampaikan oleh badan-badan publik.

Narasumber dalam FGD ini adalah Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat S. Rahmat M.Arifin, Agatha Lily serta Mochamad Riyanto salah satu Tim Revisi UU Penyiaran. Peserta yang hadir Bambang Sumaryanto mewakili DPI, Ridwan Handoyo , ATVSI, KPID DKI Jakarta, KPID Jateng, Ketua KPID  Jatim, KPID Banten, Ketua KPID Sumatera Selatan.

Fokus poin yang berkembang dalam FGD tersebut mengenai aspek konten yaitu pertama batasan dan atau larangan beriklan melalui televise dan radio, kedua penggunaan slot pemanfaatan durasi secara proporsional.




 


Jakarta – Implementasi sistem digitalisasi harus diatur dalam regulasi setingkat undang – undang (UU). Hal ini penting dilakukan karena aturan pelaksanaan alih teknologi analog ke digital harus jelas, kuat dan komprehensif. Demikian di tegaskan Anggota DPR RI 2014-2019, Mahfudz Siddiq, dalam Forum Koordinasi dan Komunikasi bertemakan Tantangan dan Peluang Peralihan Sistem Analog Menuju Digital dalam Penyiaran di Indonesia yang diselenggarakan Kemenkopolhukam di Hotel Sari Pan Pacifik, Rabu, 8 Oktober 2014.

Menurut mantan Ketua Komisi I DPR RI periode 2009-2014, sistem digital yang diatur dalam peraturan menteri atau Permen justru menimbulkan ketidakjelasan dan jika permen tersebut bermasalah yang bertanggungjawab adalah menteri. “Kekhawatiran ini pernah saya bicarakan dengan menteri kominfo sebelumnya,” katanya merujuk mantan Menkominfo, Tifatul Sembiring.

Proses digitalisasi tidak sekedar soal perpindahan teknologi, tapi lebih luas lagi. Penerapan sistem digitalisasi melibatkan banyak pihak, modal yang besar, dan aspek teknis lainnya, lanjut Mahfudz.

Dirinya mengusulkan pemerintah menerbitkan peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum sistem digitalisasi yang memang belum diatur secara jelas dalam UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Permen terkait digitalisasi, yang disebutkan berjumlah 18 Permen, mengatur aspek-aspek lain mengenai proses digitalisasi. Padahal, proses digitalisasi menimbulkan perubahan sosial serta memiliki masalah multidimensional.

“Saya sarankan ke pemerintah ambil waktu jeda untuk mentranformasikan gagasan yang ada di Permen ke dalam sebuah Perpres. Pemerintah harus mengambil satu kebijakan. Dibanyak negara, aturan digitalisasi diatur dalam satu UU. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah,” tutur Mahfudz yang terlihat segar meskipun beberapa jam sebelumnya baru selesai mengikuti rapat paripurna pemilihan Ketua MPR RI periode 2014-2019 yang panjang dan melelahkan.

Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, mengatakan proses digitalisasi harus diatur dalam satu UU jika perlu UU khusus. Menurutnya, pengaturan implementasi digitalisasi tidak cukup hanya diatur dalam aturan Permen yang secara kedudukan lebih rendah dari UU.

Selain itu, lanjut Idy, pembahasan digitalisasi harus transparan. “Arah digitalisasi dibawa kemana, itu harus dibicarakan bersama. Tidak cukup hanya kominfo. Hal ini harus dibicarakan lintas departemen dengan mengajak serta stakeholder terkait,” tegasnya disela-sela acara tersebut.

Idy meminta KPI harus terlibat dalam proses tersebut dengan sejumlah syarat. Dia juga mengusulkan dibentuk sebuah tim pengawas dan pengedalian terkait pelaksanaan proses digitalisasi. “Sampai sekarang tim tersebut belum ada. Ini harus cepat dilakukan,” kata Idy yang menekankan bahwa pihaknya tidak menolak pelaksanaan sistem ini.

Sementara itu, ATVSI yang diwakili Suryopratomo, mengatakan siap mengikuti peraturan yang ada karena penerapan sistem digital menyangkut kebijakan global. Menurutnya, dengan sistem ini penggunaan frekuensi menjadi efisien. “Kami dari ATVSI akan mengikutinya,” tukasnya. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada program sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (GGS) yang tayang di SCTV setiap pukul 19.30. Sinetron GGS ini harus dihentikan sementara selama 3 (tiga) hari berturut-turut yaitu mulai tanggal 21,22, dan 23 Oktober 2014.  Sanksi tersebut dijatuhkan oleh KPI, lantaran adanya pelanggaran  Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) pada tayangan 16 Agustus 2014.

Pada episode tersebut sinetron ini menayangkan adegan seorang remaja perempuan melompat ke dalam api serta adegan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang mengenakan seragam sekolah berpelukan di lingkungan sekolah. Padahal,  adegan bermesraan dan berpelukan dengan menggunakan seragan sekolah di lingkungan sekolah ini sebelumnya ditemui di tanggal 30 Mei 2014. Dan KPI telah telah memberikan surat teguran kedua, karena adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran  Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 14 dan Pasal 21 ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2) huruf b dan Pasal 37 ayat (4) huruf a. Namun pada tayangan GGS 16 Agustus 2014, adegan yang menjadi penyebab sinetron ini mendapatkan teguran kedua justru muncul lagi.

KPI Pusat juga menilai bahwa inti cerita program sinetron GGS tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain itu tampilan yang muncul di sinetron ini tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja serta bertentangan dengan etika yang ada di lingkungan pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS.

Dikarenakan sinetron GGS ini telah mendapat sanksi administratif sebanyak 2 (dua) kali, yakni pada  20 Mei 2014 dan 16 Juni 2014, maka pelanggaran yang timbul selanjutnya mengakibatkan sinetron ini harus dihentikan sementara. Rapat Pleno KPI juga memutuskan bahwa pihak SCTV juga dilarang menyiarkan program dengan format sejenis pada waktu siar yang sama sesuai dengan pasal 80 ayat (2) SPS. Selain itu, SCTV berkewajiban memperbaiki keseluruhan alur cerita program sinetron Ganteng Ganteng Serigala yang sesuai dengan tujuan, arah dan fungsi dari penyiaran sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 SPS. Tindakan penjatuhan sanksi penghentian sementara ini juga sudah melewati forum klarifikasi dengan pihak SCTV yang dihadiri oleh Harsiwi Ahmad selaku Direktur SCTV.

Jakarta - Rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggagas rating alternatif semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan dan lembaga. Hal itu mengemuka dalam Focus Discusion Group (FGD) rating yang kembali digelar KPI, pada Selasa, 07 Oktober 2014. Di antaranya dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diwakili Deputi KaBPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Wibowo, perwakilan PWI Djoko Laksono, dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, KPID, dan beberapa perwakilan dari Lembaga Penyiaran.

Dalam diskusi itu, Sasmito memaparkan hasil penelitian perilaku penonton televisi yang dilakukan BPS pada tahun 2003, 2006, 2009, dan 2012. Dari hasil temuan lembaganya, ia memiliki hipotesa, bahwa perilaku konsumen di Indonesia secara tak langsung dipengaruhi oleh lembaga rating televisi.

"Perilaku konsumen ini akhirnya mempengaruhi Indeks Harga Konsumen dan inflasi Indonesia," kata Sasmita.

Pandangan lain, juga datang dari peserta lainnya yang menerangkan tentang dampak adanya monopoli rating televisi dan dampaknya terhadap konten isi siaran, industri, dan perilaku masyarakat.

Di akhir acara, seluruh pihak setuju untuk mendukung penyelenggaraan rating yang akan dilakukan KPI dengan menggandeng lembaga dan pihak-pihak yang kredibel. Ini tidak lain, karena siaran televisi memiliki dampak terhadap seluruh lini kehidupan masyarakat.

"Program rating ini, kami dukung dan akan sampaikan ini ke pihak-pihak terkait. Bagi saya rating sangat berpengaruh pada konten. Konten ini seperti perut bangsa ini," ujar Joko. (ISL)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.