Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, menjadi salah satu narasumber seminar nasional di Konferensi Penyiaran Indonesia yang berlangsung di Padang, Selasa (25/6/2019).

 

Padang – Perubahan Undang-undang (UU) Penyiaran No.32 tahun 2002 harus segera dilakukan untuk mengatisipasi cepatnya perkembangan teknologi. Selain itu, jika tidak dilakukan kemungkinan Indonesia akan banyak mengalami kerugian. Hal itu ditegaskan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, ketika menjadi salah satu narasumber Seminar Komunikasi dan Media Penyiaran pada Konferensi Penyiaran Indonesia di Padang, Sumatera Barat, Selasa (25/6/2019).

Sampai saat ini, kata Agung, Indonesia belum mengubah sistem penyiaran nasional dari analog ke digital yang mengakibatkan penggunaan frekuensi jadi berlebih dan tak ada ruang untuk internet. Efek lain yang muncul akibat ini, lemahnya pertumbuhan industri kreatif di dalam negeri. 

Menurut Agung, yang harus segera dilakukan adalah DPR segera mengesahkan rancangan UU Penyiaran. Jika UU Penyiaran perubahan ini tidak diketuk, pemerintah harus ambil alih dengan membuat semacam peraturan atau permen tentang migrasi dari analog ke digital. 

“Hampir seluruh negara di dunia sudah melakukan migrasi ini. Di Asia Tenggara, tinggal dua negara yang belum melakukannya yaitu Myanmar dan Indonesia. Butan negara yang kecil dan jarang terdengar sudah melakukan perpindahan itu. Teknologi semakin berkembang cepat dan tak terbendung. Oleh karena itu kita harus cepat mengadaptasinya,” kata Agung di depan peserta seminar. 

Akademisi dari Univeristas Padjajaran, Atwari Bajari, mengatakan pergeseran yang terjadi harus menjadi perhatian khususnya bagi lembaga penyiaran konvensional seperti radio. Media penyiaran harus mampu berdaptasi dan juga mereorganisasi.

“Revenew pada media konvensional sudah mengecil. Ketika hal itu diambil media baru, mereka sudah tidak kebagian jatah iklan dan hal itu sudah terjadi pada radio di Bandung. Sebenarnya pasti akan ada perlawanan terhadap perkembangan tersebut dengan proses kreatif. Reorganisasi ini telah dilakukan di Cina dan New Zealand,” kata Atwari yang menjadi salah satu narasumber seminar.

Menurut Atwari, tidak ada pemenang di era konvergensi. Polemik di ruang virtual akan selesai dengan sendiri. Melalui prose itu, ada pembelajaran atas ketidastabilan menuju kepada kestabilan. “Dalam era ini tidak ada yang menang. Ketika AS menjadi super power, Cina justru mengintip kelemahan negara adidaya tersebut. Dan, muncullah 5G,” tambahnya.

Sementara itu, Datuk Prof. Ismail Sualman, Akademisi Komunikasi dan Penyiaran dari Universitas Teknologi Malaysia (UTM), mengatakan teknologi harus bisa dipresdiksi karena akan terus berkembang. Karenanya, kalangan perguruan tinggi khususnya mahasiswa harus ikut terlibat dengan ikut berpikir sekaligus beradaptasi sejalan dengan perkembangan tersebut. *** 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.