- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 106927
Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Hardly Stefano, serta Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Setyo Wasisto, saat acara diskusi tentang siaran langsung persidangan kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).
Jakarta -- Siaran langsung (live) persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurahhman di Pengadilan dengan durasi panjang harus disikapi hati-hati oleh lembaga penyiaran. Niat baik untuk mengabarkan setiap informasi persidangan secara detail ke publik melalui siaran tanpa proses edit itu dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif lain.
Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Irjen Pol. Setyo Wasisto, mengatakan waktu publikasi yang lama terhadap tersangka kasus terorisme dikhawatirkan dapat memunculkan rasa simpati dari sebagian orang bahkan menjadikannya panutan. “Ini bisa saja akan menimbulkan inspirasi bagi orang yang justru awalnya tidak yakin dan tidak kepingin, jadi kepingin,” katanya di sela-sela diskusi terkait tayangan langsung sidang kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).
Hal lain yang dikhawatirkan Setyo dari siaran langsung yang berkepanjangan adalah ancaman terhadap keamanan perangkat pengadilan. Wajah dari hakim yang menangani kasus tersebut dapat dikenal meskipun identitasnya tidak sebutkan. “Hakim ini dapat menjadi target,” jelasnya.
Menurut Setyo, para tersangka atau pelaku kasus terorisme sebaiknya jangan diberikan panggung apalagi saat menjalani persidangan. Terkait penangganan kasus terorisme, Inggris dan Thailand menerapkan kebijakan ketat untuk tidak memberikan ruang publik bagi teroris di media.
Polri pernah mendapatkan protes keras dari seluruh dunia hanya karena gambar maupun tayangan pelaku bom Bali melambaikan tangan dan tersenyum. “Kok bisa mereka mendapatkan panggung seperti itu kata mereka dan Australia yang paling keras mengkritisi hal ini. Saya harapkan peliputan sidang ke depan melihat beberapa filter,” kata Jenderal bintang dua tersebut.
Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, liputan sidang berjam-jam setelah aksi teror di berbagai daerah, seperti penjajahan terhadap televisi. Padahal, ada dampak yang mengintai dari massifnya siaran yang dilakukan jika tanpa pertimbangan. “Harus ada batasan yang pas untuk melakukan peliputan seperti ini. Harus ada kesepakatan untuk tidak meliput hal ini secara keseluruhan,” kata Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat ini.
Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, siaran langsung berjam-jam persidangan dapat menimbulkan opini di masyarakat dan ini dikhawatirkan mempengaruhi keputusan hakim. “Vonis yang dijatuhkan publik itu lebih mengerikan ketimbang yang dijatuhkan majelis hakim. Kita minta masukan apakah ini dibuka atau tidak. Ini demi kepentingan bangsa,” katanya.
Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan, peliputan siaran langsung persidangan harus melihat substansinya. Produk jurnalistik menerapkan beberapa proses seperti adanya verifikasi, uji informasi dan pemilihan informasi mana yang boleh disiarkan atau tidak. Menurutnya, produk jurnalistik yang terverifikasi akan terlihat perbedaannya.
“Jika ada cara yang melewatkan verifikasi, hal itu merupakan pikiran yang sesat dan itu menghilangkan jati dirinya sebagai pers,” kata Dia di tempat yang sama.
Menurut Imam, produk jurnalistik harus memperhatikan dampak dan kepentingannya terhadap publik. “Masyarakat tidak hanya cukup tahu soal informasi itu tapi juga soal kepetingan hidup aman untuk mereka. Tugas pers menjamin masyarakat untuk hidup baik, aman dan damai,” jelasnya.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, setuju jika kepentingan publik dinomorsatukan dalam kaitan dampak yang akan timbul dari siaran pemberitaan seperti peliputan sidang kasus terorisme. Menurut Yadi, perangkat pengadilan sebaiknya menerapkan kebijakan ruang sidang dibuka dan terbuka tapi tidak untuk disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran.
Perwakilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), Asep Mulyana menjelaskan, ketika hakim mengatakan boleh dibuka dan terbuka untuk umum, ini harus dicermati apakah boleh disiarkan live dan detail. Menurutnya, siaran secara live menimbulkan rasa tak nyaman khususnya untuk perangkat pengadilan karena indentitasnya terbuka.
“Saya pikir dan sadar ini bagian dari kepentingan pers. Tapi harus kita sadari juga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih utama,” katanya.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengusulkan, perlu ada kosensus antar stakeholder terkait kasus seperti ini. Hal ini penting agar satu sama lain saling memahami, bertindak selaras dan penuh pertimbangan ketika terjadi kasus yang sama.
Dalam diskusi ini turut hadir, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, Agung Suprio, Ubaidillah dan Nuning Rodiyah. Selain itu, hadir perwakilan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Majelis Ulama Indonesia (MUI), ATVNI, dan ATVSI. ***