Yogyakarta – Perpindahan sistem penyiaran dari siaran TV analog ke siaran TV digital memunculkan optimisme sekaligus keuntungan bagi publik tak terkecuali pelaku baru usaha penyiaran. Masyarakat akan diberikan pelayanan maksimal dari sistem siaran baru ini seperti gambar yang bersih, suara jernih dan teknologi canggih. Bagi pelaku usaha, sistem ini membuka kesempatan berusaha karena kanal siaran bertambah.

Namun demikian, kehadiran TV-TV baru tersebut termasuk TV lokal eksis diharapkan tidak hanya menjadi pelengkap penggembira. Artinya, kehadiran mereka harus diikuti dengan komitmen dan konsistensi menghadirkan tayangan ataupun konten berbeda yang sesuai dengan keinginan dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. 

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Aswar Hasan mengatakan, digitalisasi penyiaran semestinya membuat penyelenggara siaran baru berpihak kepada kepentingan masyarakat. Hal ini memastikan agar tidak ada monopoli kepemilikan yang berdampak pada produk konten yang condong pada kepentingan pemilik. 

“Digitalisasi penyiaran ini harusnya membuka peluang televisi mengakomodir tayangan atau produksi siaran lokal. Karena hal ini bisa menjaga kebaragaman konten. Dan hal ini harus terjadi dalam digitalisasi penyiaran,” kata Aswar Hasan dalam Diskusi Kelompok Terpumpun atau FGD (fokus grup diskusi) bertajuk “Perkembangan Televisi Digital dan Penguatan Konten Lokal” yang berlangsung di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (1/2/2023) lalu.

Terkait keberagaman konten, Aswar menyinggung porsi konten lokal yang diatur dalam Undang-undang Penyiaran sebanyak 10% yang mesti dipenuhi TV induk jaringan. Menurutnya, komitmen TV induk jaringan untuk membuat program ini jangan pudar. Penempatan konten lokal pada waktu primetime harus diutamakan. 

“Jangan konten-konten tersebut ditayangkan pada jam tengah malam. Penempatan waktu ini bertujuan agar masyarakat tahu informasi yang didapat dan perlu mengedepankan muatan lokal bukan Jakarta sentris semata,” tuturnya.

Menurut Aswar, kekhawatiran pada masalah di atas bisa diminimalisir dengan penguatan survey MKK (minat, kenyamanan dan kepentingan) masyarakat yang diinisiasi KPI. Hasil dari MKK menjadi acuan dasar bagi pemilik modal atau lembaga penyiaran yang sudah eksis atau yang baru memulai usahanya berdasarkan minat, kenyamanan dan kepentingan publik.

“MKK ini bisa menjadi dasar bagi mereka agar tidak ada hegemoni pemilik televisi secara monopoli  atau dikuasai kelompok tertentu. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi harus terwujud karena lembaga penyiaran menggunakan frekwensi yang notabene merupakan milik publik oleh karena itu lembaga penyiaran harus mementingkan hak-hak masyarakat salah satunya hak mendapat informasi dan harus mencerdaskan bangsa,” pintanya.

Terpengaruh rating

Persoalan keberagaman siaran dan produksi konten lokal di era digitalisasi menjadi tantangan semua pihak termasuk penyelenggara penyiaran. Menurut Deddy Risnanto dari Kompas TV, tantangan tersebut yakni bagaimana membuat konten lokal di era penyiaran digital menjadi lebih menarik. Keinginan membuat konten menarik mesti sejalan dengan penilaian rating share.

“Program diproduksi menggunakan biaya. Setelah ada (dibuat), kontennya barulah dilempar ke pasar (disiarkan). Industri pada umumnya ketika barang ada di pasar maka akan terjadi transaksi. Tetapi untuk di TV tidak, begitu program atau konten kita sampaikan ke pasar maka transaksi belum terjadi. Kenapa? Karena program baru jalan ketika sudah ada survey dari Nielsen, setelahnya barulah orang akan beli,” jelasnya. 

Deddy mengatakan menjual konten lokal kepada pengiklan agak sulit. Pasalnya, materi yang disurvey Nielsen tidak menjangkau ke  konten-konten lokal. Selain itu, survey dilakukan hanya berdasarkan perilaku menonton tayangan bukan kualitas. Karenanya, dia menyetujui jika mekanisme yang dipakai berdasarakan minat, kepentingan dan kenyamanan publik. 

“Sudah saatnya KPI harus menjadi “Nielsen” sebagai alat ukur lembaga penyiaran sehingga industri penyiaran bisa berjalan,” pintanya.

Akademisi UIN Sunan Kalijaga, Bono Setyo menambahkan, tantangan besar yang dihadapi Lembaga Penyiaran dan konten kreator dalam negeri saat ini adalah menjaga dan melestarikan budaya nasional. Upaya ini dapat dikembangkan dan disosialisasikan lewat konten-konten lokal. 

“Harapannya ke depan adalah konten lokal ini bisa mengglobal. Supaya hal itu terwujud dibutuhkan konten kreator yang kreatif dan inovatif. Di masa perkembangan media komunikasi dan era digital ini, TV memiliki peran yang strategis untuk tampil sebagai media yang memiliki konten lokal berskala global,” tandasnya. 

Penguatan lewat Perda

Sebelum ASO (analog switch off), pengawasan siaran TV di sejumlah daerah seperti di KPID Yogyakarta hanya 11 stasiun TV. Namun setelah ASO, mereka ketambahan mengawasi TV sebanyak 35 stasiun TV. 

“Ini akan menambah beban dan tanggungjawab KPID Yogyakarta. Sebagai refresentasi masyarakat harus memastikan siaran TV di Yogyakarta bisa memberi manfaat dan maslahat untuk masyarakat,” kata Ketua KPID Yogyakarta, Dewi Nurhasanah, dalam FDG tersebut. 

Dewi menyatakan penguatan konten lokal di Yogyakarta bisa dilakukan lewat Peraturan Daerah tentang Penyelenggara Penyiaran. Perda No.13 yang ditetapkan DPRD pada tahun 2016, memberi kejelasan pada setiap Lembaga penyiaran yang bersiaran lokal di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.  

Berdasarkan Perda tersebut, ada 7 kategori yang harus masuk dalam setiap tayangan yang bersiaran di Yogyakarta antara lain: Pertama, berdasarkan Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Keistimewaan Yogyakarta. Kedua, berisikan seni budaya, ekonomi kreatif, wisata, produk unggulan dan potensi local. Ketiga, mesti menghibur. 4. Keempat, menayangkan berita daerah. Kelima, menayangkan tayangan penyuluhan agama dan kepercayaan. Keenam, membantu sosialisasi kebijakan pembangunan daerah dan APBD. Ketujuh, memastikan informasi tentang potensi bencana di daerah dan mitigasinya. 

“Kami berharap televisi berjaringan dan TV lokal dapat berkontribusi secara konkrit salah satunya dengan menyiarkan siaran konten lokal sebanyak 10% dan memasukkan adanya program siaran berbahasa Jawa,” papar Dewi. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.