Yogyakarta - Hasil riset indeks kualitas program siaran televisi akan digunakan sebagai pijakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melakukan penguatan terhadap sumber daya manusia (SDM) penyiaran. Selain itu, hasil tersebut juga digunakan sebagai salah satu landasan dari gerakan literasi media yang mulai berfokus pada ajakan untuk menonton siaran yang baik.
Hal tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, Hardly Stefano Pariela, saat membuka kegiatan riset indeks kualitas program siaran televisi periode kedua tahun 2019 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (29/10).
Pada periode pertama, indeks kualitas program siaran memang masih menempatkan tiga kategori program seperti sinetron, infotainmen dan variety show di posisi terbawah dengan nilai yang tidak mencapai standar kualitas yang ditentunkan KPI. Namun, ujar Hardly, harus diakui nilai indeks dari program tersebut terus bergerak naik di tiap periode riset.
Menyikapi hal ini tentu saja KPI tidak dalam posisi yang dapat melarang hadirnya sinetron, infotainmen dan variety show di televisi. “Ketiganya tetap boleh diproduksi, tapi harus sangat hati-hati mengelolanya agar tidak melanggar regulasi,” ujar Hardly.
Di samping itu, Hardly juga mengajak pula semua pihak untuk memahami bahwa industri televisi sebagaimana industri lainnya, berada pada sistem pasar dengan prinsip supply and demand. "KPI menggunakan regulasi untuk mengendalikan supply, tetapi juga berusaha membuat demand yang positif melalui gerakan literasi", kata Hardly.
Berkaca dari jumlah penonton di bioskop pada tahun 2019, Hardly memberikan contoh, film Dilan 2 maupun Danur 3 ditonton jauh lebih banyak dari film Keluarga Cemara. Padahal semua juga paham, film mana yang lebih memiliki kualitas. “Jangan-jangan memang selera masyarakat kita yang seperti itu,”tutur Hardly.
Dalam kesempatan itu Dekan FIS dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Sodiq, turut menyampaikan masukan atas hasil riset periode I yang dilakukan KPI. Secara khusus Shodiq justru memberikan perhatian lebih pada tiga kategori program siaran yang memiliki nilai indeks paling tinggi, yakni religi, wisata budaya dan anak.
Menurutnya, harus direfleksikan lagi hasil indeks tersebut, apakah indeks yang tinggi memang seperti itu apa adanya atau karena cara kita memandang religi selalu positif. Shodiq bahkan mengusulkan untuk program religi ini, alat ukurnya dibuat lebih spesifik untuk menguji. Mengingat jika dilihat dari aspek yang lebih luas, saat ini religi sedang ada masalah. Hal tersebut juga berlaku pada dua program siaran lainnya, ujar Shodiq.
Sedangkan terkait program anak, Shodiq juga mengusulkan agar anak-anak juga dimintakan penilaian dari perspektif mereka. Lebih jauh lagi Shodiq berharap hasil riset ini menjadi teks hidup yang selalu bergerak.
Di saat bersamaan, diskusi kelompok terpumpun panel ahli dan riset juga berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Riset tersebut bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara. Rencananya diskusi dan riset indeks kualitas program siaran TV akan berlangsung juga di sejumlah kota tempat KPI melaksanakan program ini diantaranya Padang, Surabaya, Semarang, Pontianak, Bandung, Banjarmasin, Makassar, Denpasar, dan Ambon. *