Bengkulu - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menjalankan tugasnya sebagai regulator penyiaran, tidak melakukan seleksi konten siaran sebelum ditayangkan. Pengawasan konten siaran dilakukan KPI pada saat televisi dan radio menyiarkannya ke tengah masyarakat. Hal ini diatur dalam regulasi penyiaran sebagai upaya memberi ruang pada kebebasan berekspresi melalui produksi program siaran. Namun demikian, ada koridor yang harus ditaati oleh lembaga penyiaran saat membuat konten-konten siaran, yakni Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI. Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela selaku Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan, saat menjadi narasumber Literasi Media dengan tema Perempuan Berdaya di Hadapan Media yang diselenggarakan oleh KPID Bengkulu, di kota Bengkulu (9/6). 

Penyiaran di Indonesia saat ini telah hadir sebagai sebuah industri yang memiliki orientasi pada keuntungan pendapatan. Produksi program siaran di televisi dan radio, tentu membutuhkan pembiayaan yang biasanya akan dipenuhi lewat pemasangan iklan. Pengiklan sendiri, ujar Hardly, dalam menempatkan produknya menggunakan survey kepemirsaan yang dapat memberikan data tentang jumlah penonton di suatu program siaran. Tentunya, dalam membuat sebuah program siaran, lembaga penyiaran akan berlandaskan pada potensi penonton yang tinggi. “Sehingga dapat mengundang banyak pengiklan yang akan meningkatkan pendapatan mereka,” ujarnya. 

Pada posisi ini akhirnya dapat disimpulkan bahwa wajah penyiaran kita saat ini adalah cermin dari wujud pilihan kita sendiri terhadap program siaran. Televisi mencatat dan merekam semua pilihan menonton masyarakat, dan menerjemahkannya dalam produksi program siaran selanjutnya, terang Hardly. 

Dari data kepemirsaan Nielsen sebenarnya ada perbedaan antara siaran yang diproduksi televisi dan minat masyarakat menonton. Durasi program yang diproduksi televisi paling banyak pada program siaran berita. Sedangkan durasi menonton masyarakat paling banyak di program hiburan seperti sinetron, film dan entertainment. Jadi kalau ada tuntutan untuk menghadirkan banyak kartun, maka tontonlah kartun. Demikian juga jika ingin banyak berita di televisi, tontonlah berita! ujarnya.

Hardly juga menyampaikan dinamika di industri pertelevisian nasional, yang hingga saat ini dipenuhi oleh 16 stasiun televisi  berjaringan. Ada persaingan yang demikian ketat dalam rangka memperebutkan pasar iklan yang membiayai produksi program, sehingga muncul strategi ATM di kalangan televisi. “Amati, Tiru dan Modifikasi”, terangnya. Inilah yang menyebabkan kerap kali  kita melihat ada kemiripan program siaran pada beberapa stasiun televisi.  “Karena semua yang disuka penonton itulah yang diproduksi televisi. Itulah kondisi televisi kita saat ini,” ucapnya. 

Kondisi ini, dikatakan Hardly, sebagai mekanisme pasar yang menjadikan produksi program televisi disesuaikan dengan keinginan penonton. Mekanisme pasar ini tentu tidak dapat dibiarkan terjadi, karena kerap kali program siaran yang digandrungi masyarakat tersebut mengandung potensi masalah dan bermuatan konten negatif. Pada kondisi seperti inilah, sebagai regulator penyiaran, KPI harus memastikan agar dalam memenuhi selera masyarakat, televisi dan radio tetap dalam koridor regulasi, yakni P3 & SPS. 

Di samping itu, KPI juga berkepentingan untuk melakukan intervensi terhadap selera menonton di masyarakat, guna menjaga kualitas program, lewat literasi. Harapannya, dengan literasi ini, masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisisi, mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Kepada peserta yang terdiri atas perwakilan organisasi perempuan di Bengkulu, Hardly berharap melalui literasi ini, selain menjadi konsumen yang menggunakan media masyarakat juga mampu melakukan seleksi atas konten di media, khususnya televisi dan radio.

 

Dalam kesempatan ini, Hardly menyampaikan, KPI membuka mekanisme pelaporan dari masyarakat atas program siaran yang dinilai bermasalah. Namun, Hardly mengingatkan, saat ini juga menjadi penting untuk memberikan apresiasi atau menceritakan kembali program-program siaran yang baik dan berkualitas. Hardly mengajak kaum perempuan untuk mengambil peran strategis di hadapan media, sebagai salah satu upaya memberikan kebaikan pada keluarga dan juga lingkungan di masyarakat. 

Menurutnya, kaum perempuan harus berdaya di hadapan media dengan menjadikan media sebagai alat mendapatkan informasi bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Setidaknya saat menjadi konsumen media khususnya televisi, perempuan yang menjadi memegang peranan sangat penting dalam keluarga memperhatikan beberapa hal berikut. Klasifikasi program siaran yang memandu kesesuaian tayangan dengan usia penonton, membatasi dan mendampingi anak menonton televisi, dan memilihkan program siaran yang bermanfaat untuk dinikmati keluarga.  

Di samping itu, Hardly juga melihat perempuan memiliki kekuatan mempengaruhi publik terkait opininya atas sebuah program siaran. Realitas sekarang, warganet sudah sangat powerfull dalam melaporkan tayangan televisi yang buruk. KPI berharap, program-program siaran yang baik juga ikut disebarluaskan, dan diviralkan, ujar Hardly. Menjadikan program-program baik di televisi ini viral juga penting untuk memberi referensi pada masyarakat, bahwa ada banyak pilihan dalam menonton televisi. Apalagi terkadang program yang baik ini kurang mendapat apresiasi dari pengiklan, lantaran rendahnya tingkat kepemirsaan. Hardly berharap, potensi kaum perempuan dapat dimanfaatkan untuk sosialisasi program-program berkualitas di televisi. Dengan kritik dan apresiasi yang seimbang terhadap tayangan televisi, harapannya muncul resonansi yang positif dalam menjaga kesinambungan program siaran berkualitas di tengah masyarakat. Salah satunya dengan kontribusi kaum perempuan untuk ikut berbicara siaran yang baik, tutup Hardly./Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.