- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 333
Bogor - Kesetaraan aturan pada para pelaku penyiaran, baik di ranah free to air atau pun di platform internet sangat mendesak untuk direalisasi. Industri penyiaran Indonesia saat ini, membutuhkan adanya level playing field untuk tumbuhnya industri secara sehat. Komitmen lembaga penyiaran di Indonesia sudah jelas, dalam melawan ujaran kebencian di tengah masyarakat yang ramai diedarkan melalui internet. Hal ini juga disebabkan adanya regulasi konten yang berlapis untuk televisi dan radio, tidak saja melalui undang-undang penyiaran dan aturan turunannya, tapi juga lewat aturan dari kementerian dan lembaga lain yang juga memiliki keterkaitan kepentingan pada lembaga penyiaran. Hal ini disampaikan Gilang Iskandar selaku Sekretaris Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) saat menjadi narasumber Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang bertajuk Cerdas Bermedia Menuju Penyiaran Berkualitas, (27/9).
Dalam kegiatan yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Gilang mengungkap adanya tekanan politik yang luar biasa oleh para pihak yang tidak mau adanya aturan terhadap konten di platform internet. “Indonesia terus menerus hanya dijadikan pasar,” ujarnya. Padahal, ujar Gilang, lembaga penyiaran ini merupakan aset bangsa yang harus dilindungi baik lantaran kontribusinya terhadap perekonomian atau pun juga terhadap ketahanan budaya.
“Kalau bicara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), itu harga mati. Karena kami tidak akan menyiarkan konten yang memecah belah bangsa,” tegasnya. DI satu sisi, televisi adalah motor penggerak ekonomi karena kuatnya pengaruh terhadap masyarakat terhadap konsumsi produk yang diiklankan. Gilang juga menjelaskan, sekalipun media dengan platform internet terus mendominasi, tetap saja e-commerce masih disiarkan di televisi. Hal ini dikarenakan kesadaran para pengiklan, bahwa televisi masih memiliki magnet yang besar bagi publik.
Sejalan dengan pernyataan Gilang, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Evri Rizqi Monarshi juga menyampaikan bahwa dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan bahwa televisi masih menjadi rujukan masyarakat dalam mencari validitas informasi. “Jadi bisa saja, publik banyak mengakses konten media sosial. Tapi rujukan terpercaya bagi masyarakat, masih kepada media mainstream, termasuk televisi,”ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Evri juga menyampaikan pada mahasiswa, bahwa hingga saat ini kewenangan KPI masih pada pengawasan di media free to air, yakni televisi dan radio. Regulasi yang ada sekarang belum memberikan wewenang pada KPI untuk melakukan pengawasan konten internet termasuk media sosial. Sekalipun, ujar Evri, aduan masyarakat pada KPI saat ini juga banyak ditujukan pada konten-konten media sosial. “Segala insiden yang terjadi di internet, yang sedang ramai jadi pembicaraan, juga diadukan kepada KPI,” terang Evri.
Menyambung diskusi dalam GLSP, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan Amin Shabana juga menyampaikan keresahannya terhadap muatan di internet yang kerap kali membuat kapitalisasi terhadap kasus-kasus kontroversial. Amin menyinggung perseteruan antara Ibu dan anak yang menjadi pesohor di media. Para pembuat konten (content creator), ujar Amin, menjadikan penggerebegan dan perseteruan itu sebagai bahan olok-olok di sosial media sehinga orang menertawakan, padahal seharusnya kita prihatin dengan kondisi tersebut.
Ketiadaan aturan ini, menjadikan media sosial sebagai hutan belantara yang segala rupa ada disana. Untuk itu, tambah Amin, para mahasiswa yang merupakan Gen Z ini harus cerdas dalam mencerna realitas saat ini. “Gen Z harus terampil dalam menerima dan mengelola informasi, “ujarnya. Salah satunya adalah dengan menjadi lembaga penyiaran sebagai rujukan.
Informasi di media sosial, dapat dibuat oleh semua orang tanpa syarat kompetensi apapun. Hal berbeda dengan informasi di lembaga penyiaran, ujarnya. Ada mekanisme bertahap menayangkan informasi, termasuk proses verifikasi berulang untuk memastikan akurasinya. Hal ini yang membedakan kualitas informasi dari media sosial dan lembaga penyiaran. “Karenanya, dalam kondisi informasi yang overload seperti saat ini, pastika rujukan kita adalah media mainstream seperti televisi dan radio,”pungkas Amin.