Mataram – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan penandatanganan MoU atau nota kesepahaman dengan Asosiasi Program Studi Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam (ASKOPIS) terkait kerja sama di bidang Pendidikan, Penelitian, Pengabdian, Pemagangan, Pengawasan Isi Siaran, Sosialisasi, dan Literasi Media.
Penandatanganan MoU dilakukan di sela-sela Seminar Nasional bertema “Literasi Media Nasional: Mengkaji Pokok-pokok Pikiran dalam Revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran” yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (03/10/2024).
Dalam keterangannya, Pimpinan DPP ASKOPIS yakni Mohammad Zamroni, Hari Irawan Jauhari, dan Gun Gun Heryanto, menyampaikan dukungan terhadap KPI terkait perlunya revisi UU Penyiaran. Bahkan, Gun Gun secara khusus menyoroti penetrasi internet yang merupakan media baru sudah mencapai 77%. Menurutnya, kondisi ini perlu diberi atensi melalui adanya regulasi yang mendukung persaingan sehat dalam penyiaran.
Ahsanul Khalik menyampaikan tentang “Potret Pertumbuhan dan Kontribusi Media Penyiaran bagi Pembangunan Daerah”. Menurutnya, komunikasi dan informasi yang disampaikan media harus mampu membangun peradaban yang sudah diwariskan pendiri bangsa.
Hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melahirkan SDM penyiaran yang memahami nilai yang berimbang, sehingga bisa membawa penyiaran di rel yang tepat. Revisi UU Penyiaran disebut Ahsanul sebagai salah satu yang menjadi jawaban untuk tantangan masa yang akan datang.
Sementara itu, Anggota KPI Pusat I Made Sunarsa, memaparkan substansi UU Penyiaran 2002, yang di dalamnya terdapat pasal yang menyebutkan penggunaan Lembaga Penyiaran (LP) untuk membangun martabat, membangun integritas, demokratisasi serta budaya. Dari pasal tersebut, tercantum fungsi LP dalam konteks penyiaran, sebagai wadah informasi, sarana edukasi, serta media yang memberi hiburan sehat.
“Tapi fakta di lapangan masih didapati hiburan yang tidak sehat, yang muncul dari media baru. Itulah yang menjadi urgensi revisi UU Penyiaran, penyesuaian dengan perkembangan teknologi dan utamanya untuk kesetaraan dalam ekosistem penyiaran dan untuk kepentingan Masyarakat,” kata I Made Sunarsa dalam keynote speechnya.
Dia menambahkan, revisi UU Penyiaran juga diperlukan untuk penguatan kelembagaan KPID di tiap-tiap daerah.
Dalam seminar nasional yang menghadirkan sejumlah nara sumber, Anggota KPI Pusat, Evri Rizqi memaparkan materi bertopik “Revisi UU Penyiaran dan Upaya Penguatan Kewenangan dan Kelembagaan”. Dia mengungkapkan pihaknya sudah menyampaikan kepada anggota dewan untuk meneruskan proses revisi UU ini, sehingga pembahasannya tidak kembali ke titik nol.
Seperti diketahui bahwa media konvensional seperti TV dan radio diawasi KPI dengan acuan P3SPS. Sedangkan media baru tidak dinaungi regulasi apapun sehingga menyebabkan perbedaan yang krusial. Revisi diharapkan bisa mewujudkan kesetaraan antara media konvensional dan media baru.
“Berdasarkan survey Kominfo, lembaga penyiaran masih menjadi pembanding atau rujukan atas informasi yang diperoleh di media baru. Hal ini berarti bahwa media konvensional masih dibutuhkan masyarakat,” kata Evri.
Selain meminta media konvesional tetap semangat, Evri Rizqi juga menjelaskan terkait keberatan terhadap revisi UU Penyiaran yang terjadi pada beberapa bulan sebelumnya. Ditegaskanya, sejak 2019 substansi draft tidak ada yang berbeda selain pada pergeseran pasal.
Menurut Evri, pihaknya mendukung kebebasan pers sepenuhnya. Dia menyinggung kembali esensi revisi adalah regulasi untuk media baru, penguatan KPI dan KPID yang merupakan pilar-pilar di daerah.
Di tempat yang sama, nara sumber Dadang Rahmat Hidayat, menyampaikan topik “Revisi UU Penyiaran dalam Telaah Hukum, Ekonomi, dan Politik Media”. Dia menyatakan bahwa hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban, keadilan, perlindungan hukum, kemanfaatan, perlindungan hukum, penegakan keadilan, serta rekonsiliasi kepentingan. Adapun revisi dimaksudkan sebagai suatu penyesuaian terhadap perkembangan teknologi dan digitalisasi, pengembangan kekuatan kelembagaan, perlindungan kepentingan publik dan kepentingan daerah, serta memberi perlindungan kepada lembaga penyiaran.
Publik menjadi aspek yang perlu diperhatikan, bagaimana mereka bisa mengakses sumber informasi yang sesuai minat. Kehadiran negara dibutuhkan untuk mengatur untuk mencegah terjadinya penguasaan media yang tidak proporsional karena kepentingan politik dan ekonomi. Sementara media juga harus bisa memperjuangkan diri agar tetap hidup dan berkelanjutan. Revisi undang-undang dimaksudkan untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut.
Narasumber Prilani, memaparkan topik “Partisipasi Publik dan Revisi UU Penyiaran”. Dia berpendapat bahwa meningkatkan partisipasi publik dalam revisi UU Penyiaran, perlu lompatan serius dan tidak harus normatif. Misalnya dengan menggerakan masyarakat melalui kreasi dan persuasi melalui kelompok-kelompok yang masuk di jejaring ASKOPIS, melalui pemanfaatan media sosial.
“Revisi perlu terus disuarakan hingga titik dimana semua pemangku kepentingan kembali ke jalan yang benar sesuai arah penyiaran,” ujarnya.
Prof. Dr. TGH. Fakhrurrozi, memaparkan materi tentang “Lembaga Penyiaran dan Strategi Komunikasi dalam Mendiseminasikan Moderasi Beragama”. Menurutnya, penguatan revisi UU Penyiaran bisa dilakukan oleh lembaga penyiaran melalui penguatan aspek alasan filosofis, normatif, landasan historis, sosiologis, antropologis, dan fenomenologis.
Untuk membuat gerakan revisi menjadi masif, lanjut Fakhrurrozi, bisa dilakukan pendekatan melalui 6 episentrum peradaban, yaitu komunitas tempat ibadah keagamaan, lembaga pendidikan, adat, budaya, cendekia, dan organisasi kemasyarakatan (ormas). “Jika semua komunitas dirangkul dan diliterasi maka mereka akan menyadari pentingnya revisi dilakukan,” tandasnya.
Seminar nasional ini juga dihadiri Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti, Sekretaris KPI Pusat, Umri, Kepala Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mewakili Pj. Gubernur NTB, Ahsanul Khalik, Wakil Rektor I UMMAT, Hari Irawan Jauhari, Ketua KPID NTB beserta jajaran, dan perwakilan Lembaga Penyiaran Publik (LP) NTB, serta sekitar 200 peserta yang terdiri dari Anggota ASKOPIS se-Indonesia dan mahasiswa/i UMMAT. **/Anggita