Jakarta – Nama dan komposisi kepemilikan sebuah lembaga penyiaran belum tertera dalam surat izin penyelenggaran penyiaran atau IPP. Ke depan, diusulkan setiap IPP yang diterbitkan memasukan daftar nama kepemilikan di dalam izin tersebut.

Usulan itu disampaikan Pakar Penyiaran, Paulus Widiyanto, disela-sela acara seminar dan peluncuran buku “Kepemilikan dan Intervensi Siaran: Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang dan Tantangan Pemilu 2014 dari Perspektif Demokrasi Media” di Hotel Ibis Tamarin, Selasa, 25 Maret 2014. “Nama-nama tersebut perlu dimasukan dalam izin yang dikeluarkan agar jelas semuanya,” kata Paulus menambahkan.

Menanggapi usulan itu, Ketua KPI Pusat Judhariksawan, salah satu narasumber dalam seminar menyatakan sepakat. Langkah tersebut merupakan sebuah terobosan yang bagus. Namun begitu, perlu ada pembicaraan dengan Pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).

“Saya setuju jika nama dan komposisi kepemilikan saham disebutkan dalam izin penyelenggaraan penyiaran. Kita bias melihat bagaimana keberagaman kepemilikannya,” kata Judha.

Dalam kesempatan itu, Judha mengingatkan masa izin penyiaran untuk televisi hanya 10 tahun. Pada tahun 2016 nanti, sejumlah izin televisi akan berakhir. Pada tahun itu akan menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbaiki catatan kepemilikannya.

Terkait program digitalisasi yang dinilai dapat menyelesaikan persoalan kepemilikan, Judha justru berpendapat lain. Pasalnya, orang-orang yang meminta izin penyiaran digital kebanyakan pemain lama alias itu-itu saja. “Saya pesimis monopoli dan oligopoli bisa hilang dengan digital. Saya tidak sependapat hal itu dapat memecahkan persoalan kepemilikan tersebut,” kata Judha menanggapi pernyataan dari Paulus Widiyanto.

Pada saat wawancara dengan sejumlah wartawan dalam kaitan Pemilu 2014, Ketua KPI Pusat mengharapkan media penyiaran khususnya televisi untuk transparan mengenai besaran tarif iklan yang diberikan bagi partai politik. “Ini untuk memberi kejelasan kepada semuanya. Berapa tarifnya, berapa diskonnya, harus disampaikan. Ini dalam kaitan keterbukaan informasi juga,” katanya. Red

Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Amirudin menjelaskan pentingnya netralitas media penyiaran dalam pemilu 2014 dan agar lebih mengedepankan pendidikan politik untuk masyarakat untuk menekan jumlah golput.BANJARMASIN - Pemilu 2014 berbeda dengan Pemilu 2009. Jika pada pemilu 2009 para pemilik media tidak ikut bertanding menjadi peserta pemilu, tetapi kali ini banyak pemilik media yang turut bersaing dalam pemilu 2014. Ini tidak hanya terjadi di pusat, juga di daerah.

Hal itu dikemukakan Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Amirudin dalam Workshop Bidang Kelembagaan yang bertajuk: “Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pengawasan Iklan Kampanye Pemilu Legislatif 2014”, di Aria Barito Hotel, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada Senin, 24 Maret 2014.

“Dalam situasi seperti itu, dikhawatirkan pola-pola penyelenggaraan dan pengelolaan media persis seperti pada pemilu 1955. Saat itu banyak media menjadi partisan. Mereka tidak segan mengambil peran sebagai tim sukses atau  juru kampanye untuk menyuarakan kepentingan politik kelompoknya,” kata Amir di hadapan peserta workshop yang diselenggarakan KPID Kalimantan Selatan itu.

Untuk itu, menurut Amir, media wajib menjaga netralitasnya sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum. Amir juga menghimbau kepada media penyiaran agar dalam kurun dua minggu menjelang pemungutan suara dijadikan sebagai wahana pendidikan politik bagi masyarakat. Ini tidak lain untuk mengurangi dan melawan jumlah golongan putih, apatis, pesimis, dan skeptis terhadap pelaksanaan pemilu.

“Media perlu memiliki ‘sense of crisis sensitivity’ akan berbagai kemungkinan resiko pemilu. Bisa dibayangkan, dari 185 juta pemilih yang ada, kemungkinan sekitar 20-30 persen adalah pemilih pemula; 30-40 persen adalah massa mengambang (swing voters), dan pemilih loyalis (captive voters) sekitar 20-30 persen saja. Sangat disayangkan jika banyak yang golput gara-gara tidak tahu dan aspek teknis,” terang Amir.

Lebih lanjut Amir menjelaskan, atas dasar itu media penyiaran wajib menyediakan waktu yang cukup untuk penyiaran pemilu dengan semangat pendidikan politik dengan cara terus mengingatkan tanggal pelaksanaan pemilu, cara menggunakan hak pilih dengan benar melalui berbagai cara dan bentuk, mulai dari Iklan Layanan Masyarakat (ILM), running text, dan yang lainnya.

Dalam kesempatan itu juga Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan yang diwakili oleh Kepala Biro Humas Sekretariat Daerah Provinsi Abdul Haris Makke dalam sambutannya mengatakan, hendaknya pelanggaran iklan kampanye yang disiarkan di media lokal pada waktu kampanye pemilu terbuka tidak perlu terjadi. “Perang udara antara Caleg dan Parpol kiranya bisa lebih mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan, sehingga kampanye di media penyiaran dapat menampilkan cara yang elok dalam berdemokrasi”, ujarnya.

Sementara itu Ketua KPID Kalimantan Selatan Samsul Rani mengingatkan tentang ketentuan dan batas maksimum pemasangan iklan kampanye pemilu televisi dan radio, serta menekankan pelarangan blocking time di media. “Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun dan untuk kepentingan apapun, kecuali untuk siaran iklan, sanksinya adalah pidana denda”, tegasnya.

Adapun narasumber lain dalam workshop itu Ketua KPU Provinsi Kalimantan Selatan Samahuddin, Anggota Bawaslu Kalimantan Selatan Azhar Ridhanie, dan Komisioner KPID Kalimantan Selatan Arief Mukhyar. (Int)

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk serius melibatkan KPI dalam proses digitalisasi penyiaran. Mengingat Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran mengamanatkan KPI sebagai wakil publik yang mengatur urusan penyiaran. Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat dalam acara Forum Dialog Penyelenggaraan Penyiaran Digital yang diselenggarakan oleh Kemenkominfo (24/3).

Menurut Azimah,  dalam undang-undang tersebut menyebutkan tugas KPI dalam proses perizinan adalah sejak pengajuan permohonan izin penyiaran, termasuk soal frekwensi.  Dalam pasal 33 (4) d menyebutkan bahwa Izian dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh izin alokasi dan penggunaan spectrum frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI, terang Azimah.

“Sehingga, tidak benar jika pada proses perizinan penyairan digital ini, KPI hanya mengurus perizinan untuk Lembaga Penyiaran Swasa (LPS) konten saja,” ujarnya. Harusnya yang terkait multipleksing, karena ini menyangkut frekuensi radio, KPI juga dilibatkan.

Lebih jauh Azimah juga mempertanyakan pembatasan terkait diversity of ownership antara LPS digital penyedia multipleksing dengan LPS digital penyedia konten siaran. Menurutnya, pada ketentuan dalam Peraturan Menteri (Permen) 28 tahun 2013 dan Permen 32 tahun 2013 keterkaitan antara keduanya itu dibatasi maksimal hanya tiga. Sehingga, diharapkan dalam slot untuk LPS digital penyedia konten siaran yang tersisa dapat dialokasikan pada pemilik yang berbeda. “Bagaimana Kemenkominfo menjamin sisa slot yang ada tidak diberikan pada LPS yang memiliki afiliasi?” tanya Azimah.  Menurutnya, afiliasi itu di atas kertas bisa saja tidak tercermin, tapi masyarakat sangat mafhum bahwa pemiliknya adalah orang yang sama.

Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kemenkominfo, Kalamullah Ramli, turut hadir memberikan sambutan pada forum tersebut. Kalamullah menyampaikan bahwa Kemenkominfo dan KPI telah sepakat untuk mengadakan MoU terkait penyiaran digital ini. “Mudah-mudahan MoU ini dapat dijadikan payung bagi dua regulator untuk mengawal secara bersama-sama proses penyiaran digital”, ujarnya.

Sedangkan atas pertanyaan dari KPI tentang afiliasi atau keterkaitan antara LPS Multipleksing dan LPS penyedia konten, menurut Kemenkominfo, jajarannya sudah melakukan koordinasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Koordinasi itu dilakukan untuk menetapkan indikasi tentang afilitas kepemilikan antar lembaga penyiaran.

SEMARANG - Jelang pelaksanaan pemilu 2014, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta kepada komisioner baru Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Tengah periode 2014-2017 untuk bekerja dengan maksimal. Menurut Ganjar, peran pengawasan penyiaran jelang pemilu harus dipastikan berimbang.


“Usai dilantik ini, komisi penyiaran agar lebih jeli dalam pengawasan penyiaran kita. Pastikan keberimbangan informasi tentang pemilu sampai kepada masyarakat. Dalam kondisi inilah, komisi penyiaran menjadi wasit dalam hal keberimbangan informasi dalam penyiaran,” kata Ganjar dalam sambutannya di Gedung Grhadhika Bhakti Praja, Semarang, pada Selasa,  25 Maret 2014.


Adapun komisioner terpilih KPID Jateng periode KPID 2014-2017 dengan Ketua Budi Setyo,  Wakil Ketua Pudjo Rahayu, Koordinator Bidang Kelembagaan Setiawan Hendra Kelana, Anggota Bidang Kelembagaan Mulyo Hadi Purnomo, Koordinator Bidang Perizinan Tazkiyyatul Muthmainnah, Anggota Bidang Perizinan Pudjo Rahayu, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Asep Cuwantoro dan Achmad Junaidi selaku anggota.


Dalam pelantikan itu turut hadir Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Idy Muzayyad,  anggota DPRD Jawa Tengah, dan pejabat teras lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. Usai pelantikan Idy mengatakan, terkait dengan pengawasan penyiaran pemilu, KPI sudah tergabung dalam Gugus Tugas dengan KPU, Bawaslu, dan Komisi Informasi Pusat untuk mengawasi pelanggaran kampanye politik dalam lembaga penyiaran.


“Frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran itu milik publik, jadi sudah sepantasnya publik mendapatkan informasi pemilu yang berimbang. Empat lembaga tadi sudah mengeluarkan surat keputusan bersama tentang aturan kampanye di media penyiaran. Saat ini kami terus jalan dalam tahap pengawasan,” ujar Idy.


Senada dengan itu, Ketua KPID Jawa Tengah Budi Setyo menjelaskan, lembaga yang dipimpinnya akan tegas terhadap lembaga penyiaran yang memiliki jaringan di Jawa Tengah. Menurutnya, pihaknya akan meminta kepada lembaga penyiaran untuk mematuhi undang-undang yang berlaku dan peraturan surat keputusan bersama empat lembaga tentang aturan diperbolehkan partai peserta melakukan iklan sebanyak 10 spot dengan durasi 30 detik untuk televisi, 60 detik di radio dalam sehari selama masa kampanye ini.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan surat edaran untuk seluruh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) mengenai permintaan kepada seluruh televisi agar tidak menayangkan kembali tayangan pengobatan alternatif yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang cq Kementerian Kesehatan, Jumat, 21 Maret 2014.

Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, dijelaskan soal banyaknya aduan dari masyarakat, pemantauan dan hasil analisis KPI Pusat yang menemukan program siaran dan iklan tayangan praktek pengobatan alternatif di berbagai stasiun televisi tidak memperhatikan ketentuan tentang materi perlindungan kepentingan publik yang diatur dalam Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.

KPI Pusat menilai tindakan penayangan yang tidak mendapatkan izin dari lembaga berwenang dikategorikan sebagai pemberi informasi yang dapat menyesatkan atau membahayakan kesehatan masyarakat. Dalam aturan KPI, hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (3) SPS KPI.

Anggota KPI Pusat, Agatha Lily mengatakan, surat edaran dimaksudkan agar KPID mengingatkan dan mengawasi terkait maraknya tayangan pengobatan alternatif yang tidak memiliki izin dari pihak berwenang. Dikhawatirkan masyarakat akan mudah percaya padahal belum tentu terbukti dan dipertanggungjawabkan.

“Banyak aduan dari masyarakat soal maraknya tayangan seperti itu. Belum lagi aduan masyarakat yang merasa tertipu dengan pengobatan alternatif terutama yang berkedok agama,” kata Lily disela-sela acara Rakornis KPI 2014 di Hotel Merlin Park. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.