- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 23224
Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, menilai hadirnya etika pariwara Indonesia akan memberi dampak baik terutama dalam kaitan perlindungan terhadap masyarakat dari iklan yang tidak pantas khususnya bagi anak dan remaja. Hal itu disampaikannya saat menjadi salah satu narasumber kegiatan Webinar Swakrama Periklanan dengan tema Menjaga Marwah Etika Dalam Kepungan Teknologi serta Peluncuran Kitab “Etika Pariwara Indonesia – Amandemen 2020” yang diselenggarakan Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Kamis (30/7/2020).
Menurutnya, acuan ini akan memberi proteksi pada program acara di media penyiaran dan media baru jika mengacu pada perlindungan budaya lokal dari terpaan budaya asing. “Berbeda dengan media terestrial, media baru belum memiliki regulator serta aturan yang jelas untuk pengaturannya. Oleh karena itu, etika periklanan ini memiliki peran yang vital dalam melindungi masyarakat,” tambah Agung.
Salah satu contoh, media terestrial seperti TV memiliki aturan yang melarang tampilan visual rokok dan larangan iklan rokok di bawah Pukul 22.00 WIB. Aturan ini tidak ditemukan pada media baru. “Kita masih sering melihat iklan rokok di media baru tanpa adanya batasan waktu. Ini berpotensi dilihat anak -anak karenanya dibutuhkan adanya aturan yang jelas,” tutur Agung.
Sebelumnya, diawal acara, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Angela Tanoesudibjo mengapresiasi diluncurkannya etika pariwara Indonesia versi baru. Menurutnya, aturan ini akan mendorong industri kreatif yang ada di Indonesia.
“Etika ini akan mendorong kemajuan UMKM di Indonesia khususnya di bidang industri kreatif. Dengan makin majunya UMKM, hal ini akan meningkatkan perekonomian nasional,” kata Angela sekaligus membuka kegiatan ini.
Ketua Umum Aosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, mengatakan kepungan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Menurutnya, mau tidak mau hal itu harus diikuti dan diadaptasi.
“Aturan periklanan dibutuhkan agar konten yang ditampilkan sesuai dengan norma yang ada di Indonesia serta melindungi masyarakat dari pengaruh buruk budaya asing. Namun akan lebih baik jika dibuat Undang-undang yang mengatur tentang periklanan,” jelasnya.
Dia juga menyakinkan jika televisi telah menjalankan fungsinya dengan baik dalam melindungi masyarakat dari pengaruh budaya asing. Hal ini dapat dilihat dari tayangan televisi yang sebagaian besar didominasi konten dalam negeri.
Namun disisi lain, lanjut Syafril, terjadi fenomena pengiklan dalam negeri lebih memilih mengiklankan produk mereka di media luar. “Kejadian ini tentu sangat berdampak pada industri televisi. Oleh karena itu, akan lebih baik jika pemerintah membuat aturan terkait ini. Dengan demikian tentu akan meningkatkan pendapatan negara,” usulnya.
Pada sesi tanya jawab, Agung berkesempatan menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang perihal aturan iklan rokok yang ada di televisi yang berpotensi membunuh kreatifitas. Menurutnya, aturan iklan rokok yang ada di P3SPS KPI tahun 2012 sudah sesuai dengan aturan Kementerian Kesehatan tentang rokok.
“Oleh karena itu, rokok baru dapat diiklankan di atas jam 10 malam itupun tanpa menampilkan visual atau wujud rokoknya. Larangan ini justri akan mendorong pengiklan untuk menciptakan iklan yang kreatif dan berbeda,” tutup Agung. *