- Detail
- Ditulis oleh Super User
- Dilihat: 1324
Surakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membutuhkan masukan dari berbagai elemen masyarakat atas draft Revisi P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) sebelum disahkan menjadi peraturan KPI (PKPI). Diharapkan masukan ini akan melahirkan pedoman penyiaran yang isinya mewakili seluruh kepentingan terkait.
Untuk itu, penyelenggaraan “Seminar Masukan Draft Revisi P3SPS Bersama Stakeholder Penyiaran” yang digelar KPI Pusat di Monumen Pers Nasional, Surakarta, Sabtu (16/3/2024) lalu, dihadirkan narasumber dari berbagai kelompok kepentingan. Dalam forum tersebut mereka menyampaikan masukan dan pandangannya atas draft revisi P3SPS.
Narasumber itu antara lain Nuning Rodiyah (Aktivis Perempuan dan Pegiat Literasi), Gilang Iskandar (Sekjen ATVSI), Mochamad Riyanto (Sekjen ATVNI), dan Aidul Fitriciada Azhari (Akademisi Hukum).
Di awal forum, Nuning Rodiyah yang juga Anggota KPI Pusat dua periode (2016-2019 dan 2019-2022), mengapresiasi langkah KPI melakukan revisi P3SPS. Dia menilai KPI sekarang lebih matang melakukan revisi P3SPS dengan menggali masukan publik.
Sebelum jauh menyampaikan masukannya, Nuning mengatakan bahwa penyiaran sebagai media pembentuk moral bangsa justru kini mulai ditinggalkan. Padahal, informasi yang hadir di media penyiaran berbasis frekuensi informasinya dijamin jauh dari hoaks.
Menurutnya, KPI hendaknya tidak hanya fokus dalam melakukan pengawasan dan sanksi. Tetapi KPI harus juga menyikapi tantangan yang dihadapi lembaga penyiaran saat ini dengan berkolaborasi bersama.
“Kolaborasi dari berbagai pihak, seperti lembaga penyiaran dan asosiasi, dianggap penting untuk memperbaiki ketidaksesuaian aturan dengan kebutuhan lembaga penyiaran. Juga dalam menyikapi perubahan dinamika penyiaran yang semakin kompetitif,” ujar Nuning.
Aktivis Perempuan ini mengusulkan KPI perlu mengatur secara jelas mengatasi keambiguan dalam mengatur konten siaran dan perlindungan perempuan terhadap kekerasan seksual. “Pasal mengenai perlindungan perempuan sangat umum dan harus dilakukan penegasan melalui regulasi. Karena, cancel culture di Indonesia belum sekuat di Korea, maka harus perkuat regulasinya,” tambah Nuning.
Dalam kesempatan yang sama, Gilang Iskandar dari ATVSI berpendapat, perlunya perubahan paradigma terhadap lembaga penyiaran. Dia mengingatkan bahwa KPI harus tetap memiliki paradigma perlindungan kepada pemirsa dengan proporsional dan tidak berlebihan. Menurutnya, sanyak lembaga penyiaran yang menyajikan informasi yang baik.
“Kita harus ingat bahwa dalam dunia bisnis, lembaga penyiaran juga membawa misi kebangsaaan,” kata Gilang.
Karenanya, lanjut Gilang, peraturan yang disahkan nanti diharapkan tidak semakin menyulitkan gerak industri penyiaran. Saat ini, lanjutnya, banyak lembaga penyiaran yang mengalami krisis. Dia meminta KPI turut memacu tumbuhnya industri yang lebih sehat. “Lembaga penyiaran saat ini masih bertahan saja masih bagus,” tuturnya.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi TV Nasional Indonesia (ATVNI) Mochammad Riyanto, meminta KPI bersikap lebih moderat dalam penyusunan revisi draft P3SPS. “Peraturan yang hadir harus berani meninggalkan stereotipe dan tidak kaku sehingga tercipta keadilan,” ucapnya.
Riyanto juga menambahkan perlu adanya peraturan khusus mengenai tipe lembaga penyiaran. Mulai dari lembaga penyiaran swasta, komunitas, berlangganan, publik, dan radio harus ada klasifikasi. “Muatan P3SPS berbeda-beda harusnya disesuaikan, jangan digeneralisasikan,” katanya sekaligus menyatakan komitmen ATVNI untuk membantu perumusan draft revisi P3SPS ini.
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Aidul Fitriciada Azhari, menyampaikan pandangan yuridisnya mengenai P3SPS. Menurutnya, P3SPS itu lahir berdasarkan perintah UU Penyiaran. Karenanya, sebagai turunan kode etik aturan ini harus dirumuskan bersama-sama dengan pihak terkait.
Dia menjelaskan bahwa hukum harus lahir dari etika. Etika yang diterjemahkan menjadi kode etik penegakannya berbeda dengan penegakan pidana. “Penegakannya dilakukan secara terpisah tidak masuk dalam bagian sanksi pidana akan tetapi berupa sanksi administratif seperti pencabutan izin,” tegas Ketua Komisi Yudisial periode 2016-2018 ini.
Aidul juga menyoroti berbagai problematika dunia penyiaran. Dia menuturkan berbagai dampak dari hadirnya media baru yang belum terakomodir dalam kode etik. Menurutnya, kehadiran media yang minim pengawasan ini mengancam kualitas informasi yang beredar di masyarakat.
Oleh karena itu, lahirnya kode etik bagi media baru nanti harus mengakomodasi media sosial dan platform jurnalisme. “Media baru dapat dikendalikan dengan jelas. Namun, aktivitasnya tidak terhambat,” tutup Aidul.
Seminar diakhiri dengan diskusi bersama peserta. Hadir dan turut berdiskusi dalam acara Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat yang juga Koordinator bidang PKSP (Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran) Muhammad Hasrul Hasan, serta Anggota KPI Pusat lainnya antara lain Tulus Santoso, Aliyah, Amin Shabana, Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarshi, dan I Made Sunarsa. Hadir pula Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri. Abidatu Lintang