Mataram -- Posisi rating bagi lembaga penyiaran (TV maupun radio) begitu penting karena ikut menentukan seperti apa bentuk program acara atau konten di masing-masing stasiun TV dan radio tersebut. Hingga saat ini, Indonesia hanya punya satu lembaga rating yakni Nielsen. Kondisi ini menjadikan hasil survei Nielsen sebagai satu-satunya acuan utama lembaga penyiaran dalam membuat program acaranya.

GM Legal dan Network Development KompasTV, Deddy Risnanto, mengatakan ketergantungan lembaga penyiaran pada rating kepemirsaan sangat besar. Pasalnya, alat ukur kepemirsaan ini menjadi cara TV mendapatkan pemasukan dari pengiklan melalui program siarannya. Bentuk programnya ditentukan dari kesukaan publik yang terdeteksi alat ukur (people meter) yang dimiliki Nielsen.

“Apakah pada saat kita tayang kita sudah dapat uang, tidak. Karena harus ada dulu yang namanya alat ukur kepemirsaan. Ini untuk apa, untuk kita menjual produk ke pemasang iklan. Kita dapat revenue dan kemudian ada program. Persoalannya, rata-rata TV minimal berproduksi atau bersiaran 12 jam. Tapi ada TV yang 24 jam bersiaran. Itu uang keluar dulu baru revenue dapat,” kata Deddy disela-sela kegiatan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) di kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pekan lalu.  

Menurut Deddy, hal ini kemudian menjadi persoalan karena Nielsen hanya satu-satunya lembaga rating di Indonesia. “Ada yang lain, nggak ada. Nielsen ada di 11 kota di Indonesia. Apakah Indonesia cuman 11 kota itu, tentunya tidak,” ujarnya. 

Meskipun pengukuran ini diklaim menguntungkan program TV dan dianggap sesuai selera masyarakat, Deddy mengatakan publik ikut berperan menentukan hasil tersebut. Kenapa, karena yang disurvei adalah masyarakat. 

“Jadi kalau Ikatan Cinta memiliki share 48%, ini artinya apa. Pada saat Ikatan Cinta tayang, 48% masyarakat Indonesia nontonnya Ikatan Cinta. Artinya, di sini masyarakat punya peran mengawasi isi siaran dan juga membentuk program siaran itu. Yang jadi persoalan kita karena satu-satunya alat survei cuman Nielsen, yang dipakai biro iklan ya Nielsen, yang dipakai pemasang iklan juga Nielsen,” keluhnya. 

Lantas bagaimana mengubah ini, Deddy mengusulkan adanya sinergi bersama para pihak dalam membangun survei kepermirsaan melalui kerjasama antar lembaga dengan ikut melibatkan masyarakat berbasis teknologi. Pemerintah menjadi pendana program sekaligus menyediakan teknologi untuk dikelola Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Kita juga bisa dibantu Badan Penelitian Statistik yang sudah ahli. Hasilnya kemudian diberikan kepada KPI,” kata Deddy. 

Deddy mengatakan, kolaborasi ini sangat mungkin dilakukan dengan juga memanfaatkan momentum migrasi siaran TV digital. Set Top Box (STB) yang akan dibagikan ke masyarakat dapat dipakai sebagai people mater. Jumlahnya diperkirakan ada 3,2 juta STB. Jika 1 persen dari alat tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kepemirsaan, artinya ada 200,000 orang/keluarga sebagai sampel survei.

Hari ini, ungkap Deddy, hampir 20% hingga 40% pemasukan iklan atau pendapatan lembaga penyiaran berasal dari APBN. Menurut dia, situasi ini dapat menjadi ujicoba dengan memberi syarat iklan yang berasal dari pemerintah wajib menggunakan survei yang dibentuk dari kolaborasi pemerintah dan masyarakat tersebut. 

“Saya yakin suatu saat TV akan bergeser. Pertama karena populasinya sudah banyak sekitar 200 ribu sampel berbanding 8600. Datanya jadi lebih detail dan datanya juga lebih banyak. Ada segmentasinya dari pemerintah, dunia pendidikan, dan juga dari masyarakat pada umumnya. Ini usul kami dari lembaga penyiaran. Karena kami juga mempertanyakan survei dari Nielsen tersebut. Apakah itu benar atau tidak. Tapi mau tidak mau, suka atau tidak suka, ya karena cuman satu itu kami pakai juga,” tukasnya. 

Dalam forum yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI sekaligus Ketua Panja RUU Penyiaran, Bambang Kristiono, memberi perhatian besar terhadap perkembangan penyiaran di tanah air termasuk persoalan rating. Menurutnya, catatan dan masukan yang muncul dalam forum akan menjadi pelengkap dan referensi dari RUU (Revisi Undang-Undang) Penyiaran yang sedang disusun Komisi I DPR RI.

“Kami juga bentuk tim asistensi dan mendorong mereka untuk menyerap saran dan masukan yang kami anggap sangat perlu dan penting dalam revisi. Kami rasakan partisipasi masyarakat sangat tinggi dan ini menggembirakan kami. Kritik yang sangat membangun bikin kami sangat bergairah untuk menyelesaikan RUU ini. Kami akan terus mempertajam materi yang akan kami susun dalam RUU. Insya Allah tahun ini akan kami selesaikan,” tegasnya.

Sementara itu, ditempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, mengusulkan Negara untuk mengembangkan pemeringkatan/rating penyiaran. Menurutnya, dengan begitu dapat mengubah cara pandang lembaga penyiaran yang sebelumnya hanya terpaku pada satu lembaga rating. 

“Negara harus mengembangkan pemeringkatan atau rating lembaga penyiaran. Dengan begitu, Negara ikut berinvestasi mendapatkan siaran yang berkualitas,” kata Reza.

Selain itu, kata Reza, salah satu alasan kenapa Negara harus ikut melakukan pemeringkatan agar semua lembaga penyiaran hingga ke daerah dapat secara aktif mendapatkan akses, baik data maupun peluang ekonomi lainnya. Dengan terbukanya akses tersebut, industri penyiaran di dalam negeri akan berjalan sehat.

Dalam kesempatan itu, Reza mendukung penuh RUU Penyiaran dan berharap segera dituntas secepatnya. Dia menilai revisi ini menjadi pintu masuk untuk mengatur keberadaan rating di tanah air. “Karena itu, kami berharap dan akan mem-backup revisi undang-undang penyiaran ini agar betul-betul melindungi kepentingan publik dan mewujudkan penyelenggaraan penyiaran yang baik,” tandas Echa. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.