- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 1540
Sembalun - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ubaidillah mengharapkan dukungan segenap pihak atas revisi undang-undang penyiaran yang sudah berlangsung tiga periode DPR. Diantara muatan revisi yang penting adalah adanya audit terhadap lembaga pemeringkatan dan juga tersedianya pembanding bagi lembaga pemeringkatan yang sudah ada. Hal ini menurutnya sudah terjadi di negara-negara lain, sehingga tafsir atas kuantitas program siaran tidaklah tunggal. Ubaidillah menyampaikan hal tersebut dalam kegiatan Konsolidasi KPI dan Media: Press Camp 2024 yang diikuti oleh perwakilan media dari Nusa Tenggara Barat dan Jakarta, (25/2/2024) lalu.
Regulasi penyiaran yang menjadi dasar penyelenggaraan penyiaran televisi dan radio sudah berusia 22 tahun. KPI sendiri tengah menyusun beragam regulasi untuk memberi ruang ekspresi di ranah penyiaran yang sesuai dengan semangat perkembangan zaman. Diantara regulasi yang tengah disusun KPI adalah soal penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang merupakan aturan turunan dari peraturan pemerintah. Ubaidillah mengakui ada beragam respon yang diterima KPI atas rancangan aturan PNBP ini. Namun ditegaskan olehnya, setiap regulasi yang dibuat KPI diharapkan dapat bersinergi dengan kepentingan industri dalam rangka pengembangan dunia penyiaran.
Kepada peserta Press Camp KPI ini, Ubaidillah menceritakan perjalanan undang-undang nomor 32 tahun 2002 hingga saat ini. Berulang kali undang-undang ini diujikan ke Mahkamah Konstitusi, yang berujung pada pemangkasan kewenangan KPI. Terakhir, tambahnya, dalam undang-undang cipta kerja, seluruh kewenangan KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran diambil. “Akhirnya, kewenangan KPI hanya terkait pengawasan konten siaran di televisi dan radio saja,” terangnya.
Saat diskusi yang digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) beberapa waktu lalu, ujar Ubaidillah, membicarakan masa depan media di Indonesia. Semua pihak yang terlibat dalam diskusi berharap adanya keberpihakan pemerintah atas kelangsungan media, khususnya media konvensional. Ketika era disrupsi, banyak lembaga penyiaran yang harus bersaing keras dengan platform digital dalam pembagian kue iklan. “Padahal, belum ada regulasi konten di platform digital tersebut,” ujarnya.
Di satu sisi, KPI mengapresiasi penandatanganan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, atau yang dikenal Publisher Right. Kita berharap, dengan adanya aturan ini para pembuat konten yang berkualitas ikut mendapatkan manfaat ekonomi ketika konten tersebut diambil dan ditayangkan pihak lain. Perjuangan atas royalti ini, menurutnya, ikut disuarakan sejak lama, bahkan sejak Tantowi Yahya menjadi anggota Komisi I DPR RI periode yang lalu.
Lubang regulasi yang juga harus menjadi perhatian media terdapat pada platform digital. Hal ini mengakibatkan munculnya ketidakadilan, terang Ubaidillah. Televisi dan radio senantiasa diawasi dengan ketat, namun tidak demikian dengan media baru. Padahal seharusnya, jangan sampai ada media yang tidak diawasi, tanpa editing dan sebagainya, masuk dengan bebas ke tiap rumah dan ruang keluarga kita.
Menutup pemaparannya, Ketua KPI berharap lembaga penyiaran, KPI dan KPI Daerah dapat semakin kuat dalam bersinergi dan koordinasi dalam mengawal revisi regulasi yang dapat membentuk ekosistem penyiaran yang sehat. Dalam aktivitas yang dilakukan KPI di Lombok Timur dan Lombok Utara, harus diakui bahwa eksistensi radio di tengah publik masih cukup kuat. Radio masih didengarkan oleh banyak orang dan radio pun masih merupakan media yang relevan bagi masyarakat. Khususnya sebagai sumber informasi dan saluran komunikasi antar masyarakat, pungkasnya. */Foto: Agung R