Dari kiri: Atase Penerangan, Sosial dan Politik Kedubes RI di Washington DC Yudo Sasongko, Maruli Matondang, Chairman FVV Ajit V Pai, Yuliandre Darwis, Mayong Suryo Laksono, Sekretaris Kedua Kosuler Kedubes RI Denny.
Washington - Dunia terus berubah, dan kita dituntut untuk terus menuesuaikan diri dengan perubahan itu. Tidak di Indonesia, tidak juga di Amerika Serikat (AS). Pemahaman bersama itu tersirat dalam pertemuan antara Ketua KPI Yuliandre Darwis dengan Chairman Federal Communications Commission (FCC) Ajit V Pai di kantor FCC, Washington DC, Jumat (14/6/2019). Pertemuan itu merupakan lanjutan pertemuan keduanya di forum penyiaran dunia di Las Vegas, 2017. Ikut serta dalam delegasi RI adalah Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran Mayong Suryo Laksono dan Sekretaris KPI Maruli Matondang.
Pai menjelaskan, berbeda dengan KPI, bahwa pekerjaan lima orang Komisioner FCC termasuk juga mengatur tata niaga penyiaran.
“Masa kerja kami lima tahun, keseluruhan staf kami 250 orang, namun tidak mengawasi siaran televisi terus-menerus,” kata Pai.
“Selain karena sistem penyiaran kami sudah matang, para penyelenggara siaran sudah tahu akan batasan dan aturan yang tetap ada meski tidak untuk mengekang kebebasan dan kemerdekaan bersiaran, masyarakat kami sudah cukup sadar sehingga merekalah pemantau siaran kami, bahkan tak jarang ada yang kirim email atau menelepon saya secara langsung kalau ada masalah dengan siaran televisi.”
Namun sebagai lembaga yang bekerja atas dasar hukum dan peraturan, FCC sering juga menghadapi kendala karena perubahan peraturan atau peraturan yang terlambat mengantisipasi teknologi dan segala perubahan. “Ada kalanya situasi berubah cepat namun pembahasan di Parlemen lambat,” tambah Pai.
Mengenai media-media baru dan media sosial, menurut Pai, FCC mengalami kendala, bahkan belum memutuskan langkah yang pasti akan diatur seperti apa. “Sebab mereka berdalih di balik kebebasan dan hak untuk mendapat informasi, dan itu tidak boleh dihalang-halangi.”
Maka yang dilakukan adalah memgupayakan tata niaganya agar adil bagi siapa saja, baik masyarakat penonton maupun sektor bisnisnya. “Ini yang sedang kami upayakan.”
Pai tidak heran ketika mendapat penjelasan dari Yuliandre, bahwa situasi Indonesia kurang-lebih sama. “Selain mengantisipasi digitalisasi dan media-media baru, kami juga harus menjaga prinsip keragaman isi dan keragaman kepemilikan lembaga penyiaran,” Mayong menambahkan.
“O begitu ya? Kalau kami keragaman pemilikan itu dibatasi dan diatur oleh undang-undang. Tapi soal kecanggungan menghadapi media baru, kita berada di posisi yang sama, hahaha...,” jawab Pai.
Pertemuan berlangsung hampir 60 menit, dan diakhiri dengan pertukaran cendera mata, sambil saling mengingatkan. “Kalau suatu saat Anda buat acara dan mengharapkan keterlibatan dan kehadiran saya, dengan senang hati saya akan datang. Mungkin saya bisa sekalian pergi ke Bali,” kata pria 46 tahun ini dengan ramah. Laporan MSL dari Washington