Jakarta - Hasil riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sejak tahun 2015, senantiasa menempatkan program infotainmen pada peringkat bawah dengan nilai indeks yang tidak berkualitas. Sementara kehadiran infotainmen di tengah masyarakat memiliki kuantitas yang cukup signifikan jika dibanding program siaran yang mendapatkan nilai indeks tinggi atau berkualitas lebih baik. Sedangkan dari data sanksi sepanjang tahun 2018, program infotainmen dan variety show mendominasi perolehan sanksi atas pelanggaran pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3 & SPS) KPI 2012.
Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo menyatakan, harus ada pembenahan atas kualitas infotainmen dan variety show di televisi agar tetap selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran, sebagaimana amanat undang-undang. Hal tersebut disampaikan Mulyo saat memandu jalannya diskusi kelompok terpumpun (FGD) tentang infotainmen dan variety show di kantor KPI Pusat, (24/10).
Mulyo menyampaikan beberapa catatan yang cukup menonjol terhadap infotainmen, yang juga menjadi sorotan publik. Di antaranya, infotainmen dimanfaatkan sebagai ajang adu domba, intrik dan konflik artis, ajang untuk saling menghina dan merendahkan satu sama lain, membuka privasi, promosi hedonism dan konsumerisme, serta memberi ruang untuk mengembalikan popularitas selebritas yang terjerat pidana susila. Selain itu, yang juga penting disoroti adalah akurasi berita dari infotainmen yang dipertanyakan lantaran kerap kali bersumber dari media baru (media sosial) yang tidak akurat. Serta muatan mistik dan supranatural yang seakan diada-adakan untuk mengikuti tren rating. Padahal, tambah Mulyo, jika dikembalikan pada pasal 36 Undang-Undang nomor 32 tahun 202 tentang Penyiaran, maka muatan seperti tadi sangat dipertanyaan kemanfaatannya. Sementara kalau bicara secara umum sebetulnya aspek kemanfaatan harus menjadi tolok ukur utama penayangan sebuah program siaran. “Apakah ini cukup untuk membentuk intelektualitas, watak, moral, karakter masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Mungkin ini terlalu idealis tetapi kita coba untuk kembalikan”, ucap Mulyo.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan pula catatannya terhadap program infotainmen selama dirinya menangani bidang pengawasan isi siaran KPI Pusat periode 2016-2019. “Prinsipnya infotainmen terdiri atas dua kata, informasi dan entertainment,”ujarnya. Informasi berangkat dari fakta, sedangkan entertainment adalah cara membuat fakta menjadi menarik. Hardly menyampaikan enam catatan dari KPI yang sudah pernah disampaikan pada pengelola televisi agar batas-batas tersebut dapat dipatuhi. Di antaranya batasan mengangkat isu privasi di ruang publik, serta pembatasan muatan mistik, horror, dan supranatural. Hardly juga mengingatkan bahwa KPI pernah mengeluarkan surat edaran bahwa muatan mistik, horor dan supranatural boleh ditayangkan tapi harus menyertakan pendekatan dan pemaknaan secara rasional, budaya, dan keagamaan. Hal lain yang juga lebih penting tentang infotainmen adalah identitasnya sebagai sebuah produk jurnalistik yang kerap kali dipertanyakan. Hardly berharap dengan menempatkan infotainmen dalam kategori yang jelas, diharapkan pengelolaan informasi yang disampaikan kepada publik dapat lebih berkualitas.
Dalam diskusi tersebut hadir pula narasumber lainnya yang ikut menyampaikan pendapat. Mulharnetty Syas, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, mengatakan bahwa program infotainmen didominasi konten yang melanggar P3 & SPS 2012. Secara khusus pakar infotainmen yang akrab disapa Netty ini menyampaikan, di antara arah P3 & SPS adalah agar industri penyiaran menghormati kepentingan publik, menjunjung tinggi hak anak dan remaja, menjunjung prinsip jurnalistik, menghormati kehidupan pribadi, dan dilarang merendahkan atau melecehkan harkat dan martabat manusia.
Sebagai akademisi yang melakukan penelitian tentang infotainmen, Netty menyampaikan kritiknya pada banyaknya muatan infotainmen yang melanggar prinsip perlindungan kepentingan anak. Misalnya, kehadiran bintang tamu yang bicara dengan kata-kata vulgar, pakaian yang tidak pantas atau pun pemilihan artis yang juga tidak bagus buat anak-anak. Netty juga menyoroti nilai indeks kualitas dari program infotainmen yang tak juga mencapai standar yang diterapkan KPI. Menurutnya, lembaga penyiaran harus bekerja lebih keras agar kualitas infotainmen menjadi lebih baik, salah satunya dengan patuh dan taat pada regulasi. Netty berharap pengelola infotainmen dapat bekerja dengan hati nurani.
Nara sumber lain yang turut hadir adalah Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yadi Hendriana, dan anggota Dewan Pers Agung Dharmajaya. Sementara itu sebelum tanya jawab, Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Mimah Susanti juga menyampaikan catatannya terhadap dominasi pasal-pasal yang dilanggar dalam program infotainmen. Diantaranya soal pelanggaran terhadap hak privasi, serta adanya program infotainmen yang membenarkan hubungan di luar nikah. Selain itu dirinya mengingatkan pihak televisi untuk disiplin dalam pencantuman klasifikasi program terhadap infotainmen ini. “Kadang ditulis R-BO, kadang tidak”, ujarnya.
Dalam sesi tanya jawab, Roni Kusuma dari Indigo Production yang menyalurkan program infotainmen ke beberapa televisi menegaskan bahwa infotainmen adalah produk jurnalistik. Roni menyatakan pihaknya secara redaksi merupakan anggota Dewan Pers dan sudah terverifikasi. Dirinya tidak menyangkal jika ada program infotainmen yang kerap kali melakukan kesalahan dan melanggar P3 & SPS. Namun demikian, Roni menjamin sudah ada perubahan paradigma dalam pengelolaan infotainmen, yang tujuannya menjadikan program ini lebih baik dan dapat dipercaya.
Di ujuang acara, Mulyo memberikan kesimpulan untuk perbaikan kualitas infotainmen dan variety show. “Bagaimana pun juga harus diperhatikan dampak dari muatan informasi yang ada dalam infotainmen dan variety show,”ujarnya. Selain itu, setiap program harus memperhatikan nilai edukasi dan kemanfaatan bagi publik. Di sisi lain, pengelola infotainmen harus mempu melakukan pengendalian jika ingin menayangkan sesuatu yang sensasional dan bombastis. Mulyo juga mengingatkan tentang penggunaan sosial media sebagai sumber informasi yang harus diverifikasi kebenarannya serta memperhatikan prinsip keberimbangan. Sedangkan terkait masalah privasi, meski sudah disiarkan di media, tetaplah tidak dapat diumbar sembarangan apalagi mengacu pada kemanfaatannya bagi publik.