Tarakan -  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan tiga pemohon penyelenggaraan penyiaran di Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) (24/5). Tiga pemohon penyelenggaran penyiaran lokal ini adalah PT Radio Suara Nada Tanjung, PT Media Radio Kaltara, dan PT Malinau Multimedia Utama.

Kegiatan EDP ini dipimpin langsung oleh Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (P2SP) Agung Suprio,  Komisoner Bidang Kelembagaan Ubaidilah, dan Komisioner Bidang Isi Siaran Dewi Setyarini, serta turut dihadiri Sekretaris KPI Pusat, Maruli Matondang.

Dalam sambutan pembuka, Agung Suprio menegaskan kepada para pemohon penyelenggaraan penyiaran agar tidak melenceng dari amanah konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, serta harus menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Bangsa ini sedang diserang dari kiri dan kanan. Dari liberalisme yang mengutamakan arus kebebasan dan dari kanan, gerakan-gerakan radikal yang juga berusaha  untuk mengubah ideologi, maupun dasar negara, bangsa ini.  Kita harus konsisten. Bahwa lembaga penyiaran yang nantinya diberikan RK (rekomendasi kelayakan -red) harus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegasnya.

Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Utara KH. Zainuddin Dalila yang hadir sebagai narasumber perwakilan dari tokoh masyarakat/tokoh agama mengharapkan agar penyelenggara penyiaran tidak  menyiarkan hal-hal yang akan menimbulkan kontroversial.

“Saya takut bila siaran-siaran itu menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sehingga saya juga ingin di radio itu ada orang yang bisa  memberikan masukan apa yang baik untuk disiarkan,” jelasnya.

Kegiatan EDP di Tarakan yang diikuti oleh tiga pemohon izin penyelenggaraan penyiaran ini, berlangsung dengan lancar dan diakhiri dengan penandatangan berita acara EDP.

Komisioner KPI Pusat: Ubaidillah, Dewi Setyarini, dan Agung Suprio, tengah menyimak paparan pemohon IPP dari Kaltara, (24/5)

Tarakan - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggelar kegiatan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) untuk tiga pemohon izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) yang berasal dari Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara), (24/5). Ketiga pemohon ini adalah PT Radio Suara Nada Tanjung, PT Media Radio Kaltara dan PT Malinau Multimedia Utama.

EDP merupakan proses pertama permohonan izin yang harus dilalui oleh pelaku usaha penyiaran di masing-masing wilayah layanan. Untuk dapat memperoleh IPP, pemohon izin harus melalui proses EDP yang dilakukan oleh KPI Daerah masing-masing. Mengingat hingga saat ini sebagai provinsi  termuda, Kalimantan Utara belum  memiliki KPID, maka pelayanan proses perizinan dilakukan langsung oleh KPI Pusat, yang dalam hal ini dikoordinir oleh bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran (PS2P).
 
Proses EDP yang mengevaluasi rencana kesiapan pemohon izin dalam menjalankan kegiatan penyiaran ini dipimpin langsung oleh Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang PS2P, Agung Suprio. Selain itu, komisioner KPI Pusat lainnya yang turut serta dalam evaluasi tersebut adalah komisioner bidang kelembagaan Ubaidillah, serta komisioner bidang pengawasan isi siaran Dewi Setyarini, yang juga didampingi oleh Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

KPI juga mengikutsertakan perwakilan masyarakat untuk menilai kesiapan pemohon serta kesesuaiannya dengan aspirasi masyarakat. KH Zainuddin Dalla, Ketua MUI Kalimantan Utara, turut hadir memberikan pendapat dan masukan atas rencana pendirian radio dan televisi berlangganan di wilayahnya ini. Selain itu, hadir pula perwakilan pemerintah provinsi Kalimantan Utara, perwakilan Balai Monitoring yang turut menyampaikan pertimbangan dari aspek teknis penyiaran, serta akademisi dari Universitas Borneo. (Teddy)

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, saat menjadi narasumber diskusi terbatas di Dewan Pers, Rabu (23/5/2018)

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendorong komitmen semua pihak termasuk media penyiaran untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara menyangkut pemberitaan kasus terorisme. Hal itu dinyatakan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, pada saat diskusi terbatas bertajuk “Pemberitaan Berlebihan Terhadap Aksi Terorisme”, di Dewan Pers, Rabu (23/5/2018).

“Komitmen bersama ini dibutuhkan jika suatu saat terjadi lagi kasus teror yang sama. Komitmen menjaga stabilitas keamanan dengan menginformasi pemberitaan yang meneduhkan, mengangkat optimisme dan bukan informasi yang berdampak negatif,” kata Yuliandre.

Menurut Dia, setiap pemberitaan menyangkut terorisme sebaiknya media mengedepankan pedoman peliputan terorisme yang dikeluarkan Dewan Pers dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Selain itu, kata Yuliandre, prinsip-prinsip jurnalistik dan kode etik jurnalistik harus menjadi patokan para jurnalis ketika peliputan di lapangan. 

“Hal lain yang tidak boleh ditinggalkan adalah uji informasi dengan melakukan investigasi dan verifikasi. Dan yang paling utama adalah adanya quality kontrol jurnalis di lapangan untuk meminimalisir dampak dari informasi yang akan kita siarkan. Meskipun terkadang hal ini akan mengalami perubahan seiring adanya tututan dari produser dan lainnya,” kata Ketua KPI Pusat didampingi Kepala Pusat Penerangan TNI, M Sabrar Fadhilah, Kepala Divisi Humas Polri, Setyo Wasisto, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo dan Perwakilan dari BNPT. 

Yuliandre mengharapkan, sudah saatnya masing-masing institusi penyiaran melakukan literasi agar penyampaian informai yang berulang dan terus menerus tak terulang. “Mari kita sama-sama mendiskusi hal ini untuk mengingatkan bersama bahwa kita harus bicara atas nama kebangsaan dan nasionalisme,” katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, menyatakan perlunya kepekaan dan mengedepankan etika dalam peliputan kasus seperti ini.  Informasi juga harus melalui proses penundaan untuk edit dan verifikasi. “Jangan sekonyong-konyong informasi dari media sosial muncul di media,” katanya.

Stanley, panggilan Ketua Dewan Pers, mengapresiasi langkah yang dilakukan Polri dalam menunda informasi keluar mengenai kejadian di Kelapa Dua. Menurutnya, hal itu bukan untuk menyembunyikan tapi untuk mengendalikan situasi. 

“Berita-berita seperti ini harus kita pahami. Kita bisa ambil contoh siaran live teroris tidak ada lagi di India. Ini bisa jadi contoh di Indonesia. Kita bisa menjaga hal ini. Untuk menekan dan mengendalikan situasi. Kalo infonya terbuka orang akan cemas dan hal ini juga dimanfaatkan kalangan peneror karena ada kesempatan,” jelas Stanley. 

Kadiv Humas Polri, Setyo Wasisto, menyadari kebutuhan masyarakat terhadap informasi dan itu melalui media. Namun, keterbukaan itu bukan berarti harus benar-benar telajang. Ada rambu-rambu yang mengatur keterbukaan tersebut.

“Mari kita sama-sama menjaga ini karena media bertanggungjawab terhadap berkembangannya situasi di masyarakat. Kita bisa keep berita gugurnya rekan rekan kami. Kami menahan hal itu bukan berarti tidak memberikan. Karena ada hal lain,” jelas Setyo. 

Menurut Dia, Humas Polri selalu berusaha memberikan informasi kepada wartawan untuk mengupdate informasi. Tapi, informasi yang diberikan harus terlebih dahulu diverifikasi, mana yang boleh dan tidak. “Rekan-rekan wartawan harusnya memahami mana yang boleh dan tidak boleh. Dan setiap informasi itu harusnya sumber dari Polri. Tidak boleh ada sumber dari yang lain yang tidak resmi. Kita harus menghindari hal ini, karena itu informasi dari kita harus diverifikasi, supaya tidak salah,” jelas Setyo. *** 

 

 

 

 

Narasumber acara FGD Anugerah Penyiaran Anak mendengarkan masukan dari peserta. FGD berlangsung di Kantor KPI Pusat, Rabu (24/5/2018).

 

Jakarta -- Sepanjang tahun 2017, jumlah sanksi terkait pelanggaran lembaga penyiaran terhadap pasal perlindungan anak dan remaja mengalami penurunan dibanding dengan tahun sebelumnya. Pada 2017 Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan 50 sanksi untuk lembaga penyiaran, sedangkan pada 2016 mencapai 88 sanksi terkait pelanggaran pada pasal tersebut.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, penurunan jumlah sanksi yang signifikan terhadap pelanggaran pasal perlindungan anak dan remaja ada di program jurnalistik. Di 2016, catatan KPI menunjukkan, program jurnalistik khususnya pemberitaan cukup banyak melakukan pelanggaran terhadap pasal ini hingga mencapai 16 sanksi. Pada 2017, hanya 4 sanksi yang dikeluarkan KPI Pusat.

“Dalam program itu. anak belum terlindungi identitasnya seperti dalam kasus kekerasan seksual atau kasus hukum lainnya. Anak-anak sering menjadi narasumber di luar kapasitas mereka untuk kasus-kasus musibah, perceraian atau perselingkuhan orangtuanya. Pada tahun 2017, hal-hal seperti itu sudah berkurang signifikan,” jelas Dewi di sela-sela acara FGD Anugerah Penyiaran Anak di Kantor KPI Pusat, Rabu (24/5/2018).

Selain itu, kata Dewi, penurunan pelanggaran juga terjadi pada kategori seksualitas dalam pengertian tipis seperti ciuman bibir. Namun, isu kekerasaan dalam tayangan masih menjadi fenomena dan menjadi pekerjaan rumah KPI. “Kami terus berupaya menekan tingkat pelanggaran di televisi melalui berbagai cara seperti pembinaan ke lembaga penyiaran. Kami pun terus menggiat program literasi media untuk masyarakat. Tapi ini juga menjadi tanggungjawab sosial lembaga penyiaran selain hanya bicara soal rating dan profit,” papar Dewi yang pernah tergabung dalam organisasi non profit yang konsen pada isi perempuan.

Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak, Bobby Guntarto mengatakan, seiring menurunnya sanksi KPI pada lembaga penyiaran terkait pelanggaran pasal perlindungan anak dan remaja, jumlah acara dengan kategori “Aman” untuk anak-anak ikut meningkat. 

Hasil kajian dari YPMA yang dirilis Guntarto pada acara FGD di KPI Pusat menunjukkan, presentase peningkatan program acara berkategori “Aman” dikonsumsi anak pada Mei 2018 mencapai 60%. Angka tersebut jauh bila dibandingkan dengan kondisi pada Mei 2014 yang hanya 39%, tidak jauh berbeda dengan data YPMA pada Mei 2009 yakni sebesar 31%.

“Perlu kerja keras agar semakin banyak acara anak yang tidak hanya aman, tapi juga berkualitas dan menarik bagi anak-anak. Hal ini dapat dilakukan dengan sinergi berbagai pihak, termasuk kemungkinan membuat program-program acara untuk disodorkan kepada stasiun TV sebagai program alternative atau percontohan dengan menggandeng CSR,” jelas Bobby.

Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Margaret Aliyatul menyatakan, media televisi memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak. Pengaruh ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana perlindungan anak dan juga pengembangnya.

Meski demikian, peran orangtua tetap penting untuk mendampingi anak-anak saat menonton televisi. “Karena tidak semua tayangan televisi aman, meskipun itu adalah film kartun atau acara dengan klasifikasi anak. Dengan pendampingan orangtua, anak akan paham konteks dari tayangan yang ditontonnya. Misalnya saat ini banyak berita tentang terorisme, maka anak harus mendapat pemahaman yang benar sesuai dengan perkembangan psikologisnya,” jelasnya.

Margaret mengusulkan adanya program acara yang menjadi ikon anak Indonesia, menggambarkan ke Indonesiaan tapi juga bervalue dan digarap dengan menarik, seeprti program acara Upin Ipin dari Malaysia. 

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono menambahkan, selain program acara anak berkualitas yang penting dilakukan yakni menghadirkan perspektif kepentingan anak dalam seluruh tayangan televisi. “Sehingga apapun acaranya, harus selalu mempertimbangan bahwa kemungkinan program tersebut ditonton oleh anak-anak,” katanya.

Forum diskusi berkaitan pelaksanaan kegiatan Anugerah Penyiaran Ramah Anak menyimpulkan bahwa program tidak hanya dituntut untuk tidak melanggar P3SPS KPI, tapi juga harus ada nilai-nilai dan pesan yang bagus dengan kemasan yang menarik, meski hal itu butuh waktu. “Visi KPI ke depan adalah semakin sedikit sanksi, yang artinya tayangan televisi semakin bagus. Semakin banyak produk anak yang dibuat oleh sumber daya lokal sebagai cermin Indonesia yang kaya budaya,” papar Dewi. ***

 

Komunitas Anak Indigo dan Indigo and More saat menyampaikan keberatan terhadap program siaran “Karma” ANTV di KPI Pusat, Selasa (22/5/2018). Foto by Agung Rachmadyansah

 

Jakarta --  Komunitas Anak Indigo dan Indigo and More menyampaikan keberatan terhadap program siaran “Karma” di ANTV. Penggunaan orang indigo (orang dengan kemampuan spesial atau tidak biasa hingga supranatural) dalam program yang ditayangkan setiap hari itu dapat membentuk stigma publik yang dianggap akan mengganggu mereka.

“Kekhawatiran kami yang pertama adalah acara ini dapat membentuk framing. Akan muncul pertanyaan dari masyarakat kepada kami. Bisa lihat ya! Ini kan mengganggu kami karena masyarakat menilai kami seperti paranormal,” kata Rizman Gumilang, Ketua Komunitas Anak Indigo saat beraudiensi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/5/2018). 

Menurut Rizman, awalnya mereka tidak tertarik dengan tayangan program “Karma”. Tapi dalam salah satu episode program acara tersebut, terdapat siaran yang membuat mereka kurang nyaman perihal buka aib masa lalu orang lain. “Kok aib mudah diumbar. Kami anggap ini tidak pantas dilakukan, apalagi oleh media penyiaran. Apalagi ini ada bumbu-bumbu mistisnya,” keluhnya di depan Komisioner KPI Pusat yang hadir.

Rizman menjelaskan, tidak semua orang indigo memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tak kasat mata, mampu meramal masa depan serta masa lalu, dan membaca angka. Orang indigo terdiri dari berbagai macam kemampuan. “Adapun pendekatan yang dilakukan komunitas kami dengan cara ilmu pengetahuan. Kami ingin meliterasi hal itu,” katanya.

Orang yang memiliki kemampuan ini, selain karunia Tuhan, bisa diperoleh dari keturunan atau dengan pencarian. “Biasanya anak-anak indigo sangat sensitif baik dengan udara, cuaca atau bencana alam. Mereka bisa merasakan pusing jika ada perubahan aura. Tapi tidak semuanya bisa melihat dan itu tergantung takdirnya,” kata Rasti salah satu founder Indigo and More. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menyampaikan apesiasi atas masukan dari Komunitas Anak Indigo. Menurutnya, sikap kritis pada media harus ditumbuhkan. “Setiap masukan dari publik akan kami sampaikan ke lembaga penyiaran agar mereka dapat berkreasi dan kreatif lagi,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, pihaknya butuh masukan dari masyarakat bagaimana membuat format acara dengan muatan nilai positif. “Kami sangat berharap adanya masukan-masukan yang positif untuk pengembangan kualitas tayangan kita,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, meminta Komunitas Anak Indigo untuk terlibat meliterasi masyarakat agar menonton tayangan yang baik. Audiensi itu juga dihadiri Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.