Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, mengungkapkan besarnya kebutuhan untuk mendapatkan layanan internet yang mumpuni menjadi fenomena baru dalam tatanan kehidupan. Melalui media sosial, warganet menyampaikan keluh kesah yang sedang dirasakan. 

“Sebuah perubahan hidup dasar masyrakat saat ini. Masyarakat di suguhkan dengan kemudahan dengan adanya kebutuhan baru yaitu internet,” kata Yuliandre saat menjadi pembicara dalam diskusi webinar dengan tema “Peran Media Dalam Menghadapi Tatanan Kehidupan Global New Normal” di Jakarta (17/6/2020).

Menurut Yuliandre, bedasarkan data yang dihimpun Nielsen pada semester awal tahun 2020, penetrasi penggunaan media sosial mencapai 80 persen, sedangkan media mainstream seperti televisi di peringkat dua dengan 77 persen.

Lebih lanjut, Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat periode 2013-2017 ini mengatakan peran media di tengah proses adaptasi ke tatanan normal baru sangat vital. Pemerintah dalam hal ini yang tidak bisa bekerja sendiri untuk mesosialisasikan tahapan adaptasi hingga edukasi dari sebuah keakuratan informasi.

“Media dalam new normal saat ini menjadi penting, paling utama adalah media wajib memberikan asupan informasi yang bersifat edukasi dan ajakan menyesuaikan diri sehingga media diharapkan dapat mendistribusikan informasi yang sesuai dengan fakta dan dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.

Di samping itu, Yuliandre menekankan bahwa media wajib memiliki peran dan fungsinya sebagai wahana informasi terkait protokol kesehatan. Ini dirasa perlu dengan harapan media dapat menekan rasa panik wabah Covid-19. 

“Informasi yang membangkitkan kesadaran sosial, pemberitaan yang meningkatkan rasa optimisme sehingga menumbuhkan rasa percaya diri masyarakat di tengah kehidupan era baru ini,” katanya.

Pada kesempatan sama, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana mengatakan saat ini Indonesia sudah memasuki bulan ketiga memasuki pandemi covid-19 dan pola komunikasi pemerintah yang kurang tanggap dan terksean gagap semestinya sudah tepat. 

Menurut Yadi, media dan pemerintah mempunyai titik fokus yang sama, masa pandemi ini etika dan regulasi penyampaian informasi ke masyarakat harus menimbang berbagai dampak. “Media juga mendorong bagaimana pemerintah mengambil sikap untuk menyampaikan informasi dalam kaidah jurnalistik yang tepat,” kata Yadi.

Senada dengan Yuliandre, Yadi mengungkapkan, saat pandemi Covid-19 ini memberikan pengaruh sangat besar ke televisi. Dari Market share yang ada, penetrasi penonton televisi melonjak tajam hingga mencapai 18 persen. “Dampaknya besar ke televisi, karena kita tidak lagi meraskan TV share audience diatas 18 persen. Pandemic ini membawa Covid-19 era Televisi berjaya lagi,” ungkapnya.

Salah satu pemimpin redaksi media online Kumparan.Com, Arifin Arsyad mengungkapkan pada hakikatnya media adalah memposisikan tergantung dari pengelola yang menerima informasi. Dalam hal ini media sosial memberikan banyak peluang kepada pihak dalam upaya mendukung suatu kebijakan, bahkan perlawanan suatu kebijakan.

“Media dalam kondisi krisis saat ini semestinya menjadi wadah yang dapat menarasikan sebuah kebijkan yang nantinya akan di terapkan oleh pemerintah,” katanya

Menurut Arifin, media sudah sepatutnya pada adaptasi normal baru ini perlu memiliki peran yang bersifat persuasif yang mensosialisasikan hingga mengritisi yang membangun sebuah kebijakan pemerintah. “Media juga perlu cermat dalam menyikapi kebijakan yang akan di terapkan, mengkiritis yang membangun menjadi hal wajib di tanam kepada pelaku media, baik online maupun mainstream,” katanya. *

 

 

(Ketua KPI Pusat Agung Suprio saat menjadi nara sumber Diskusi Pilkada Serentak di Tengah Pandemi. (Foto: Agung Rahmadiansyah))

Jakarta – Keputusan pemerintah untuk tetap menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19, selain harus didukung dengan kesiapan penyelenggara pemilu terhadap protokol pencegahan dan penanggulangan Covid-19, juga harus memaksimalkan kampanye melalui TV dan Radio. Hal tersebut disampaikan Agung Suprio, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat saat menjadi pembicara dalam diskusi “Pemilu Serentak di Tengah Pandemi” yang digelar secara virtual oleh iNews TV, (16/6). 

Selama pandemi ini, ujar Agung, telah terjadi peningkatan jumlah penonton televisi, terutama dikarenakan adanya program belajar dari rumah. Selain itu, secara umum, televisi masih menjadi media yang paling banyak menjangkau publik, termasuk di wilayah-wilayah terpencil sekalipun. Agung berpendapat, jika memang pemerintah sudah sepakat untuk melaksanakan “new normal”, termasuk menjalankan agenda demokrasi berupa Pilkada, maka semua pihak harus ikut terlibat menyukseskan dengan indikator tingginya partisipasi publik.

Untuk mencapai partisipasi publik yang tinggi, Agung menilai, salah satu faktor penunjangnya adalah rasa aman sebagai landasan masyarakat menggunakan hak pilih. “Media juga berperan dalam menghadirkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat,”ujarnya.  Agung berharap kampanye melalui media dapat diperpanjang, agar masyarakat dapat mengenal lebih jauh tentang calon pemimpin di daerahnya masing-masing. 

Terkait kampanye di media ini, secara tegas Agung mengatakan memang seharusnya memanfaatkan televisi dan radio. Selain dikarenakan jangkauan TV dan Radio lebih merata ke seluruh daerah, aturan di media konvensional seperti TV dan Radio juga lebih jelas, sehingga memudahkan pengawasan dan pelanggaran kampanye juga dapat diminimalisir.

Dalam kesempatan yang sama, hadir pula sebagai pembicara Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Kastorius Sinaga, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan. Kastorius menyampaikan, keputusan melaksanakan Pilkada di saat pandemic ini sudah melalui proses yang panjang, termasuk berdiskusi dengan berbagai pemangku kepentingan yang ada di negeri ini. Selain itu, Kastorius menyampaikan bahwa indeks demokrasi diukur berdasarkan pelaksanaan Pemilu. Namun demikian, pelaksanaan PIlkada tetaplah harus mengikuti protokol kesehatan ketat yang melibatkan kesiapan teknis dari penyelenggara pemilu.  

 

Alat pemantauan peringatan dini gempabumi dan tsunami dari BMKG yang sudah terpasang di Kantor KPI Pusat. Alat ini untuk mendukung pemantauan KPI terhadap informasi tentang peringatan dini gempabumi dan tsunami di lembaga penyiaran. 

Jakarta -- Alat pemantauan peringatan dini gempa dan tsunami atau Warning Receiver System (WRS) dari Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) telah terpasang di Kantor KPI Pusat, Sabtu (13/6/2020) lalu. Pemasangan sistem peringatan dini bencana di bagian pemantauan langsung isi siaran merupakan implementasi dari kerjasama KPI dan BMKG yang sudah dirilis beberapa waktu lalu. Kehadiran alat ini akan menguatkan dan memberi kepastian yang akurat bagi KPI perihal informasi awal bencana di tanah air dari BMKG yang dikabarkan lembaga penyiaran.

Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat Periode 2016-2019 yang menginisiasi kerjasama dua lembaga ini mengatakan, terpasangnya alat pemantauan peringatan dini gempa bumi dan tsunami di KPI adalah bagian dari upaya melindungi dan menyelamatkan masyarakat dari bencana melalui informasi yang cepat dan terpercaya di lembaga penyiaran. Sistem peringatan dini ini untuk memastikan apakah informasi peringatan bencana yang disiarkan lembaga penyiaran telah direspon cepat dan sesuai dengan apa yang disampaikan BMKG. 

“Semangat awalnya adalah kita untuk menyampaikan secepat mungkin informasi mengenai peringatan dini gempa bumi dan tsunami yang terjadi di tanah air agar masyarakat segera siap siaga dan bertindak cepat untuk menyelamatkan diri dari bencana tersebut,” kata Andre, penggilan akrabnya, menanggapi terpasangnya alat peringatan dini bencana di KPI Pusat, Minggu (14/6/2020)

Menurut Andre, dalam kaitan distribusi informasi peringatan dini bencana, penyiaran menjadi front terdepan dalam menyiarkan infromasi tersebut secara valid dan benar. Alat ini pun akan mengukur secara akurat kebenaran setiap informasi tentang bencana yang beredar di media karena sumber alat ini langsung dari sistem informasi dari BMKG. 

“Sistem ini akan membantu kita memastikan setiap informasi mengenai kejadian bencana tidak terindikasi hoax. Karena itu, keterlibatan lembaga penyiaran sangat penting untuk mereduksi potensi tersebarnya hoax yang sering terjadi di media sosial lewat sistem peringatan dini bencana ini,” jelas Andre. 

Sementara itu, Kepala Pusat Gempabumi Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, berharap alat pemantauan peringatan dini gempa bumi dan tsunami yang dipasang di KPI Pusat menjadi acuan memantau penyampaian informasi peringatan dini gempabumi dan tsunami di lembaga penyiaran. Informasi dini tentang ini sangat penting untuk disampaikan sesegera mungkin ke publik melalui lembaga penyiaran agar dapat menyelamatkan banyak nyawa minimal dalam bentuk running text atau stop press. 

“Alat ini agar KPI dapat memantau siaran khususnya informasi tentang peringatan dini gempabumi dan tsunami. Alat yang sama juga telah dipasang di sejumlah lembaga penyiaran, sayangnya respon dari lembaga penyiaran kadang kurang cepat menyikapi data peringatan dini ini. Terkadang baru diumumkan setelah beberapa waktu. Padahal informasi ini penting untuk keselamatan masyarakat. Karena itu, kami berharap KPI melakukan kontrol ini dan dapat mengingatkan kembali lembaga penyiaran,” kata Triyono saat dihubungi kpi.go.id. ***

 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali melanjutkan program kegiatan literasi media atau Gerakan Literasi Sejuta (GLSP) untuk masyarakat secara virtual atau daring. Gerakan literasi ini tidak boleh berhenti meskipun dalam kondisi terbatas anggaran dan pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Kota Solo, Jawa Tengah, menjadi target kegiatan literasi KPI Pusat setelah sebelumnya dilaksanakan secara langsung di Surabaya dan Yogyakarta.  

PIC GLSP 2020 sekaligus Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan gerakan literasi sejuta pemirsa merupakan program prioritas lembaganya yang harus tetap berjalan meskipun ada keterbatasan akibat Covid-19. “Kita mengutamakan kepentingan masyarakat agar tetap terliterasi secara berkelanjutan dengan harapan mereka jadi lebih kritis serta cerdas memilah tayangan,” jelasnya, Selasa (16/6/2020).

Selain itu, lanjut Nuning, literasi ini untuk mengarahkan atau menggeser selera masyarakat terhadap siaran. “Kita juga memberikan trik atau pedoman memilih siaran yang berkualitas, mencerdaskan dan berdampak positif. Pasalnya, cukup banyak program acara TV  yang masuk dalam kriteria berkualitas dan mencerdaskan. Dan hal itu harus kita sampaikan juga ke  masyarakat melalui literasi ini,” tambahnya.

Rencananya, kegiatan literasi atau GSLP untuk Kota Solo akan diselenggarakan melalui fasilitas webinar (bit.ly/GLSP2020SOLOUMUM) serta disiarkan secara live streaming di kanal youtube KPI Pusat (Media Center KPI Pusat) pada Kamis (18/6/2020) mulai jam 10.00 WIB hingga selesai. Dalam literasi ini akan hadir sejumlah narasumber antara lain Wakil Ketua Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyari, Presenter dan Talent, Irfan Hakim dan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Tema literasi kali ini membahas dinamika penyiaran di era kenormalan baru. ***

 

 

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat diwawancari salah satu TV di Jakarta. Foto: Agung Rahmadiansyah

Jakarta -- Desakan agar UU yang dibuat pada 2002 lalu segera dimutakhirkan, berdatangan dari berbagai kalangan temasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ada sejumlah poin krusial yang mesti masuk dalam RUU Penyiaran utamanya terkait penguatan kelembagaan dan kewenangan KPI.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan perubahan UU Penyiaran harus memerhatikan kepentingan lembaga ini (KPI) dalam menjalankan fungsinya ke depan dan ini sangat terkait dengan pemantapan kelembagaan dan otoritasnya. Seperti hubungan KPI Pusat dengan KPID yang di dalam UU Penyiaran 2002 bersifat koordinatif. 

Menurut Agung, struktur kelembagaan dan pola kerja yang koordinatif antar pusat dan daerah dinilai kurang efektif. Karena itu, dalam UU Penyiaran  baru pola hubungan ini harus diubah menjadi hierarkis seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

“Ini juga akan terintegrasi dengan anggarannya yang berasal dari pusat. Jadi tidak ada lagi KPID yang kesulitan melakukan kegiatan dan pengawasan di daerah karena tidak ada anggaran,” jelasnya di sela-sela wawancara dengan salah satu televisi berita di Jakarta, Kamis (11/6/2020).

Selain itu, perlu dikaji kembali masa jabatan Anggota KPI yang diatur hanya tiga tahun dalam UU Penyiaran 2002. Menurut Agung, selayaknya masa jabatan Anggota KPI 5 tahun. “Masa jabatan ini sangat memengaruhi kualitas dan hasil pekerjaan di setiap periode jabatan. Jika hanya tiga tahun dinilai kurang karena pekerjaan yang baru saja dimulai dan belum tuntas, selesai di tahun ketiga jabatan,” kata Agung. 

Kewenangan KPI dalam UU Penyiaran baru diusulkan dapat meliputi persoalan penyiaran secara luas seperti dapat melakukan audit terhadap lembaga rating. Selain itu, diberi wewenang melakukan pengawasan penyiaran digital. “Terkait penyiaran digital ini ada dua yakni TV digital setelah migrasi dari analog ke digital dan media baru. Yang terakhir ini masih menjadi perdebatan,” ujarnya.

Menyangkut digitalisasi dan media baru, Agung memberi gambaran bahwa kondisi penyiaran dunia saat ini telah berubah menjadi digital dan hanya beberapa negara termasuk Indonesia yang belum migrasi. “Kita harus segera migrasi. Di beberapa negara sudah 5G, adapun kita masih 4G. Teknologi 5G itu memungkinkan karena penyiarannya sudah digital. Jadi digital itu juga meringkas frekuensi penyiaran. Sisa dari frekuensi yang dipakai itu bisa digunakan untuk jaringan internet,” tegasnya. 

Selain itu, lanjut Agung, migrasi ke digital ini akan memberi keuntungan pada industri penyiaran. Menurutnya, perlu juga ada pengaturan pemain dalam kancah bisnis di bidang ini. Pasalnya, sekarang ini kue iklan semakin lama semakin sedikit. Ditambah lagi sudah banyak diserobit oleh media baru yang tak dipayungi oleh regulasi apapun. Bentuk usaha tidak hany penyiaran, jadi telekomunikasi juga. 

“Ini juga terkait dengan akses dan kepentingan masyarakat. Tayangan televisi jadi lebih jernih. Selain itu, publik juga diuntungkan dengan percepatan jaringan internet dan data bisa menjadi lebih murah,” kata Agung. 

Dalam kesempatan itu, Agung meminta pemerintah agar dapat memberi jaminan pada semua pelaku usaha penyiaran saat ini. Menurutnya, keberlanjutan usaha penyiaran harus dijamin ketika kita nanti bermigrasi.

“Pemerintah harus juga memikirkan masyarakat khususnya di daerah yang banyak mengalami keterbatasan dalam alat teknologi seperti TV yang layak. Di daerah TV-nya masih banyak analog atau tabung. Nah ini harus ada subsidi dengan set of box. Mulai sekarang pemerintah juga perlu sosialisasi untuk mempersiapkan infrastruktur bermigrasi ke digital tersebut,” usulnya mengakhiri wawancara tersebut. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.