Jakarta - Riset Indeks Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan sebuah usaha dalam menghambat kuatnya penggunaan data kuantitatif dalam rating siaran dari lembaga pemeringkatan siaran yang sudah ada. Lembaga penyiaran, dalam disain kontennya, salah satunya berkiblat riset kuantitatif sebuah lembaga pemeringkat siaran. Hal ini berimplikasi adanya duplikasi program siaran yang memiliki rating tinggi, oleh berbagai stasiun televisi, sekalipun kualitasnya buruk. 

Karenanya Riset KPI sangat strategis untuk memberikan nilai pembanding dari data pemeringkatan yang sudah ada. Apalagi, pangkal persoalan kualitas konten siaran kita salah satunya karena tidak melalui riset audiens. Melainkan  mengambil data mentah dari lembaga pemeringkat. Hal tersebut disampaikan Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, Prof Iswandi Syahputra, dalam pembukaan Diskusi Kelompok Terpumpun/ Focus Group Discussion (FGD) Informan dalam rangka Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode pertama tahun 2021 di wilayah Yogyakarta, (27/5). Turut hadir dalam FGD, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UIN SUKA Dr Mochammad Sodik, dan Pengendali Lapangan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi di Yogyakarta, Bono Setyo.  

Iswandi berharap, hasil dari FGD ini dapat disosialisasikan seluas-luasnya pada publik. “Terutama tentang hasil yang diperoleh dari FGD ini,” ujarnya. Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN SUKA ini juga mengingatkan tentang prinsip dasar sebuah industri, yakni dengan modal sekecil-kecilnya, produksi sebesar-besarnya, distribusi seluas-luasnya, keuntungan setinggi-tingginya. Hal ini juga berlaku pada industri penyiaran di Indonesia.

Ini juga yang mendasari kenapa lembaga penyiaran cenderung mengikuti sebuah program yang sudah popular, tanpa melakukan riset audience. “Kalau di luar negeri, program siaran dibuat dengan riset mendalam sehingga dapat menghasilkan program yang diminati banyak orang,” ujarnya. Sedangkan di Indonesia lebih memilih membeli hak siar. Ini juga yang menjadi penyebab konten siaran televisi cenderung seragam, ungkapnya. 

Dalam industri televisi, Iswandi juga mengungkap ada entitas lain yang saling berkaitan, yakni regulator, konten siaran dan publik. “Kehadiran kita di sini untuk membahas konten televisi,” ujarnya. Kalau hasil dari FGD ini mencerahkan, tentu dapat berimplikasi pada perilaku menonton di masyarakat. Perilaku menonton dapat berakibat pada turunnya rating dari program siaran yang memang berkualitas buruk. “Dengan sendirinya konten pun akan berubah,” tambahnya lagi. 

Tentang KPI sendiri, Iswandi mengakui sebagai regulator senjata KPI saat ini satu per satu mulai dipangkas. Padahal untuk dapat menjadi regulator penyiaran yang berwibawa, harus ada kewenangan besar bagi KPI. “Saya mendukung revisi undang-undang dengan memberlakukan undang-undang penyiaran sebagai lex spesialis”, tegasnya. KPI dapat fokus di konten siaran dan berhak menjatuhkan sanksi denda. Menurutnya, jika KPI sudah diberikan kewenangan seperti itu, baru bicara tentang demokrasi penyiaran yang lebih sehat dalam lanskap penyiaran ke depan. Karenanya, tutup Iswandi, revitalisasi regulasi penyiaran menjadi sangat penting dan strategis bagi KPI dalam usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas konten siaran di Indonesia. 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.