- Detail
- Dilihat: 36264
Jakarta – Medio Agustus hingga Oktober 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat banyak menerima aduan dari masyarakat terkait siaran langsung atau live persidangan kasus hukum di beberapa lembaga penyiaran televisi. Rata-rata isi aduan yang disampaikan mengenai panjangnya durasi siaran langsung yang dinilai terlalu berlebihan atau lama. Padahal frekuensi yang dipakai milik publik.
Terkait persoalan tersebut, KPI Pusat telah mengeluarkan beberapa imbauan ke lembaga penyiaran. Sayangnya, imbauan yang disampaikan belum sepenuhnya diikuti beberapa lembaga penyiaran dengan berbagai pertimbangan dan alasan.
Berkaca dari hal itu, KPI Pusat mencoba membangun komunikasi dengan lembaga penyiaran guna menyamakan pandangan, mendengarkan penjelasan serta menerima masukan sebanyak-banyaknya melalui pintu diskusi yang digelar hari ini, Selasa, 8 November 2016 di kantor KPI Pusat. Diskusi ini turut menghadirkan sejumlah narasumber terkait antara lain dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kementerian Hukum dan HAM serta Komisi Yudisial (KY).
Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah di awal diskusi mengatakan, KPI Pusat berupaya mencari titik temu tentang pantas atau tidak kasus hukum disiarkan secara live dan dalam tempo yang lama. Selain itu, diskusi ini dimaksudkan Nuning untuk lebih banyak menggali aturan dan etika yang berhubungan dengan peliputan mengenai masalah hukum.
“Ini juga untuk merespon beberapa isu terkait layar kaca kita seperti tayangan persidangan Jessica yang sudah diputuskan. Ada juga beberapa tayangan introgasi yang perlu kita diskusi hari ini. Kita juga perlu membicarakan soal gelar perkara terbuka yang akan datang. Apa ini boleh atau tidak. Ini perlu kita bahas dalam diskusi ini,” jelas Nuning selaku Komisioner bidang Isi Siaran.
Saat pertama menyampaikan presentasi, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano berbicara soal fungsi penyiaran yakni sebagai media informasi, pendidikan, pemberi hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Fungsi-fungsi itu disimpulkan bahwa media penyiaran seharusnya menjadi medium pembentukan karakter bangsa. Karena itu, semua aturan-aturan perundangan dan teknis yang ada harus merujuk kepada fungsi tersebut.
Menurut Hardly, jika hal-hal itu belum diatur sebaiknya harus melihat hal-hal yang lebih substansi. “Apakah sebuah tayangan ketika itu belum diatur secara teknis dalam aturan itu bagian dari informasi yang harus diterima publik atau tidak? Apakah itu proses pendidikan yang baik atau tidak untuk masyarakat? Apakah itu hiburan yang sehat atau tidak dan kemudian apa itu bagian dari kontrol dan perekat sosial atau jangan-jangan menjadi bibit konflik di masyarakat?” tanya Hardly.
Pertanyaan-pertanyaan substansi di atas, kata Hardly, seharusnya di kedepankan oleh teman-teman media. Jangan sampai hanya karena tidak ada di aturan, media mengunakan caranya sendiri dengan alasan kasusnya menarik atau ratingnya tinggi. Menurut Hardly, KPI terus mengupayakan menutup celah-celah dalam aturan yang ada agar tidak ada alasan atau dalih karenanya.
Hardly menegaskan upaya KPI itu bukan untuk membatasi tetapi sebagai regulator pendorong fungsi penyiaran sesuai dengan amanat dalam UU Penyiaran.
Selain berbicara fungsi media dalam penyiaran, Hardly membahas soal boleh atau tidak ada batasan dalam proses introgasi yang boleh disiarkan. Dia pun mengingatkan bagaimana dampak proses investigasi yang disiarkan jangan sampai jadi tutorial dari proses kejahatan yang ada.
Pembicara kedua dari Mabes Polri, Kombes Pol Abdul Rizal menjelaskan persoalan keterbukaan informasi sesuai dengan UU terkait. Menurutnya, Polri sebagai lembaga publik wajib memberikan pelayanan informasi yang berkaitan dengan kepentintan publik, baik itu diminta perorangan atau badan hukum. Namun dalam kasus yang sedang dalam proses penyelidikan oleh penegak hukum, sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi, informasi itu masuk dalam kelompok informasi yang dikecualikan tidak dapat diberikan kepada masyarakat sebagai pemohon dengan alasan dapat menghambat proses penegakan hukum.
Terkait dengan rencana Polri menggelar sidang terbuka terkait gelar perkara kasus Gubernur DKI Jakarta Non Aktif, Basuki Thahja Purnama, hal itu demi kepentingan dan kemaslahatan bangsa.
Kesakralan dan independensi lembaga peradilan
Sementara itu, pembicara ketiga, Komisioner Komisi Yudisial Farid Wajdi, menilai penayangan kasus hukum dari harus melihat dari pendekatan etika. Selain itu, proses persidangan yang disiarkan secara langsung dengan rentan yang lama bisa dijawab dengan UU No.48 tahun 2009 dan juga KUHAP.
Menurut Farid, pengambilan gambar atau siaran langsung dalam ruang sidang harus juga dengan seizin hakim ketua sidang kecuali untuk kasus tertentu. Dalam kasus Jessica, penayangan atau siaran livenya yang lama dan terkait pemberitaannya banyak menimbulkan keluhan dari lembaga peradilan. Dikhawatirkan itu akan mempengaruhi independensi hakim karena dampak konflik opini. “Untungnya, untuk kasus Jessica hal itu tidak terjadi karena pelaku sidang sudah bertugas hampir 30 tahun. Jadi tidak terpengaruh,” jelasnya.
Terkait independensi versus opini, ini bisa mempengaruhi pada martabat keadilan dalam hal ini martabat hakim. Idealnya, kata Farid, lembaga peradilan harus sakral karena menjadi gerbang peradilan yang terakhir.
Kemudian soal terbukanya keterangan saksi atau ahli, Farid merasa dilema karena sepatutnya hal itu tidak diketahui. Menurutnya, keterangan ahli dan saksi tidak boleh diketahui oleh saksi lainnya. Ini dapat menyebabkan antar saksi menyamakan pendapatnya atau sebaliknya. “Ini bisa membuka ruang hukum para pakar hukum. Bisa saja terjadi ruang sidang di luar sidangnya,” paparnya di depan peserta diskusi yang kebanyakan dari lembaga penyiaran.
Adapun Direktur Hak Asasi Manusia dari Kementerian Hukum dan HAM, Bambang Iriana menjelaskan perihal pengaturan oleh pemerintah terkait informasi ke masyarakat dalam upaya melindungi serta mendapatkan informasi yang benar. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan Bambang yang senada dengan Hardly, apakah setiap tayangan persidangan itu memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat.
Bambang menyadari bahwa media memiliki pengaruh serta dampak dari apa yang disiarkannya. Apalagi media ini media penyiaran yang dampaknya sangat luas ketimbang media lain. Menurutnya, fungsi penyiaran harus berimbang. Keseimbangan ini perlu juga didukung oleh SDM yang professional. Keseimbang itu pun, kata Bambang, harus juga diimbangi denga etika dan moral. “Isi siaran jangan menjadi video tutorial untuk kasus-kasus tertentu yang mempunyai potensi untuk ditiru,” tukasnya.
Bambang juga menyatakan dukungannya agar KPI diperkuat secara kewenangan. Penguatan kewenangan KPI akan berimplikasi terhadap aturanya yakni P3 dan SPS. Dia menegaskan bahwa isi siaran harus diatur supaya masyarakat dapat mendapatkan informasi yang baik dan mendidik. ***