Yogyakarta – Hadirnya regulasi yang setara dalam dunia penyiaran dan media baru dipandang sebagai sebuah keharusan dalam upaya menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Rancangan undang-undang penyiaran yang mulai digodok di Komisi I, memang memberi ruang yang lebih  besar kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal penguatan kelembagaan dan kewenangan. Namun yang tak kalah penting adalah tentang kesetaraan regulasi antar-platform media. Saat ini, lembaga penyiaran baik itu publik atau pun swasta dipantau secara ketat oleh KPI. Sementara media digital lain justru memiliki ruang kebebasan secara mutak tanpa ada yang mengendalikan, lantaran ketiadaan regulasi. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta, Ph.D, menyampaikan hal tersebut pada Seminar Utama yang digelar dalam rangka Konferensi Penyiaran Indonesia 2022 di Yogyakarta, (24/5).

Menurut Sukamta, jika konten di ruang publik baik itu melalui penyiaran atau pun jaringan internet tidak dikontrol, akan membahayakan nilai-nilai Pancasila. “Kalau tidak dikonstruksi bersama hingga semua bebas mengadopsi nilai apapun dan disiarkan tanpa ada filter nilai Pancasila, kebebasan mutlak di media ini akan menjadi ancaman bagi ketahanan nasional,” ujarnya. Anak-anak yang hari ini berusia dua puluh tahun ke bawah tidak memahami nilai-nilai Pancasila yang diletakkan oleh para founding father negeri ini, sehingga tiga puluh hingga empat puluh tahun lagi kita tidak tahu nilai-nilai apa saja yang akan mereka pakai.  

Penyiaran sendiri, diyakini Sukamta, mampu membentuk peradaban bangsa. Saat ini kita diributkan oleh konten hoaks serta intoleran dengan segala pertikaiannya di media sosial. Kalau hal ini tidak ada filter, ujar Sukamta, akan menjadi seperti apa media dan kultur yang dipraktekkan masyarakat di masa mendatang. Hal inilah, yang dikhawatirkan Sukamta akan membahayakan eksistensi dari NKRI. “Sehingga mungkin NKRI tidak hancur dari serangan musuh luar, tapi justru terancam dari budaya sendiri, akibat warna, isi dan konten penyiaran sekarang,” tegasnya. 

Bicara soal ancaman terhadap kebhinekaan di Indonesia, Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Kantor Staf Presiden memiliki pendapat sendiri. Menurut Siti, sebagai sebuah komitmen bersama, NKRI dan Pancasila akan abadi karena dua entitas ini diyakini sebagai sebuah perjanjian atau kesaksian yang suci. Sebagai bangsa yang terdiri atas 700 etnis, selayaknya kita patut berbagga karena mampu menciptakan NKRI. Apalagi jika berkaca pada negara-negara lain yang hanya terdiri atas beberapa suku bangsa, namun belum mampu berdiri sebagai satu negara. Artinya, ujar Siti, kita modal yang sangat besar sekali yang sudah ditanamkan oleh founding parents yakni Bhineka Tunggal Ika. “Dan kita berharap sampai akhir zaman tetap ada, tegasnya. 

Dalam era keterbukaan seperti sekarang, Siti menilai, harus ada strategi dalam menjaga kebhinekaan. “Founding Parents sudah memberikan resep yang bagus, moderasi atau wasathiyah dalam beragama, etnisitas, ekonomi ataupun sosiopolitik dan kultural”, tambah Siti. Kebhinekaan dalam bingkai Tunggal Ika, bukanlah entitas terberi, melainkan sesuatu yang harus dicapai dan harus terus dirawat, karena menjadi pondasi utama kebangsaan kita. 

Dalam pemaparannya, Siti mengatakan, teknologi digital mencipta ruang tanpa batas dengan cita-cita persaudaraan global dan konvergensi nilai-nilai utama internasional. “Global Village diasumsikan bahwa semua orang setara, egaliter, bersaudara, adil, aman dan nyaman,” ujarnya.  Sementara di sisi lain, cita-cita global village masih tersandera oleh ketimpangan, persaingan, penindasan dan ketidakadilan yang mengakibatkan krisis identitas dan memunculkan kembali romatika ethno-religious communality. Selain itu, teknologi juga memberi kemudahan transmisi sentimen secara trans-national, trans-budaya dan trans-kebangsaan. 

Bicara soal soal Global Village, menurut Sukamta, revolusi digital di bidang media komunikasi dan penyiaran akan melahirkan dua kemungkinan. Yang pertama, hadirnya kampung global yang mengoneksikan seluruh masyarakat dunia lewat media komunikasi digital hingga menjadi bersaudara dalam hubungan yang saling menguntungkan. Kemungkinan kedua, menurut Sukamta adalah Global Pillage atau penjarahan global. Yakni suatu kondisi masyarakat dunia yang saling terkoneksi, namun pada hakikatnya saling memangsa. Yang satu melakukan penjarahan baik ekonomi, sosial, budaya, pemikiran, ideologi maupun politik terhadap yang lain.  

Sukamta mengakui, tantangan luar biasa bagi industri penyiaran di Indonesia untuk merumuskan muatan yang layak tayang untuk Indonesia yang beragam. Penyiaran, selain menyangkut sisi peradaban, juga meyangkut sisi ragam budaya yang harus diakomodir. Ada pula etika dan agama, ujar Sukamta. Mengingat peradaban yang sukses itu yang selalu menjunjung tinggi etika. “Karena tidak ada peradaban yang bertahan ratusan tahun, tapi tidak punya etika yang dipegang bersama,” tegasnya.

Seminar yang mengusung tema Penguatan Nilai-Nilai Pancasila Melalui Media Komunikasi dan Penyiaran Indonesia Menuju Peradaban Baru ini, dihadiri pula oleh Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid  dan Kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Adapun narasumber yang turut hadir dalam seminar ini adalah Komisioner KPI Pusat bidang Kelembangaan Yuliandre Darwis dan Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R Tobing. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.