Yogyakarta – Penundaan pengesahan revisi undang-undang penyiaran akan menimbulkan kerugian besar bagi negara, termasuk dari segi pendapatan negara. Hal ini dikarenakan regulasi yang sekarang tidak mampu lagi menjangkau perkembangan dunia penyiaran yang semakin pesat. Sebagai contoh, aturan dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran belum memberi landasan atas penyelenggaraan televisi digital. Kebijakan Analog Switch Off (ASO) yang merupakan migrasi atau perpindahan sistem penyiaran dari sistem analog ke sistem digital menggunakan payung regulasi Undang-Undang Cipta Kerja. 

Anggota Komisi I DPR RI Dr Sukamta menyampaikan, pada sisa waktu yang dimiliki DPR masa bakti 2029-2024 diperkirakan sulit untuk dapat menyelesaikan regulasi baru untuk penyiaran, sekalipun drafnya sudah ada dalam Badan Legislatif (Baleg) DPR RI. Sukamta menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Kantor Perwakilan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Yogyakarta, (29/7). 

Menurut Sukamta, jika pengesahan revisi undang-undang penyiaran ditunda akan ada kerugian yang dialami negara. Penundaan berimplikasi pada masih digunakannya undang-undang yang lama, yang belum mengatur rinci sistem penyiaran digital. “Karena undang-undang saat ini masih menggunakan teknologi analog yang justru sudah ditinggalkan,” ujar Sukamta. Dalam penyiaran digital sendiri, ada perbedaan besar dengan teknologi analog, khususnya kemampuan melakukan produksi-produksi konten siaran. “Termasuk penggunaan Artificial Intelligence pada konten penyiaran,” tambahnya.

 

Selanjutnya adalah keberadaan media Over The Top (OTT) pada media dengan platform digital. Lembaga-lembaga ini, menurut Sukamta, adalah lembaga yang tidak memiliki izin siar namun dapat bersiaran lewat platform digital. Di satu sisi, OTT ini belum ada regulasi dan pengaturan termasuk teknis pengawasan konten yang disiarkan pada publik. 

Terakhir, Sukamta menjelaskan, siaran digital ini ada revenue atau iklan. Di undang-undang yang lama ada pengaturan iklan yang detil untuk siaran melalui medium free to air. Namun setelah ada platform baru yang belum tercakup oleh undang-undang yang lama, bagaimana pengaturannya? Tanya Sukamta. Saat ini, ujarnya, volume iklan di platform digital terus naik dengan nilai yang sangat besar. Apakah negara ini akan membiarkan seluruh potensi kekayaan tersebut diangkut ke negara lain, atau kita regulasi karena mereka menyiarkan di teritori Indonesia dengan pelanggan juga masyarakat Indonesia. “Jangan hanya WNI dan korporasi dalam negeri yang dinaikkan pajaknya, sementara untuk platform digital yang keuntungan terus naik, tapi pajaknya tidak ditarik,”  tambahnya.

Ketiga hal di atas, ujar Sukamta, sudah diatur dalam draf undang-undang penyiaran yang baru. “Bagi saya, yang demikian ini harus dipikirkan secara matang. Karena yang rugi bangsa Indonesia sendiri kalau teknologi penyiaran yang berkembang pesat seperti ini tidak ada aturan,” tutupnya. 

Dalam GLSP, turut hadir sebagai narasumber Wakil Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Ervan Ismail, dan Ketua Asosiasi Komunikasi dan Penyiaran Islam (ASKOPIS) Muhammad Zamroni. Ervan Ismail menyampaikan pada peserta GLSP tentang budaya sensor mandiri serta tata kerja LSF dalam penyensoran konten film sebagaimana yang diamanatkan regulasi. Hadir juga Bidang Kelembagaan KPI Pusat, I Made Sunarsa selaku koordinator, Evri Rizqi Monarshi selaku penanggungjawab GLSP, dan Mimah Susanti serta Amin Shabana selaku anggota.  

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.