Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis. Foto: Agung Rahmadiansyah

Denpasar - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menjadi basis data bagi setiap pemangku kepentingan penyiaran, termasuk kalangan akademisi di kampus. Hal ini dimaksudkan agar selalu ada resonansi antara KPI dengan sivitas akademi sebagai bentuk kontribusi dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, riset indeks kualitas program siaran ini dapat memiliki kekuatan sebagai instrument kalangan masyarakat sipil dalam mengawal siaran yang berkualitas. Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Yuliandre Darwis, Ph.D menyampaikan hal tersebut dalam pelaksanaan Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi 2020 untuk wilayah Denpasar, Bali, yang diselenggarakan secara daring bekerja sama dengan Universitas Udayana, Senin (8/6/2020).

Dalam kesempatan tersebut Yuliandre mengakui bahwa saat ini ketergantungan dunia penyiaran terhadap angka rating demikian tinggi. Namun di sisi lain, penyiaran di negeri ini juga membutuhkan referensi lain dalam guna memandu pemirsa dalam menonton televisi. Kehadiran Riset KPI yang sudah memasuki tahun ke-enam ini, menjadi sebuah alternatif pilihan dalam memberikan penilaian kualitas program siaran televisi, serta yang juga penting adalah sebagai referensi bagi masyarakat dalam memiliki siaran yang baik dan berkualitas 

Yuliandre juga memaparkan perjalanan Riset yang menjadi program prioritas nasional KPI bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dirinya memastikan KPI senantiasa melakukan perbaikan untuk peningkatan kualitas riset ini, termasuk dengan menjaga standar pelaksanaan Riset dengan perguruan tinggi, sekalipun hal tersebut berkonsekuensi adanya penggantian pelaksanaan riset oleh perguruan tinggi. 

Workshop ini juga dihadiri oleh Dewi Sri Sotijaningsih, selaku Kepala Sub Direktorat Komunikasi Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS. Senada dengan KPI, Dewi mengatakan Riset KPI ini tidak ditujukan untuk menyaingi survey kepemirsaan yang sudah ada. “Riset ini dapat memandu masyarakat untuk memilih program siaran yang baik,” ujar Dewi. Selain itu dirinya berharap, melalui Riset yang dilakukan KPI ini, publik tidak saja dapat mengetahui indeks dari sebuah program siaran, tapi juga televisi mana saja yang memang berkualitas. 

Secara khusus Dewi menegaskan, indeks yang dihasilkan dari riset ini akan berguna jika ditindaklanjuti, termasuk dengan dilakukannya perbaikan atas capaian indikator yang masih rendah. Catatan penting dari Dewi terkait kualitas program siaran televisi ini adalah revisi Undang-Undang Penyiaran harus segera direalisasikan. Terutama agar KPI menjadi lebih signifikan perannya sebagai regulator penyiaran di Indonesia.  

Pembicara lain yang hadir dalam Workshop adalah Ni Made Ras Amanda Gel Gel, dari Universitas Udayana. Amanda menyampaikan komitmen dari pihak kampus untuk berkontribusi dalam Riset yang diselenggarakan KPI ini. Terkait pelaksanaan Workshop dan Riset yang digelar secara daring ini, Amanda menjelaskan bahwa Universitas Udayana juga sudah melaksanakan kegiatan akademik secara daring, sebagai bagian penanggulangan pandemi Coid-19. Hadir pula dalam kesempatan tersebut Kepala Bagian Perencanaan, Hukum dan Humas KPI Pusat, Umri, yang menjabarkan tentang sistem pertanggungjawaban Riset KPI.  Adapun materi workshop disampaikan oleh Litbang KPI Pusat, Maulida Almunawaroh. 

 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Meskipun dalam situasi pembatasan sosial akibat pademi Covid-19. Pelaksanaan Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Periode I tahun 2020 tetap berjalan sesuai rencana. Riset yang mengevaluasi 477 sampel program siaran di 15 Stasiun TV dilakukan secara virtual bersama seluruh informan ahli di 12 Kota.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan pelaksanaan riset indeks yang merupakan program prioritas KPI dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi tetap berjalan walaupun di tengah kondisi krisis akibat pandemi Covid-19. Bahkan, pelaksanaan riset akan berlangsung dua tahap dan untuk periode awal sudah bergulir pada pekan lalu yang dimulai dari Kota Surabaya, Padang, Makassar, dan Medan. 

“Kami tetap menjalankan program riset kualitas TV meskipun dalam situasi terbatas akibat pademi. Ini bagian dari program prioritas KPI untuk meningkatkan kualitas program siaran TV,” kata Nuning di sela-sela pembukaan Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode I 2020 untuk Kota Pontianak yang bekerjasama dengan Universitas Tanjungpura, Senin (8/6/2020).

Menurut Nuning, pentingnya riset ini untuk tetap dijalankan karena masyarakat, kalangan industri dan juga akademisi harus mengetahui hasil dari evaluasi terhadap program acara TV. Hasil riset ini dapat dijadikan referensi bagi semua pihak seperti sebagai pedoman atau panduan bagi masyarakat untuk menonton siaran TV.

“Gambaran bagaimana kualitas program acara TV juga menjadi referensi para pengiklan atau pemasang iklan sebagai penguatan brand produk agar dapat memasang iklan di program siaran yang berkualitas berdasarkan hasil dari riset ini. Selain itu, hasil riset ini dapat dimanfaatkan teman-teman akademisi dan dunia pendidikan untuk dilakukan kajian lanjutan tentang kualitas program siaran,” jelas Nuning.

Nuning menjelaskan, evaluasi terhadap 477 sampel program siaran di 15 stasiun TV ini dibagi menjadi sembilan kategori yakni wisata budaya, infotainmen,  sinetron, variety show, talkshow berita, talkshow non berita, religi, berita, dan anak. “Pada periode riset tahun ini, KPI membagi kategori program talkshow menjadi dua yakni talkshow berita dan talkshow non berita,” tambahnya.

Sementara itu, Direktur Politik dan Komunikasi Bappenas, Wariki Sutikno, mengapresiasi upaya KPI tetap melaksanakan kegiatan riset indeks meskipun dalam situasi pembatasan akibat pandemi Covid-19. “Saya apresiasi KPI di tengah keterbatasan saat pandemi covid tetap dapat menyelenggarakan riset bahkan dengan mengembangkan kategori dan metodologi riset,” tuturnya.

Dia berharap hasil riset indeks KPI dapat menjadi bagian tercapainya target yakni tersedianya informasi untuk publik yang berkualitas sekaligus edukatif, informatif dan mendidik.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Untan, Martoyo menegaskan komitmen kampusnya untuk terus mendukung upaya akademis yang dilakukan KPI dalam rangka memperbaiki kualitas program siaran TV. 

“Kami juga berharap riset ini mampu mendorong kepedulian masyarakat untuk memilih program siaran yang berkualitas. Program acara TV akan menggeser berita hoax dan memberikan informasi yang akurat,” tandas Martoyo. ***

 

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela

 

Makassar - Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020 yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak bertujuan memotret kuantitas kepemirsaan sebuah program televisi. Melainkan untuk melakukan evaluasi konten siaran, khususnya televisi. Riset yang digelar di 12 kota besar di Indonesia dengan dukungan dari 12 perguruan tinggi negeri, bertujuan untuk memperoleh data kajian akademik tentang kualitas program siaran televisi yang dapat digunakan dalam proses pengambilan kebijakan KPI, sebagai regulator penyiaran. Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Pariela menyampaikan hal tersebut dalam pelaksanaan Workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi tahun 2020 yang digelar secara daring bersama Universitas Hasanuddin, Makassar, (5/6). 

Dalam kesempatan tersebut, Hardly memaparkan bahwa industri penyiaran sebagaimana juga industri lain pada umumnya, berada dalam mekanisme hukum pasar. “Supply atau produksi konten siaran akan sangat dipengaruhi oleh demand atau permintaan penonton itu sendiri,” ujarnya. Riset KPI, sebagai agenda prioritas nasional dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama KPI, menjadi sebuah instrumen stimulasi pada titik supply sekaligus demand dalam dinamika industri konten siaran. 

Selama lima tahun pelaksanaan riset kualitas siaran televisi, KPI telah mempublikasi hasil riset secara berkala untuk menjadi rekomendasi bagi segenap pemangku kepentingan di dunia penyiaran. Hasil riset ini, menurut Hardly, telah menjadi rujukan bagi lembaga penyiaran dalam memperbaiki kualitas konten. Sementara itu untuk kalangan akademisi, hasil riset menjadi sebuah basis data dalam melakukan kajian dan penelitian tentang kualitas siaran televisi. Sedangkan untuk gerakan masyarakat sipil dan masyarakat secara umum, hasil riset juga menjadi sebuah instrumen untuk terlibat dalam upaya peningkatan kualitas konten televisi. 

Sejak tahun 2019 yang lalu, melalui agenda Bicara Siaran Baik, hasil riset ini juga menjadi salah satu sumber referensi siaran baik dan berkualitas. “Program siaran dengan hasil penilaian indeks diatas 3, atau dinilai berkualitas, kami masukkan dalam database siaran baik dan berkualitas, bersama dengan program siaran yang menjadi nomine dalam berbagai ajang penganugerahan KPI,” ujarnya. Hingga saat ini, setelah dikonfirmasi kepada Lembaga Penyiaran, dari data base KPI menunjukkan terdapat 129 program siaran yang dinilai berkualitas sepanjang tahun 2019 yang lalu, dan masih tayang hingga saat ini. Publikasi 129 siaran baik ini disampaikan KPI kepada publik dengan tujuan dapat menjadi role model bagi industri dalam memproduksi konten siaran, serta yang juga tak kalah penting adalah dapat menjadi panduan menonton bagi publik.

 

Dalam workshop yang juga dihadiri pula oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Prof Dr Armyn Arsyad, serta perwakilan dari BAPPENAS, Wariki Sutikno, Hardly mengajak semua pihak yang terlibat untuk menggunakan pendekatan teoritis, pemahaman regulatif khususnya P3SPS, serta pengalaman empirik dalam menilai setiap kategori program siaran. Pada tahun 2020 ini, terdapat satu kategori baru yang ikut dinilai para informan ahli, yakni kategori talkshow non berita, melengkapi delapan kategori lainnya (berita, talkshow, sinetron, anak, religi, wisata budaya , infotainment dan variety show). 

Hardly juga menegaskan bahwa masing-masing kategori yang dinilai memiki karakterisik khusus. “Inilah yang membutuhkan penilaian komprehensif dan kontekstual,” ujarnya. Bagaimana pun juga, riset ini tidak menuju pada upaya penyeragaman konten, melainkan tetap mengembangkan keragaman konten, sekaligus mendorong peningkatan kualitas dalam keragaman tersebut. 

Saat pelaksanaan riset nanti, semua informan ahli diminta menonton serta melakukan analisis terhadap sample tayangan. Hasil analisis dan evaluasi ini akan dilakukan pendalaman bersama dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ FGD, yang menjadi sarana tukar pendapat dan gagasan dari setiap informan terhadap sebuah program siaran. Sehingga dalam FGD tersebut dapat dikonfirmasikan setidaknya dua hal, yakni kesesuaian catatan evaluasi dengan kuisioner, serta pendapat informan lain terhadap program siaran yang sama. 

Riset ini menjadi momentum kolaboratif antara KPI sebagai regulator, pihak akademisi serta masyarakat umum dalam usaha memperbaiki kualitas penyiaran. Harapannya, intervensi KPI dalam supply and demand program siaran ini, dapat mempercepat hadirnya program siaran berkualitas, sebagaimana esensi dari Undang-Undang Penyiaran, yakni informasi yang benar dan hiburan yang sehat, untuk masyarakat. 

 

Jakarta – Setelah Kota Padang dan Surabaya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali menyelenggarakan workshop Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode I 2020 untuk Kota Medan, Jumat (05/06/2020). Riset di Kota Medan bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam workshop riset ini, KPI menekankan pentingnya edukasi dan kualitas dalam siaran di atas kepentingan rating. 

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, menjelaskan tentang peran serta fungsi KPI adalah untuk menjaga dan meningkatkan kualitas program siaran. Menurutnya, posisi KPI berada di antara kepentingan publik serta industri penyiaran. “Di satu sisi kami harus menjaga kepentingan publik, namun di sisi lain juga harus menjaga keberlangsungan industri penyiaran di Indonesia,” katanya saat membuka workshop riset untuk Kota Medan yang dilakukan secara daring, Jumat (5/6/2020). 

Untuk mewujudkannya, lanjut Irsal, KPI terus berupaya menjaga bisnis penyiaran selaras dengan kemanfaatan bagi masyarakat. “Jadi program acara itu tidak semata – mata hanya berorientasi pada rating saja, namun juga harus mengedukasi dan berkualitas,” pintanya.

Dia menambahkan, program riset indeks ini merupakan program prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) KPI bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Riset ini bertujuan untuk memberi gambaran kualitas tayangan televisi di Indonesia. “Dengan adanya gambaran tersebut, ini akan menjadi dasar bagi KPI membuat kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas program siaran,” tutur Irsal.

Dukungan atas terselenggaranya riset ini disampaikan Kasubdit Komunikasi Direktorat Politik dan Komunikasi Bappenas, Dewi Sri Sotijaningsih. Menurutnya, publikasi hasil riset ini akan mampu memberi informasi pada masyarakat tentang tayangan berkualitas. “Adanya publikasi yang masif akan hasil riset ini tentu akan berimplikasi positif bagi masyarakat untuk mendapatkan referensi tayangan apa saja yang berkualitas,” katanya.

Dewi juga mengapresiasi tingkat partisipasi yang cukup tinggi dalam riset dengan pelibatan beberapa pihak termasuk juga para akademisi di 12 Kota. Dia berharap riset ini dapat meningkatkan kualitas program siaran TV meskipun tidak secara instan. 

“Kita berharap pada tahun 2020 ini ada 7 dari 15 lembaga penyiaran mampu mencapai indeks yang ditetapkan KPI. Tidak hanya programnya namun lebih pada kepenilaian keseluruhan lembaga penyiaran tersebut,” tuturnya.

Beberapa catatan dan masukan disampaikan Dewi terkait pelaksanaan riset diantaranya evaluasi pemanfaatan tindak lanjut hasil riset agar lebih jelas sasaran yang ingin dicapai. Kemudian, peran KPI harus diperjelas dalam menyikapi peralihan industri penyiaran analog ke digital yang seharusnya tertuang dalam RUU Penyiaran. Lalu, perlu adanya kajian yang komperehensif mengenai pola perilaku menonton dari tahun ke tahun dan seperti apa perubahan tersebut.

Sementara, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara, Muryanto Amin, menyampaikan komitmen pihaknya untuk turut aktif dalam meperbaiki kualitas program siaran televisi melalui kerjasama ini. “Sejak tahun 2015 hingga saat ini, USU selalu berupaya memberikan usulan dan masukan dalam upaya pengembangan riset melalui penunjukan panel ahli dari berbagai kelompok seperti spesialis media, pakar penyiaran,  pemerhati media. Analisa dari para  ekspert ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk perbaikan kualitas siaran televisi di Indonesia,” katanya.

Dia juga berharap hasil riset ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak. “Dengan menjadikan hasil  riset ini sebagai materi pembelajaran serta materi literasi tentu saja hal tersebut akan memberi manfaat bagi berbagai pihak,” pungkasnya.

Dalam satu pekan ke depan, KPI akan menyelenggarakan workshop riset di sejumlah kota dari 12 kota yang ditarget. Penyelenggaran workshop bertujuan menerima beberapa saran dan masukan beberapa ahli dalam menunjang kualitas riset. ***

 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Jurnalisme di tanah air mengalami perubahan besar ketika wabah virus Covid-19 melanda dunia. Penetapan kebijakan menjaga jarak lewat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menuntut para jurnalis untuk adaptif dengan kebiasaan baru (new normal) yang selaras aturan penanganan dan kesehatan di masa pademi. Kebiasaan baru ini mungkin saja akan absolut hingga ditemukan vaksin penangkal virus mematikan tersebut.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) bertajuk “Tantangan Jurnalisme Televisi Indonesia di Normal Baru”, Kamis (4/6/2020) kemarin, para narasumber termasuk Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, sepakat jika virus corona telah mengubah semua tatanan kehidupan hampir disemua bidang tak terkecuali jurnalisme. Sekarang ini, akibat pembatasan sosial, gerak-gerik jurnalis menjadi berbeda dengan biasanya dan ini mungkin ikut memengaruhi ruang redaksi serta usaha media tersebut.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, memprediksi perubahan kebiasaan ini mungkin akan bertahan lama hingga ditemukannya vaksin virus tersebut. Hingga saat itu tiba, semua kebiasaan lama tidak bisa diterapkan. Pola peliputan sekarang lebih banyak mengandalkan pertemuan secara virtual atau daring. Cara ini membutuhkan fasilitas atau infrastruktur yang memadai seperti jaringan internet yang kuat dan lain sebagainya.

“Hal ini tentunya membutuhkan biaya tambahan karena penggunaan data yang lebih besar,” katanya di sela-sela diskusi tersebut.

Meskipun begitu, lanjut Agung, aktivitas para jurnalis khususnya media konvensional tetap tidak bisa dibatasi karena kebutuhan menyediakan informasi yang akurat, benar dan terpercaya. Namun  yang paling penting dilakukan jurnalis dan media dalam situasi krisis seperti sekarang adalah menerapkan jurnalisme positif.

Menurut Agung, penerapan jurnalisme positif dalam kondisi tak diinginkan seperti saat ini dinilai bisa meredam keadaan. Terutama kegaduhan yang disebabkan pemberitaan dari media baru yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.  Beberapa penerapan jurnalisme positif pernah ditekankan KPI kepada sejumlah media penyiaran ketika terjadi sejumlah kasus kekerasaan di tanah air dan berhasil.

Hal senada turut disampaikan Ketua Umum IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) sekaligus Pemred iNews TV, Yadi Mulyadi. Menurutnya, jurnalisme positif tidak sekedar menyiarkan informasi berdasarkan fakta tapi juga harus dapat memprediksi dampak akibat pemberitaan di masyarakat. 

“Media mainstream itu sangat memikirkan akibat dari pemberitaannya. Tidak lantas jika itu fakta kita menyiarkannya, tapi kita nilai terlebih dulu akibatnya apakah positif atau tidak bagi masyarakat. Kami sangat memikirkan soal isi dan dampaknya,” tegas Yadi di ruang diskusi yang sama.

Karena itu, Yadi menilai perlu dibedakan antara media mainstream dengan non-mainstream termasuk soal perlakuannya. Namun ketika media non-mainstream memberlakukan kebijakan atau verifikasi yang sama terkait distribusi informasi ke publik, hal ini patut dijadikan sebagai sarana kompetisi yang sehat. “Adanya media alternatif yang tumbuh memang membuat disrupsi. Tetapi bagi kami itu sebagai hal yang baik untuk perbaikan konten. Apalagi jika media tersebut infonya terverifikasi. Ini jadi sebuah kompetisi yang baik,” katanya.

Sementara, Dekan Komunikasi Universitas Padjajaran, Dadang Rahmat Hidayat, berharap penerapan kebiasaan baru atau new normal ini dapat mengubah tatanan kehidupan penyiaran di tanah air menjadi lebih baik. “Saya berharap normal baru ini menjadi normal yang lebih baik. Profesionalisme jurnalis juga baik. Bisnis penyiaran juga harus lebih baik dengan equilibrium baru. Dan tidak ada dominasi dari sebelumnya,” katanya di diskusi tersebut.

Di akhir diskusi, Agung berharap jurnalis di tanah air tetap independen dalam kondisi apapun. Selain itu, jurnalis harus mengedepankan kepentingan masyarakat dalam pemberitaannya. “Jurnalisme di new normal harus bisa memberi keselamatan untuk rakyat,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.