Yogyakarta - Pengaturan konten internet dan layanan video streaming sudah diinisiasi oleh Inggris dan negara-negara lain yang tergabung dalam Uni Eropa. Khusus tentang Uni Eropa, kawasan ini sangat progresif dalam membuat regulasi di bidang teknologi informasi jika dibanding negara di kawasan lain. Pengaturna tersebut tercantum dalam Audio-Visual Media Services Directive yang sudah diamandemen pada tahun 2018. Engelbertus Wendratama dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) menyampaikan hal tersebut dalam diskusi bertajuk “Revisi UU Penyiaran: Urgensi Regulasi Konten Streaming OTT” yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, (26/7).

Wendra menerangkan, dalam regulasi yang dibuat Uni Eropa ini, mengatur siaran televisi tradisional yang tayang melalui free to air, layanan video on demand seperti Disney Hotstar, Netflix dan Amazone Prime dan juga video sharing seperti Youtube. Pada prinsipnya aturan ini bertujuan menciptakan arena bermain yang setara bagi media audiovisual baru dan  melindungi khalayak dari konten berbahaya dan hasutan untuk melakukan tindak kekerasan dan kebencian. Selain itu, untuk melestarikan keberagaman budaya yang diimplementasikan dengan aturan 30% film Eropa harus muncul dalam katalog video on demand seperti Netflix. Tujuan lainnya adalah serta menjaga pluralisme media, sehingga jangan sampai ada giant tech  yang mendominiasi audiens, ujarnya. 

Masing-masing anggota Uni Eropa, terang Wendra, berkewajiban membuat aturan turunan secara nasional yang selaras dengan kepentingan setiap negara. “Setidaknya ada tiga platform yang memiliki audiens paling besar dan mampu memberi pengaruh terhadap persepsi publik atas realitas,” ujarnya. Prancis mewajibkan tiga platform besar seperti Netflix, Amazone Prime dan Apple TV, untuk mengalokasikan 26% pendapatannya di negara itu untuk produksi konten nasional. Kebijakan serupa juga diambil Italia, dengan aturan alokasi 20% , sedangkan Spanyol mengatur sebesar 3,5 %. 

Sementara itu, regulasi di Australia meskipun tidak tergabung dalam Uni Eropa, ternyata memiliki aturan yang serupa. “Streaming service harus mendaftar pada regulator, baik pemerintah ataupun independen,” ujar Wendra. Selain itu penyedia layanan tersebut harus menyampaikan tentang investasi dan pendapatan yang diperoleh. Saat ini aturan yang ada mewajibkan 5% revenue dialokasikan untuk konten Australia. Namun demikian, asosiasi sineas Australia menilai seharusnya aturan ini dinaikkan menjadi 10% dari revenue untuk dapat menggerakkan ekonomi lokal. Harus diakui, kehadiran layanan video streaming ini memang menggerus kue iklan dari lembaga penyiaran konvensional yang selama ini telah menghidupi banyak production house. Permintaan ini juga agar para sineas ikut mendapatkan project dari para penyedia layanan video on demand seperti Netflix, karena permintaan produksi dari televisi swasta menurun. “Argumentasinya adalah, baik televisi konvensional ataupun layanan video on demand sama-sama berkompetisi untuk meraih audiens dan revenue,” kata Wendra. Considerable impact yang dihasilkan pun sama, yakni mempengaruhi opini pengguna, dalam hal ini khalayak luas. 

Pada prinsipnya, pengaturan konten streaming adalah mencari keseimbangan antara regulasi dan inovasi. “Jangan sampai regulasinya terlalu ketinggalan zaman,” tukasnya. Sementara itu di Inggris Raya, pengaturan pada konten streaming menggunakan referensi hukum Communication Act 2003. Saat ini, ujar Wendra, regulator penyiaran di Inggris (Ofcomm) sedang  membuat aturan konten seperti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk layanan video on demand. Pengaturan terhadap Facebook, Youtube, Instagram danTiktok, juga secara spesifik telah dimasukkan dalam Communication Act 2003 yang memang menjadi payung terhadap berbagai aspek, terutama penyiaran dan telekomunikasi. 

Dalam penyusunan regulasi ini, Ofcomm memiliki data ekonomi kreatif yang dikontribusikan oleh lembaga penyiaran selama ini. Ternyata, nilainya sangat besar. “Karena itu, jangan sampai lembaga penyiaran menjadi collapse dengan adanya layanan OTT,” ujar Wendra. Data ini menjadi  argumentasi kementerian di Inggris dalam menyusun regulasi untuk konten streaming. Hal ini tentu perlu diadopsi juga oleh para pemangku kepentingan penyiaran di Indonesia, ungkapnya.

Di akhir pemaparan Wendra menjelaskan, semangat pembuatan regulasi konten streaming ini agar pasar menjadi lebih kompetitif dan mencegah munculnya dominasi raksasa digital. Implementasi dari turunan regulasinya adalah mewajibkan penyedia layanan yang besar berbagi teknologi pada yang kecil, agar tidak terlalu dominan, pungkas Wendra. Hadir dalam diskusi tersebut, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution dan perwakilan dari Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel). 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.