Jakarta – Perubahan tata ruang atau lanskap industri penyiaran akibat digitalisasi tak bisa dihindari. Menghadapi sistem baru ini, industri penyiaran konvensional seperti TV dan radio harus adaptif dan inovatif agar tak tertinggal dan ditinggalkan. 

Namun begitu, untuk menciptakan iklim kompetisi dan usaha yang sehat dan adil antara media lama dan baru, perlu dibentuk sebuah regulasi atau UU (Undang-undang) baru yang memayungi dua media tersebut. Pasalnya, saat ini, hanya media lama yang diatur dan diawasi. Sedangkan media baru, bebas dan tak terkontrol. 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio, mengatakan pengaturan terhadap media baru diperlukan. Alasannya, untuk memberi keadilan berusaha bagi siapapun sehingga iklim kompetisi berjalan baik dan tidak berat sebelah.

“Saya sepakat harus di regulasi. Kesetaraan harus ada. Kita harus menghilangkan paradigma lama soal pemanfaatan ruang publik. Sekarang yang dipikirkan adalah dampaknya terhadap masyarakat,” ujarnya secara daring saat mengisi acara Pra Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan tema “Profesionalisme Jurnalis dan Lanskap Industri Penyiaran Masa Depan”, Jumat (29/10/2021). 

Agung menambahkan pengaturan ini bukan untuk mengekang kebebasan berkreasi atau berpendapat. Sejumlah negara di Eropa bahkan Australia yang liberal pun telah membuat aturan ini. 

“Pada tahun 2019 ada penembakan di Selandia Baru dan efeknya karena disiarkan di media baru bisa ditonton di Australia dan mereka cemas. Karena kekhawatiran ini, dengan cepat pemerintah dan parlemen Australia membuat aturan untuk media tersebut. Ini supaya dapat dikontrol. Harus ada tanggungjawab terhadap konten yang disiarkannya. Jika tidak sesuai dengan budaya maka harus ditake down. Jika tidak, pejabat media yang bertanggung di Australia bisa dikenakan denda. Mereka punya pengaturan yang ketat di media baru,” jelas Agung. 

Harapan agar ada kesetaraan perlakuan hukum antara media lama dan baru juga disampaikan Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, dalam forum tersebut. Menurutnya, pemerintah harus mem buat keseimbangan dengan membuat regulasi. 

“Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari. Tapi harus ada keseimbangan dengan media yang baru. Konten di media baru tidak bisa dilepas begitu saja. Contohnya, jurnalis saja ada yang menaungi dengan UU Pers juga industri penyiaran dengan UU penyiaran. Tapi media baru tidak ada, mereka hanya ikut UU ITE, kontennya tidak diatur. Kami berharap adanya kesetaraan dalam regulasi ini,” pinta Syafril. 

Menurutnya, kesempatan untuk memasukan pengaturan media baru bisa dilakukan dalam revisi UU Penyiaran di DPR. Jika hal ini diakomodasi, pihaknya yakin kompetisi akan berjalan dengan baik dan sehat. “Kami melihat sekarang dalam revisi UU Penyiaran bisa memasukan regulasi tentang media baru. Upaya ini agar kita bisa bersaing secara sehat. Dalam bisnis itu butuh rival tapi dalam bentuk positif. Jika tidak berimbang, satu terkungkung yang satu bebas, itu tidak adil,” tandasnya.

Dalam acara seminar Pra-Kongres IJTI, turu hadir narasumber lain yakni Pemimpin Redaksi Metro TV, Arif Suditomo dan Pemred CNN Indonesia, Titin Rosmasari. *** /Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.