Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat akan pusatkan perhatian atas mekanisme pelayanan perizinan penyelenggaraan penyiaran agar dapat ditempuh dengan cepat dan akuntabel. Hal tersebut juga sejalan dengan undang-undang tentang keterbukaan informasi public serta undang-undang pelayanan publik. Hal tersebut disampaikan Amiruddin, komisioner KPI Pusat bidang perizinan dan infrastruktur dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).

Apa yang dikatakan Amiruddin ini sejalan dengan harapan yang disampaikan jajaran Ditjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Syaharuddin, saat membuka acara Pra FRB tersebut. Menurut Syaharuddin, sebagai regulator bersama, KPI dan Kemenkominfo harus meningkatkan lagi kualitas pelayanan perizinan penyiaran. Sehingga para pemohon izin mendapatkan kepastian tentang status perizinan dari usaha penyiaran yang mereka jalani.

Ke depan, ujar Amiruddin, pusat data perizinan penyiaran yang dimiliki oleh KPI akan dimutakhirkan, sehingga kinerja perizinan penyiaran ini dapat diketahui masyarakat lewat informasi yang sesuai melalui web site KPI Pusat. Hal ini merupakan salah satu upaya KPI dalam menciptakan pelayanan publik yang optimal dan akuntabel bagi masyarakat.

Sebelumnya dijelaskan pula oleh Koordinator bidang perizinan dan infrastruktur KPI Pusat, Azimah Subagijo, penataan mekanisme pelayanan perizinan yang dilakukan KPI Pusat untuk mengoptimalkan pemanfaatkan frekuensi sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang penyiaran. Keberadaan frekuensi sebagai salah satu sumber daya yang dikelola negara, sangat terbatas. Namun peminat yang berkeinginan mengelola frekuensi untuk dunia penyiaran sangat banyak. “Disinilah peran KPI untuk memastikan frekuensi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat”, ujar Azimah. “TIdak boleh ada frekuensi yang diberikan pada lembaga penyiaran, namun ternyata tidak digunakan untuk bersiaran. Atau kalaupun bersiaran, tapi tidak menunaikan kewajiban pembayaran izin-izin kepada negara” tegasnya. Dua hal terakhir ini yang menjadi temuan dalam Pra FRB, yang merupakan salah satu tahapan perizinan yang harus dilewati oleh pemohon izin siaran.  Azimah menekankan, bahwa KPI berkomitmen agar frekuensi yang dipinjamkan negara pada para penyelenggara penyiaran ini, harus member manfaat optimal bagi kebaikan masyarakatnya.

 

Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat mencabut izin dari lembaga penyiaran yang menunggak pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Perizinan dan Infrastruktur KPI Pusat dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra-FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).

Dalam Pra FRB yang juga dihadiri oleh jajaran Ditjen Sumber Daya Penyelenggaraan Pos dan Informatika (SDPPI) dan Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo tersebut, diketahui beberapa lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin, ternyata sudah lama menunggak pembayaran IPP yang seharusnya dilakukan setiap tahun. Padahal surat peringatan ataupun teguran telah dilayangkan oleh Ditjen PPI dan KPID setempat kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Karenanya, KPI dan Kemenkominfo akan melakukan tindakan tegas atas penunggakan-penunggakan ini, yakni berupa penolakan perpanjangan izin ataupun pencabutan izin siaran.

Menurut Azimah, lembaga penyiaran seharusnya memiliki kesadaran penuh bahwa frekuensi yang digunakan untuk bersiaran adalah milik negara yang dipinjamkan. Konsekuensi dari peminjaman frekuensi tersebut, lembaga penyiaran harus membayar kepada negara sebagai salah satu bentuk kontribusinya pada negara.

Azimah menyadari bahwa kehadiran lembaga penyiaran di tengah masyarakat membantu pemerintah baik dalam penyebaran informasi serta pelayanan publik bagi masyarakat. Namun, lanjut Azimah, lembaga penyiaran pun mendapatkan keuntungan financial atas bisnis mereka yang menggunakan frekuensi tersebut. Sesuai ketentuan berlaku, seharusnya lembaga penyiaran taat dengan menunaikan kewajiban financial pada negara. “Dalam undang-undang penyiaran sudah disebutkan bahwa negara menguasai spectrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, ujarnya. Sehingga sikap dari lembaga penyiaran yang menunggak tersebut tidak sejalan dengan amanat undang-undang penyiaran.

Ke depannya, Azimah menjelaskan, KPI Pusat akan melakukan penataan terhadap mekanisme  perizinan untuk lembaga penyiaran. Saat ini frekuensi yang tersedia sedemikian terbatas, sedangkan pemohon atas izin penyiaran terus bertambah. Sehingga terjadi  defisit frekuensi di beberapa daerah yang memang memiliki banyak peminat untuk menyelenggaran penyiaran. Di sisi lain,ujar Azimah, di tengah defisit frekuensi ini ada pula frekuensi yang dimiliki lembaga penyiaran namun tidak digunakan untuk bersiaran, atau digunakan namun tidak membayar iuran ke negara baik dalam bentuk biaya ISR ataupun IPP. Karenanya, penataan mekanisme perizinan ini, menurut Azimah, akan memberikan data riil atas lembaga penyiaran yang benar-benar beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada. Dirinya berharap dengan penataan ini, seluruh frekuensi yang tersedia dapat dimanfaatkan optimal oleh lembaga penyiaran untuk memberikan kemaslahatan bagi negara dan bangsa Indonesia. 

I

 

 

 

 

Padang- Kegiatan yang merupakan salah satu pemenuhan persyaratan dalam proses pelayanan perizinan, Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) kembali dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), KPID Daerah,dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo RI), 26-27 Agustus 2013 di Hotel Daima, Provinsi Sumatera Barat.Keempat lembaga penyiaran itu adalah Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) PT. Minang Media Televisi Sumbar (Minang TV), LPS PT. Lativi Mediakarya Semarang Padang (TVOne Padang), LPS PT. Triarga Media Televisi (Triarga TV), dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Radio Sawahlunto FM.

Komisioner KPI Pusat yang memimpin jalannya rapat EUCS, Amirudin menyatakan, peraturan perundang-undangan penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) harus dijadikan self regulatory atau self control bagi lembaga penyiaran. Terutama untuk memberikan perlindungan bagi anak dan remaja. Selain itu, aspek lokalitas juga harus dikedepankan, mengingat kecenderungan saat ini budaya kita mengalami degradasi yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada perilaku anak bangsa yang sudah jauh dari nilai-nilai ketimurannya.

Sementara Ketua KPI Daerah Padang, Ferry Zein mengharapkan pula lembaga penyiaran mengembangkan jalinan komunikasi yang erat dengan masyarakat. Misalnya dengan dibuka dialog interaktif secara langsung. Hal ini bertujuan agar lembaga penyiaran dapat menampung aspirasi masyarakat di Sumbar.

Provinsi Sumbar pada akhir Bulan Oktober 2013 akan melakukan pesta demokrasi untuk pemilihan Walikota.Menyikapi situasi ini anggota KPI Daerah Sumbar Bidang Perizinan, Wirnita Eska, meminta lembaga penyiaran meningkatkan aspek netralitas dengan menyediakan ruang yang sama bagi calon-calon tersebut.

Seperti diketahui, kegiatan EUCS ini menguji tiga aspek, aspek administrasi (oleh Kemenkominfo), aspek teknis (Balai Monitoring Sumbar) dan aspek program siaran yang dilakukan oleh KPI. (Int)

Jakarta - Realisasi pendirian Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) harus diikuti dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang LPPL tersebut. Mengingat pembiayaan operasional LPPL dibebankan pada Anggaran Perencanaan dan Belanja Daerah (APBD) setempat. Karenanya, untuk mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Tetap, LPPL harus sudah memiliki payung hukum berupa Perda. Hal tersebut disampaikan Sujarwanto Rahmat M Arifin, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, saat menerima Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Gunung Kidul, di kantor KPI (29/8).

Dalam pertemuan tersebut, hadir Ketua DPRD Gunung Kidul, Budi Utama didamping Ketua Komisi B Suhardono, Sekretaris Komisi B, Tri Iwan Isbumaryani danbeberapa anggota lainnya. Menurut Budi Utama, pemerintah daerah kabupaten Gunung Kidul sedang memproses perizinan dari radio pemerintah kabupaten, Swaradaksinaga, yang berupa LPPL. Hingga saat ini, radio Swaradaksinaga sudah melewati proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan KPID Daerah Istimewa Yogyakarta. Direncanakan, dalam waktu dekat, radio Swaradaksinaga akan melewat proses Pra FRB (Forum Rapat Bersama) antara KPI, KPID dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Rahmat sendiri mengakui, keberadaan radio Swaradaksinaga sangat didukung oleh KPID DIY tempatnya dulu berkiprah. Lewat KPID DIY, radio ini diharapkan dapat memberikan layanan informasi pada masyarakat Gunung Kidul, melengkapi tiga radio yang sudah ada terlebih dahulu. Untuk itu dirinya menyarankan agar DPRD Gunung Kidul segera mengagendakan dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2014, tentang Perda LPPL ini.

Selama ini, untuk mendapatkan Rekomendasi Kelayakan (RK) dari KPID DIY, memang cukup dengan adanya Peraturan Bupati  (Perbup) tentang LPPL. Namun untuk bisa bersiaran dan memeroleh IPP Tetap, syarat yang ditetapkan regulasi adalah keberadaan Perda.

Rahmat memberikan contoh tentang LPPL radio di Purworedjo dan LPPL Televisi di Kebumen. Keduanya dapat beroperasi dengan payung hukum berupa Perda LPPL setempat. Namun demikian Rahmat mengingatkan, bahwa keberadaan LPPL nantinya bukanlah untuk sarana pencitraan pejabat. “LPPL  harus bersifat netral seperti RRI dan TVRI sekarang. Karenanya tidak boleh digunakan untuk narsisme pejabat”, tegas Rahmat.

Bagi KPI keberadaan LPPL di daerah menjadi sarana diseminasi informasi yang efektif pada masyarakat. Diharapkan lewat LPPL ini jangkauan pelayanan informasi pada masyarakat di berbagai pelosok daerah dapat lebih  besar dan optimal.

Jakarta – KPI, KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers sesegera mungkin membentuk Task Force dengan tugas melakukan pengawasan dan analisa terhadap iklan kampanye guna memiliki sikap dan persepsi yang sama. Hal itu dikemukan Anggota KPI Pusat, Agatha Lily, usai pertemuan dengan KPU dan Bawaslu di kantor Bawaslu Pusat Jakarta, Senin, 26 Agustus 2013.

Task force ini nantinya bertugas melakukan penanganan secara cepat aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kampanye Pemilu di media massa. “Satuan tugas ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi tentang aturan kampanye bagi peserta Pemilu, khususnya yang disiarkan lembaga penyiaran sehingga tidak terjadi informasi yang berbeda di antara para penyelenggara negara terkait kampanye Pemilu. Setelah terbentuknya satuan tugas ini, akan diselenggarakan konferensi pers bersama untuk mengumumkan hal-hal terkait dengan kampanye Pemilu,” kata Lily panggilan akrab Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat ini.

Lily memandang perlunya batasan mengenai iklan kampanye dan bukan iklan kampanye yang jelas dalam Peraturan KPU (PKPU) yang saat ini sedang dalam proses pengesahan di Kementerian Hukum dan HAM. Batasan ini diperlukan agar tidak membingungkan Parpol dan Lembaga Penyiaran.

Kemudian pokok masalah lain yang menurutnya penting adalah semua regulator terkait (KPU, KPI, Bawaslu dan Dewan Pers) meminta lembaga penyiaran dan partai politik untuk membuat iklan layanan masyarakat (ILM) sebagai bentuk pendidikan politik dan sosialisasi guna mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan demokratis.

Dalam rapat koordinasi tersebut, perwakilan Dewan Pers berhalangan hadir. KPU, KPI dan Bawaslu akan kembali mengajak Dewan Pers duduk bersama dalam rapat selanjutnya. Pada saat berlangsungnya pertemuan, Anggota KPU, Ferry Kurni Rizkiyansyah, Anggota Bawaslu, Nasrullah, Endang Widhatiningtyas, dan Daniel Zuchron, meminta KPI mendokumentasikan semua program terkait aktifitas politik peserta Pemilu di media televisi, baik pemberitaan, program siaran dan iklan. Dokumentasi ini nantinya akan jadi bahan evaluasi dan kontrol pada saat pelaksanaan kampanye Pemilu 2014. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.