Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menemukan adegan pria dan wanita berciuman bibir dalam program siaran “Bollywood Platinum: Main Prem Ki Diwani Hoon” yang ditayangkan MNC TV pada tanggal 27 Agustus 2018.
Akibat adegan tersebut, KPI Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi administratif teguran tertulis untuk MNC, Senin (3/9/2018) pekan lalu.
Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, mengatakan jenis pelanggaran yang ditemukan KPI masuk kategori pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan, perlindungan anak-anak dan remaja, pelarangan adegan ciuman bibir, serta penggolongan program siaran.
“Adegan ciuman bibir dilarang dalam aturan P3 dan SPS KPI,” kata Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat.
Menurut Andre, tayangan tersebut melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 Pasal 9, Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 21 Ayat (1) serta Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 Pasal 9 Ayat (2), Pasal 15 Ayat (1), Pasal 18 huruf g dan Pasal 37 Ayat (4) huruf f.
“Berdasarkan pelanggaran tersebut, kami memutuskan memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis,” tegasnya.
KPI Pusat berharap teguran ini menjadi perhatian MNC TV untuk melakukan perbaikan segera agar tidak terulang pelanggaran yang sama. KPI Pusat juga meminta MNC TV menjadikan P3SPS KPI sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, saat mengisi kuliah perdana mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNJ di Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Rabu (12/9/2018).
Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, meminta mahasiswa komunikasi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjadi contoh baik bagi masyarakat dalam memanfaatkan media. Mahasiswa komunikasi harus mengajarkan masyarakat bagaimana memilah dan memilih sebuah informasi yang baik dan positif dan kemudian menyampaikannya.
“Mahasiswa harus menjadi duta komunikasi yang baik dalam bermedia. Di luar sana banyak orang-orang yang kurang baik dalam bermedia, baik berperilaku maupun ucapan. Anak-anak komunikasi harus lebih aktif dalam menyaring berita di media,” kata Yuliandre Darwis, saat mengisi kuliah perdana mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNJ di Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Rabu (12/9/2018).
Menurut Yuliandre, untuk mencegah peredaran informasi yang tidak benar dan palsu alias hoax, mahasiswa sebagai perwakilan akademisi, harus aktif dalam melakukan literasi media dan informasi ke publik.
"Melalui mahasiswa, masyarakat harus cerdas memilih informasi yang beredar luas. Jangan sampai mereka salah memilih informasi atau tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya," katanya.
Dalam kesempatan itu, Andre, panggilan akrabnya, menyampaikan tugas dan kewajiban KPI yakni menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.
“KPI juga ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait, memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang,” jelas Andre.
Selai itu, KPI menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. “Karena itu, jika keluhan ataupun kritisi terhadap siaran silahkan sampaikan ke kami,” tandas Andre. ***
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta seluruh lembaga penyiaran televisi untuk memperhatikan batasan dan/atau pedoman dalam menayangkan program siaran mistik, horor, dan supranatural (MHS). Permintaan tersebut disampaikan dalam surat edaran KPI Pusat Nomor 481/K/KPI/31.2/09/2018 tertanggal 5 September 2018.
Batasan dan/atau pedoman tersebut sebagai berikut:
a. Program siaran diminta untuk tidak semata-mata mengeksploitasi efek ketakutan para pemeran/pengisi acara yang diakibatkan oleh berbagai adegan/peristiwa yang terjadi dalam proses pengambilan gambar;
b. Muatan mistik, horor, supranatural harus senantiasa disertai dengan pendekatan dan/atau pemaknaan secara rasional, budaya, dan/atau keagamaan;
c. Program siaran wajib berhati-hati dalam menampilkan ritual, simbol dan/atau atribut yang menggambarkan identitas agama dan/atau budaya tertentu;
d. Program siaran faktual klasifikasi Semua Umur (“SU”) dan Remaja (“R”) ditambahkan dengan ketentuan sebagai berikut:
i. Dilarang menampilkan adegan komunikasi dengan arwah atau dunia gaib,
ii. Dilarang menampilkan adegan kesurupan dan/atau kerasukan;
e. Program siaran faktual yang dimaksud pada huruf d antara lain, namun tidak terbatas pada, reality show, variety show, talkshow, dan/atau sejenisnya;
f. Program siaran dengan klasifikasi Pra Sekolah (“P”) dan Anak (“A”) dilarang menampilkan muatan mistik, horor, dan supranatural.
Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan bahwa dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) masih memberi ruang pada tayangan dengan muatan MHS, hanya saja KPI perlu mengatur dengan lebih detail melalui surat edaran ini, agar lembaga penyiaran dalam menayangkan konten MHS tidak semata untuk menghibur namun juga bermanfaat bagi masyarakat.
“Terdapat dua hal krusial yang benar-benar harus diperhatikan dalam produksi konten dengan muatan MHS. Pertama, adalah permasalahan perlindungan anak. Dan yang kedua, adalah tampilan yang terkait dengan agama atau budaya tertentu," katanya di Kantor KPI Pusat, Senin (10/8/2018).
KPI dengan tegas melarang muatan MHS dalam program siaran yang ditujukan kepada anak dengan klasifikasi "P" dan "A". Selain itu, setiap tayangan MHS harus disertai dengan memberikan pemaknaan secara rasional, budaya dan/atau agama.
Dalam surat edaran itu dijelaskan dasar hukum dikeluarkannya edaran adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pasal 14, Pasal 20, dan Pasal 21 Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Kemudian, Pasal 1 Ayat (27), Pasal 15 Ayat (1), Psal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 Ayat (4) huruf c, Pasal 36 Ayat (4) huruf c, Pasal 37 Ayat (4) huruf b dan c, Pasal 38, dam Pasal 39 Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran.
Menurut Yuliandre Darwis, pihaknya dalam mengeluarkan surat edaran ini juga memperhatikan masukan dari berbagai kalangan masyarakat perihal program siaran mistik, horor, dan supranatural di lembaga penyiaran televisi berjaringan.
“Hasil Focus Group Discussion (FGD) terkait Tayangan Mistik, Horor, dan Supranatural tanggal 7 Agustus 2018 dan keputusan rapat pleno KPI Pusat tanggal 5 September 2018. Demikian surat edaran ini dibuat untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan sebagaimana mestinya,” tandas Andre, panggilan akrabnya. ***
Jakarta - Setiap tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional. Ditanggal yang sama itu juga diperingati sebagai hari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) yang didirikan pada 11 September 1945, maka tak heran jika tanggal 11 September juga sering disebut sebagai Hari RRI.
Tapi, pernahkah anda tahu bagaimana sejarah diperingatinya Hari Radio atau Hari RRI. Begini ceritanya.
RRI didirikan sebulan setelah siaran radio Hoso Kyoku dihentikan tanggal 19 Agustus 1945. Saat itu, masyarakat menjadi buta akan informasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Apalagi, radio-radio luar negeri saat itu mengabarkan bahwa tentara Inggris yang mengatasnamakan sekutu akan menduduki Jawa dan Sumatera.
Tentara Inggris dikabarkan akan melucuti tentara Jepang dan memelihara keamanan sampai pemerintahan Belanda dapat menjalankan kembali kekuasaannya di Indonesia. Dari berita-berita itu juga diketahui bahwa sekutu masih mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia dan kerajaan Belanda dikabarkan akan mendirikan pemerintahan benama Netherlands Indie Civil Administration (NICA).
Menanggapi hal tersebut, orang-orang yang pernah aktif di radio pada masa penjajahan Jepang menyadari radio merupakan alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan.
Wakil-wakil dari 8 bekas radio Hosu Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta.
Pada 11 September 1945 pukul 17.00, delegasi radio sudah berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje Pejambon dan diterima sekretaris negara. Delegasi radio yang saat itu mengikuti pertemuan adalah Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto dan Maladi.
Abdulrahman Saleh yang menjadi ketua delegasi menguraikan garis besar rencana pada pertemuan tersebut. Salah satunya adalah mengimbau pemerintah untuk mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat mengingat tentara sekutu akan mendarat di Jakarta akhir September 1945. Radio dipilih sebagai alat komunikasi karena lebih cepat dan tidak mudah terputus saat pertempuran.
Untuk modal operasional, delegasi radio menyarankan agar pemerintah menutut Jepang supaya bisa menggunakan studio dan pemancar-pemancar radio Hoso Kyoku.
Mendengar hal itu, sekretaris negara dan para menteri keberatan karena alat-alat tersebut sudah terdaftar sebagai barang inventaris sekutu. Para delegasi pun mengambil sikap meneruskan rencana mereka dengan memperhitungkan risiko peperangan.
Pada akhir pertemuan, Abdulrachman Saleh membuat simpulan antara lain, dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa, mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat, serta mengimbau supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh.
Pemerintah menyanggupi simpulan tersebut dan siap membantu RRI meski mereka tidak sependapat dalam beberapa hal.
Pada pukul 24.00, delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman. Para delegasi yang ikut rapat saat itu adalah Soetaryo dari Purwokerto, Soemarmad dan Soedomomarto dari Yogyakarta, Soehardi dan Harto dari Semarang, Maladi dan Soetardi Hardjolukito dari Surakarta, serta Darya, Sakti Alamsyah dan Agus Marahsutan dari Bandung. Dua daerah lainnya, Surabaya dan Malang tidak ikut serta karena tidak adanya perwakilan. Hasil akhir dari rapat itu adalah didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. Red dari berbagai sumber
Jakarta – Sistem stasiun jaringan (SSJ) mestinya dimaknai sebagai sebuah sistem siaran yang memberi jaminan terhadap keberadaan dan pelestarian budaya lokal seperti penggunaan bahasa daerah. Jika sistem ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan, niscaya keberadaan budaya dan bahasa daerah atau lokal dapat dipertahankan.
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin mengatakan, ada sedikitnya 10 bahasa daerah yang mulai hilang karena berbagai sebab. Kondisi itu harusnya dapat dipertahankan dengan pelaksanaan sistem siaran jaringan. Melestarikan bahasa lokal tetap eksis bagian dari menjaga identitas lokal.
“Aspek bahasa ini sangat penting. Karena itu dalam peraturan daerah penyiaran di daerah istimewa Jogjakarta ada kewajiban satu program acara berbahasa Jawa karena ini bagian dari identitas lokalnya,” kata Rahmat saat menerima Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Choirul S dan Komisioner KPID Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) di Kantor KPI Pusat, Kamis (6/9/2018).
Menurut Rahmat, frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran di daerah seperti Palembang merupakan milik publik. Dari 15 televisi berjaringan nasional, mereka berkewajiban menyisihkan 10 persen waktu siaran untuk konten lokal.
“Jika dihitung 10 persen dari waktu 24 jam bersiaran, ada kurang lebih 2 jam lebih 15 menit waktu siar dialokasi untuk konten lokal setempat. DPRD Sumsel dapat menyerap aturan yang dibuat di DIY agar alokasi bagi konten lokal sesuai harapan,” papar Rahmat.
Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah menambahkan, DPRD Sumsel harus mendorong penguatan kelembagaan KPID dengan peningkatan anggaran khususnya untuk pengawasan televisi yang bersiaran jaringan.
“Apalagi tahun depan ada agenda nasional yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden serta wakil presiden. Pengawasan di TV dan radio menjadi lebih besar dan intensif lagi di KPID,” kata Ubaid saat menerima kunjungan tersebut.
Sementara Ketua I DPRD Provinsi Sumsel, Choirul S, menyatakan hubungan KPID dengan DPRD cukup baik. Bahkan, pihknya selalu mendukung setiap program dan kebijakan yang dikeluarkan KPID Sumsel. “Kerja mereka sudah sangat bagus,” katanya. ***
Melanggar ketentuan protokol covid-19 dengan mengadakan nya pembagian uang uang bagi para karyawan Trans, berkumpul lebih dari 10 orang dengan saling bersentuhan dan ada yang tidak menggunakan masker.