Jakarta - Penayangan proses interogasi terhadap pelaku kejahatan dalam program siaran patut mendapatkan evaluasi, mengingat dalam Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2012 terdapat ketentuan untuk tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan. Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti, menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ FGD tentang Rekaman Proses Interogasi Kepolisian Pada Program Siaran, yang diselenggarakan di Jakarta, (19/08/2020).
Pada kesempatan diskusi tersebut Santi menyampaikan catatan pengawasan konten siaran yang dilakukan KPI, terhadap program siaran yang menampilkan tindak kejahatan. “Dari catatan kami, setidaknya ada lima hal yang patut diperhatikan oleh lembaga penyiaran saat menyajikan tayangan terkait tindak kejahatan,” ujarnya. KPI menemui adanya wawancara pengakuan tersangka tindak kekerasan dan/atau kejahatan yang diceritakan secara jelas dan rinci. “Ada juga wawancara dengan pemilihan diksi yang kurang tepat sehingga dinilai tidak pantas untuk ditayangkan,” ungkap Santi. Selain wawancara, KPI juga menemukan tayangan proses interogasi oleh pihak kepolisian kepada tersangka tindak kejahatan pembunuhan, yang dilakukan di dalam mobil. Ada juga pemberitaan yang di dalamnya terdapat proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kekerasan dan/atau kejahatan, serta menampilkan pengulangan tayangan gambar dan suara yang sama secara bersambung menyatu proses interogasi kepolisian pada pelaku tindak kekerasan dan/atau kejahatan.
Munculnya pemberitaan tindak kejahatan yang disampaikan secara detil dapat dipahami sebagai upaya memberikan informasi yang utuh kepada publik tentang sebuah tindakan kriminal beserta modus yang melingkupinya. Namun demikian, menurut Wakil Ketua KPI Mulyo Hadi Purnomo, lembaga penyiaran sebaiknya juga mempertimbangkan dampak yang diperoleh oleh publik. Ada kekhawatiran pemberitaan tindak kejahatan ini selain menimbulkan efek kengerian, juga berpotensi ditiru oleh publik.
Terkait kepentingan publik ini, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriyana sepakat dengan Mulyo. Menurutnya publik berhak mendapat informasi yang akurat dan memiliki dampak yang positif. Untuk itulah jurnalis juga harus mampu mengukur impact positif dan negatif untuk publik dari setiap karya jurnalistik yang dihasilkannya. “Pada tahap ini, tentulah dibutuhkan kompetensi dalam memahami etika jurnalistik,” ujar Yadi. Selain itu Yadi juga mengingatkan bahwa “calling message” dari undang-undang penyiaran saat ini adalah membentuk budaya santun dan bermoral .
Dalam kesempatan tersebut hadir pula dari Divisi Humas Polri, yang diwakili oleh Komisaris Besar Polisi Sugeng Hadi Sutrisno. Dia memaparkan tentang hak-hak yang dimiliki tersangka dalam pemeriksaan. Dalam proses interogasi, ujar Sugeng, hanya dapat dihadiri oleh tersangka, penyidik, juru bahasa dan penasehat hukum. Peliputan sendiri, ujar Sugeng, masih memungkinkan. Namun dilakukan oleh pihak kepolisian dan bukan untuk konsumsi publik. Sedangkan untuk proses rekonstruksi perkara, boleh diliput oleh media.
Namun demikian, menurut Yadi, meskipun proses rekonstruksi memang dapat diliput oleh media, jurnalis harus paham adanya tuntutan keberimbangan saat menayangkan. “Harus ada obyektifitas dan proporsional,” ujar Yadi. Wartawan memang punya hak meliput, namun yang pegang kendali terkait penayangan adalah media yang bersangkutan.
Senada dengan Yadi, Komisioner KPI Pusat Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan, tidak semua yang dibolehkan oleh polisi, dapat disampaikan kepada publik. Rekonstruksi perkara memang dibolehkan, tapi yang harus diingat dalam P3 & SPS KPI mengatur bahwa tidak boleh menayangkannya secara rinci, ujarnya. Yang terpenting dalam pemberitaan kasus kejahatan ini adalah tidak memberikan inspirasi akan ide kejahatan yang serupa, serta tidak menghalangi proses pengadilan pro justitia. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)