- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 17450
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai revisi undang-undang Penyiaran sangat mendesak untuk segera dilakukan, terutama terkait tentang pengaturan bagi penyiaran berbasis pada internet. Hal ini dikarenakan kepentingan publik harus dilindungi atau diproteksi, selain juga terkait keadilan berusaha dalam ekosistem penyiaran. Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan sikap KPI tersebut dalam Webinar yang diselenggarakan Inews TV secara virtual, dengan tema “Menyoal UU Penyiaran dan Penyiaran Berbasis Internet”, (24/7).
Revisi undang-undang penyiaran memang tidak lagi masuk dalam program legislasi nasional di tahun 2020. Namun menurut Wakil Ketua Komisi I Abdul Kharis Almasyhari yang turut hadir sebagai narasumber, Komisi I tetap mengagendakan pembahasan revisi tersebut pada Oktober 2020. Harapannya, ujar Kharis, dapat disahkan pada awal tahun 2021 mendatang.
Bicara soal substansi, Komisi I telah menyiapkan revisi untuk mengantisipasi ketidakadilan dalam dunia penyiaran. Investasi yang sudah dilakukan media mainstream saat ini dengan effort yang cukup besar tiba-tiba harus berhadapan dengan pendatang baru yang tidak terikat dengan aturan sama sekali. “Tapi mampu meraup keuntungan yang sangat besar,” ujarnya. Selain itu, Komisi I juga melihat adanya potensi penerimaan negara yang demikian besar tapi hilang tanpa mampir sama sekali di keuangan negara, di sektor media baru ini. Padahal, keuntungan tersebut didapat dari potensi yang ada di masyarakat Indonesia. “Inilah yang menjadi concern Komisi I,” tegas Kharis.
Ketidakadilan ini juga sangat dirasakan oleh pelaku industri penyiaran. Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution mengatakan televisi saat ini selain harus tunduk pada aturan yang ketat terhadap konten siaran, juga memiliki kewajiban membayar pajak kepada negara. Sementara media baru dapat bersiaran tanpa sensor, tanpa kewajiban tunduk terhadap P3 & SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) juga tidak perlu membayar pajak. "Kita mendapat teguran, surat peringatan, sampai ada masalah kita dihentikan tayangannya, begitu ketatnya. Sementara dari sisi televisi yang berbasis internet tadi tidak ada," ujar Syafril. Penyiaran berbasis internet ini, tambahnya, tidak memberikan sumbangan apapun ke negara. Padahal ada pendapatan iklan yang diperoleh dari dalam negeri, tapi tidak membayar pajak kepada pemerintah.
Terkait pengawasan konten untuk media baru, kekosongan regulasi yang ada saat ini berdampak pada kepentingan publik yang terabaikan. Agung mengatakan, jika televisi berbuat salah dan melanggar P3 & SPS, maka yang dipanggil KPI adalah lembaga penyiarannya. Mereka harus bertanggungjawab terhadap setiap konten yang disiarkan. Sementara di media baru saat ini, kontennya sangat bebas. “Jika di media baru ada konten pornografi yang diciduk adalah pembuat konten, penyelenggara platformnya tidak terjangkau hukum sama sekali,” ujarnya.
Terkait pengawasan penyiaran, Kharis menegaskan pada dasarnya semangat Komisi I melakukan revisi undang-undang penyiaran dan mengikuti perkembangan teknologi, tidak akan mengubah secara mendasar infrastruktur pengawasannya. “Tetap ada KPI dan KPID,” ujarnya. Pada prinsipnya, tambah Kharis, bunyi pasal yang mengatur KPI itu tetap dan dipertahankan, hanya saja cakupan pengawasannya yang ditambahkan.