Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Lembaga Sensor Film (LSF) memiliki kepentingan yang sama dalam rangka melindungi publik dari konten tontonan yang bermasalah. Untuk itu dibutuhkan kolaborasi yang efektif dari kedua lembaga ini, agar kepentingan publik terlindungi. Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan antara LSF dengan KPI yang berlangsung di kantor KPI Pusat, (1/7). 

Komisioner LSF yang baru saja terpilih di awal tahun,  datang mengunjungi KPI dengan agenda perpanjangan nota kesepahaman antar dua lembaga, pengaturan regulasi penyelenggaraan Video on Demand, serta penguatan aspek pengawasan siaran TV untuk menciptakan isi siaran yang sehat. Ketua LSF Rommy Fibri menjelaskan, LSF punya program kampanye sensor mandiri, yang diharapkan dapat menjadi gerakan nasional sebagaimana KPI dengan gerakan literasi sejuta pemirsa atau pun kampanye bicara siaran baik.  “Intinya capaian kita sama, masyarakat tidak saja mendapatkan siaran namun juga dapat memilah dan memilih tontonannya,” ujarnya. Kesempatan bertemu dengan KPI ini dimanfaatkan Rommy untuk memperkenalkan jajaran Komisioner LSF periode 2020-2024 yang turut hadir berkunjung ke kantor KPI Pusat. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan apresiasi atas kehadiran jajaran Komisioner LSF yang baru dalam rangka menjajaki kerja sama antar dua lembaga. Agung juga menyampaikan berbagai pertimbangan tentang pentingnya pengaturan media baru yang terselenggara dalam platform internet. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan, Irsal Ambia yang turut hadir di acara tersebut melalui sambungan daring, menyampaikan dinamika di masyarakat tentang irisan tupoksi antara KPI dan LSF. Selain itu, Irsal juga menyampaikan catatan dari bidang kelembagaan terkait rencana perpanjangan nota kesepahaman. 

Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Aswar Hasan menyampaikan antara KPI dan LSF memang terdapat perbedaan dalam identifikasi publik yang menjadi obyek perlidungan. Namun dengan adanya media baru yang menggunakan platform internet, terjadi pergeseran dari penonton sehingga menjadikan adanya irisan antara publik yang dilindungi oleh dua lembaga ini. Karenanya Aswar menilai harus ada sinergi antara KPI dan LSF dalam rangka mencari titik temu terkait kepentingan penyelamatan publik. Apalagi KPI sendiri punya agenda melakukan revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dalam waktu dekat. 

Pada kesempatan tersebut, Komisioner LSF lainnya juga turut memaparkan tentang cara kerja LSF dalam melakukan penyensoran. Nasrullah, selaku Komisioner LSF selama dua periode memaparkan setidaknya dalam empat tahun ini, sensor yang dilakukan LSF pada film yang didaftarkan berputar pada empat hal, yakni pornoaksi, kekerasan sadis, konflik rumah tangga dan mistik. Nasrullah juga menyampaikan sebaran negara asal dari film-film luar negeri yang didaftarkan ke LSF. 

Sementara itu dari Bidang Pengawasan Isi Siaran, Komisioner KPI Pusat Mimah Susanti selaku koordinator menyampaikan catatan tentang banyak program siaran yang belum mencantumkan surat tanda lulus sensor (STLS). KPI sendiri, ujar Santi, selalu mengingatkan lembaga penyiaran agar patuh terhadap aturan tentang STLS. Mengingat hal ini selalu menjadi salah satu komponen utama pengawasan terhadap program siaran yang membutuhkan STLS dari LSF. 

(Ketua KPI Agung Suprio dan Ketua LSF Rommy Fibri dalam pertemuan kelembagaan di kantor KPI Pusat (1/7). (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI Pusat))

 

 

Terkait pembahasan media baru, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela ikut menyampaikan pemikirannya. “Saya setuju yang disampaikan Ketua LSF bahwa tidak berarti online itu tidak bisa diatur,” ujar Hardly. Dia mencontohkan beberapa negara yang melakukan pengaturan, termasuk yang ekstrim seperti di Cina. Hardly menilai perlu dirumuskan kebijakan pengaturan seperti apa yang akan diambil oleh negara ini untuk video on demand yang menggunakan platform internet. Sedangkan terkait usulan kerja sama program,  Hardly memahami keberadaan KPI dan LSF saat ini dalam perubahan paradigma masyarakat ketika masuk pada kebebasan informasi. “Civil Society ada di tengah masyarakat,” ujarnya. Beberapa masukan lainnya disampaikan pula oleh Nuning Rodiyah, selaku Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan. Termasuk upaya jalan bersama antara KPI dan LSF dalam mengedukasi pemirsa tentang yang bertanggungjawab terhadap materi pra tayang dan pasca tayang. 

Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo yang juga hadir dalam pertemuan tersebut menyetujui untuk segera melakukan pertemuan lebih teknis guna melakukan penegakan regulasi siaran. Mulyo memaparkan memang ada perbedaan dalam pembagian usia untuk klasifikasi program siaran antara KPI dan LSF. “Maka harus ada siasat tertentu agar terjaga koridor untuk bersama-sama melindungi publik,” ujarnya. Catatan dari Mulyo adalah nota kesepahaman untuk penyamaan perspektif antara KPI dan LSF harus segera direalisasikan. Selain itu, Mulyo menilai sinetron kejar tayang tidak lagi dilakukan oleh rumah-rumah produksi, agar kualitas sinetron tersebut dapat dipertahankan. 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.