Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberi peringatan kepada RCTI, MNC TV, I-News TV dan Global TV terkait intensitas penayangan iklan “Partai Perindo” yang dinilai tidak wajar, Senin, 17 Oktober 2016.
Menurut penjelasan KPI Pusat dalam surat peringatannya ke empat stasiun televisi tersebut, tayangan iklan dengan muatan mars Partai Perindo berpotensi mengganggu kenyamanan publik akibat intensitas tayangnya yang berlebihan.
Selain itu, siaran iklan Partai Perindo tidak memperhatikan ketentuan tentang perlindungan kepentingan publik yang diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012.
KPI Pusat juga menerima banyak aduan dari masyarakat perihal tayangan iklan Partai Perindo. Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang KPI Pusat terima, siaran iklan Partai Perindo dinilai sangat sering ditayangkan.
Dalam empat surat peringatan itu, KPI Pusat menjelaskan bahwa peringatan yang dilayangkan merupakan bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
KPI Pusat berharap RCTI, Global TV, MNC TV dan I-News TV segera menindaklanjuti aduan masyarakat tersebut dan senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam penayangan sebuah program siaran. ***
Jakarta – Dunia pers dalam televisi saat ini sedang berada dalam kondisi yang menyedihkan dikarenakan seringnya terjadi pengabaian terhadap prinsip-prinsip jurnalistik. “Saya bisa katakan bahwa pers saat ini sedang sakit,” demikian dikatakan oleh Yosep Adi Prasetya, Ketua Dewan Pers dalam acara pembinaan tematik jurnalisik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk praktisi televisi dan radio, di kantor KPI (13/10).
Yosep yang arab dipanggil Stanley menyatakan bahwa salah satu prinsip jurnalistik yang kerap diabaikan dalam dunia pers saat ini adalah verifikasi. Jurnalis seringkali mengambil sumber berita dari akun media sosial tanpa melakukan verifikasi terhadap narasumber utama. Verifikasi informasi menurut Stanley adalah sebuah keharusan yang harus dilewati setiap jurnalis dalam menyajikan fakta-fakta di tengah masyarakat.
Sejalan, narasumber lainnya, Yadi Hendriyana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga mengingatkan perlunya verifikasi. “Kita menghilangkan verifikasi, sehingga informasi di media tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, terutama kaitannya dengan media sosial,”ujarnya. Padahal jurnalis selalu melakukan verifikasi, yang jika hal ini diabaikan jadinya adalah jurnalisme pengukuhan dan menghasilkan penyesatan.
Prinsip lainnya yang menjadi sorotan Stanley adalah keberimbangan dan netralitas. Terlebih saat ini sudah mendekati musim pemilihan Kepala Daerah, di mana media (elektronik) menjadi barometer utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Stanley mengingatkan kembali kepada para awak pemberitaan mengenai pentingnya penyajian informasi yang benar, serta melihat dampaknya bagi masyarakat. Keberimbangan bukan sekadar menyandingkan narasumber dari berbagai pihak, namun juga memastikan narasumber yang dimaksud tidak menyampaikan sesuatu yang provokatif.
Menurut Stanley, ada 3 (tiga) factor minimal yang harus dipenuhi dalam penayangan debat pro dan kontra secara langsung di televisi. Yakni, memiliki pemahaman Kode Etik Jurnalistik yang kuat, lama berkecimpung dalam dunia jurnalistik, dan memiliki kapasitas untuk menghentikan jika ada potensi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. “Ketiga hal itu tidak bisa ditutupi hanya dengan keberimbangan-ketidakberimbangan semata, karena dampak yang muncul sesudahnya sangat besar,” tuturnya.
Pertimbangan untuk kepentingan publik yang lebih luas dan menjaga suasana yang kondusif sudah seharusnya menjadi pegangan para jurnalis, produser, dan awak pemberitaan lainnya. Stanley memberikan contoh kasus persidangan Jessica yang ditayangkan secara langsung dengan durasi yang panjang. Menurutnya tayangan tersebut menabrak prinsip presumption of innocent dan trial by the press. Stanley tidak sepakat dengan pernyataan kalau tidak suka siaran Jessica, tinggal pindah channel. “Tidak boleh itu!” ujarnya. Karena frekuensi yang digunakan televisi untuk menyiarkan persidangan Jessica itu dipinjam dari publik.
Menanggapi persoalan independensi yang seringkali menjadi dilema, stanley menegaskan bahwa News Room harus netral dan bersih dari kepentingan pemilik. “Anda harus berani berkata tidak,” tegas Stanley menjawab audiens yang bertanya tentang bagaimana caranya bersih dari kepentingan sementara News Room adalah tempat di mana semua kepentingan berada.
Dalam pembinaan tersebut, hadir pula sebagai pembicara Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran, Mayong Suryo Laksono dan Dewi Setyarini sebagai moderator. Mayong mengingatkan komitmen lembaga penyiaran dalam proses perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran yang ditandatangani oleh pemilik dan direktur utamanya, tentang netralitas dan independensi yang harus senantiasa ditegakkan. “Produk siaran jurnalistik adalah pembuat dan penentu selera masyarakat, tolong sisihkan waktu sejenak untuk menjadi orang lain yang “menikmati” produk Anda sendiri, sehingga Anda bisa merasakan menjadi pemirsa TV,” pungkas Mayong menutup acara.
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerahkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) 10 (sepuluh) lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi yang bersiaran jaringan secara nasional. Sesuai pasal 33 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, IPP diberikan oleh negara setelah memperoleh: masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI; rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI; hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan pemerintah; dan izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi oleh Pemerintah atas usul KPI, maka secara administratif IPP diberikan oleh Negara melalui KPI.
Adapun sepuluh televisi swasta yang mendapatkan IPP perpanjangan tersebut adalah: 1. PT Surya Citra Televisi dengan panggilan udara SCTV, nomor IPP: 1811 tahun 2016 2. PT Indosiar Visual Mandiri dengan panggilan udara Indosiar, nomor IPP: 1812 tahun 2016 3. PT Rajawali Citra Televisi dengan panggilan udara RCTI, nomor IPP: 1813 tahun 2016 4. PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dengan panggilan udara MNC TV, nomor IPP: 1814 tahun 2016 5. PT Global Informasi Bermutu dengan panggilan udara Global TV, nomor IPP: 1815 tahun 2016 6. PT Media Televisi Indonesia dengan panggilan udara Metro TV, nomor IPP: 1816 tahun 2016 7. PT Cakrawala Andalas Televisi dengan panggilan udara ANTV, nomor IPP: 1817 tahun 2016 8. PT Lativi Mediakarya dengan panggilan udara tvOne, nomor IPP: 1818 tahun 2016 9. PT Televisi Transformasi Indonesia dengan panggilan udara Trans TV, nomor IPP: 1819 tahun 2016 10. PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh dengan panggilan udara Trans 7, nomor IPP : 1820 tahun 2016.
Terkait perpanjangan IPP Ini, Yuliandre Darwis mengingatkan kembali komitmen yang ditandatangani pimpinan televisi tersebut dalam rangka perbaikan kualitas layar kaca. Selain tentang P3 & SPS yang harus ditaati dalam penyelenggaraan penyiaran selama sepuluh tahun ke depan, Yuliandre meminta agar fungsi penyiaran sebagai media informasi, pendidikan, hiburan serta kontrol dan perekat sosial dapat dilaksanakan secara seimbang. “Jangan sampai televisi didominasi oleh hiburan semata, dan mengesampingkan peran-peran lain penting dalam menjaga harmoni dalam kehidupan masyarakat, “ ujarnya.
Yuliandre juga menegaskan bahwa lembaga penyiaran harus menjaga independensi dan netralitasnya dalan agenda kontestasi politik, baik tingkat nasional ataupun lokal. Selain tentu saja, menjaga frekuensi yang dipinjamkan negara ini, semata-mata untuk kepentingan publik. “Kami berharap, tidak ada lagi blocking time dengan durasi yang tidak wajar untuk menyorot kehidupan pribadi artis ataupun public figure yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik”, pungkasnya.
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak pernah mengeluarkan surat larangan bagi lembaga penyiaran untuk menyiarkan liputan demonstrasi yang berlangsung kemarin (14/10) di Jakarta. Adapun surat yang disampaikan KPI kepada stasiun televisi TV One merupakan peringatan terhadap acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan judul “Setelah Ahok Minta Maaf” yang tayang pada 11 Oktober 2016 pukul 19.30.
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan bahwa surat yang disampaikan KPI tersebut merupakan peringatan agar TV yang bersangkutan berhati-hati dalam membahas isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Untuk itu KPI meminta agar TV One tidak menyiarkan ulang (re-run) tayangan tersebut.
Yuliandre menegaskan bahwa KPI tetap obyektif dalam menilai seluruh tayangan yang hadir di televisi dan radio dengan bertindak sesuai pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Diingatkan pula oleh Yuliandre, Undang-Undang Penyiaran menyebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integrasi nasional dan penyiaran diarahkan salah satunya untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Karenanya lembaga penyiaran tidak boleh menyampaikan muatan siaran yang mengarah pada adu domba, merusak integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat peringatan untuk program jurnalistik “Indonesia Lawyrs Club” TV One, Jumat, 14 Oktober 2016. Peringatan ini diberikan KPI Pusat lantaran tayangan ILC pada 11 Oktober 2016 yang berjudul “Setelah Ahok Minta Maaf” dinilai tidak memperhatikan ketentuan tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras dan antargolongan serta prinsip-prinsip jurnalistik yang mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan seperti yang termaktub dalam P3 dan SPS KPI tahun 2012.
Dalam surat yang ditujukan KPI Pusat langsung ke Direktur Utama TV One, disebutkan program ILC berjudul “Setelah Ahok Minta Maaf” bermuatan perbedaan pendapat dalam masalah berlatar belakang Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA) yang dikhawatirkan berpotensi menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Di surat itu, KPI Pusat meminta TV One untuk tidak menayangkan kembali (re-run) program tersebut dan/atau program siaran lain dengan muatan serupa.
Menurut KPI Pusat, peringatan ke TV One bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Di akhir surat peringatan, KPI Pusat meminta TV One untuk lebih berhati-hati dalam menyajikan program siaran dan senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam penayangan sebuah program siaran. ***
Saya baru saja melihat tayangan, dimana sekelompok orang (artis pendukung acara, host bahkan kru) dengan sangat semangat berjoget bersama mengikuti iringan lagu.
Poin yang dirasa mengganggu (khususnya buat saya pribadi) adalah:
1. Saat melihat Dewi Persik berjoget dengan gerakan yang cukup heboh, yang rasanya kurang pantas untuk ditayangkan di tv. Apalagi di acara sepagi ini (kebetulan anak saya juga menonton). Beda jika ybs melakukannya di tempat hiburan, misalnya.
2. Saat mereka berjoget bersama, jelas tidak ada physical distancing. Jarak mereka satu sama lain sangat berdekatan, bahkan ada artis yang mengangkat faceshield-nya ke atas kepala (seperti Nasar) atau mencopotnya (seperti Dewi Persik). Tanpa mengenakan alternatif lain seperti masker mulut. Jadi apakah mereka sungguh-sungguh memahami keadaan saat ini? Apakah anjuran 3M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan) sungguh tidak berlaku untuk mereka? Jelas mereka tidak memberikan contoh baik sama sekali!
Sekian dan terima kasih.
Pojok Apresiasi
Prawira Hendrik
Mohon Maaf Untuk Penghentian Sementara
GTV di Seluruh Tanah Air
Periode 1-30 November 2019
Sekian Terima Kasih.