Oleh : Mahi M. Hikmat
Kendati media sosial tampak mendominasi, tetapi media mainstream masih tetap memiliki peranan besar pada aksesitas kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber informasi, sarana hiburan, pendidikan, maupun sebagai perekat dan kontrol sosial. Apalagi televisi yang sudah terlebih dahulu merebut hati khalayak dengan siaran audio visualnya, murah, banyak pilihan, serta dekat dan intim dengan khalayak, tidak dapat diremeh-temehkan. Berbagai penelitian dan teori pun sudah membuktikan, televisi adalah magic box, kotak yang dapat berpengaruh besar terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku khalayak; televisi adalah sarana mimesis khalayak yang paling efektif.
Oleh karena itu, di antara “kepanikan” menghadapi dasyatnya pengaruh media sosial, semua pihak juga tetap harus waspada terhadap konten-konten siaran yang disajikan lembaga penyiaran, terutama televisi. Di wilayah perkotaan, boleh jadi peminat televisi sudah mulai berkurang karena trends lifestyle generasi milenial yang media sosial sentris, tetapi siaran televisi pun ikut mewarnai, baik melalui tv streaming-nya maupun youTube-nya. Namun, di wilayah pedesaan, siaran televisi masih tetap menjadi idola.
Apalagi hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat (KPID Jabar) dan laporan masyarakat Jawa Barat selama tahun 2018 dari 1.926 pelanggaran isi siaran terhadap Undang-Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), 93,8% atau 1.808 pelanggaran dilakukan oleh lembaga penyiaran televisi. Dari 4.210 kali pasal yang dilanggar lembaga penyiaran tersebut, di antaranya 1.394 kali pelanggaran terhadap aturan yang terkait dengan larangan penayangan konten siaran pada waktu tayang klasifikasi anak dan 784 kali terkait pasal perlindungan terhadap anak dan/atau remaja.
Sementara itu, pasal yang terkait dengan konten siaran yang paling sering muncul di televisi dan melakukan pelanggaran sepanjang tahun 2018 adalah konten siaran mistik, horror, dan supranatural (mhs). Konten mistik, horor, dan supranatural pada tahun 2018 disajikan sangat masif di layar televisi dan hampir merasuki setiap bentuk program siaran, mulai dari film, sinetron, infotaintmen, bahkan reality show. Eksploitasi muatan tersebut yang berlebihan berpotensi menimbulkan efek negatif pada kehidupan masyarakat, seperti munculnya rasa takut yang berlebihan atau mendorong masyarakat untuk percaya atas kesaktian benda atau orang tertentu yang berindikasi melanggar Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran bahwa isi siaran dilarang bersifat …menyesatkan….
Siaran mistik, horor, dan supranatural pun berbahaya bagi kerusakan kognisi, sikap, dan perilaku; dapat mendorong pada pembenaran terhadap kondisi hidup yang irrasional, toleransi terhadap keburukan, dengki, iri hati, curiga, dan penyakit hati lainnya; dapat memicu perilaku tidak produktif dan permisif terhadap sikap mental menerabas; dapat menciptakan ketakutan, kecemasan, stress dan emosi negatif lainnya (Rachmiatie : 2018).
Oleh karena itu, Standar Program Siaran mengatur lebih rinci tentang Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural dalam satu bab dan tiga pasal. Dalam Pasal 30 ayat (1) disebutkan, Pogram Siaran yang mengandung muatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural dilarang menampilkan : a. mayat bangkit dari kubur; b. mayat dikerubungi hewan; c. mayat/siluman/hantu yang berdarah-darah; d. mayat/siluman/hantu dengan pancaindra yang tidak lengkap dan kondisi mengerikan; e. orang sakti makan sesuatu yang tidak lazim, seperti, benda tajam, binatang, batu dan/atau tanah; f. memotong anggota tubuh, seperti, lidah, tangan, kepala, dll.; g. menusukkan dan/atau memasukkan benda ke anggota tubuh, seperti, senjata tajam, jarum, paku, dan/atau benang.
Selain itu, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) mempertegas pengaturan Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural di layar televisi melalui surat edaran. Surat Edaran yang dikeluarkan akhir 2018 menguatkan, mempertegas, dan menambahkan bahwa lembaga penyiaran harus super taat pada peraturan dalam menyajikan Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural. Khalayak harus ekstra hati-hati dalam menikmatinya. Regulasi penyiaran di Indonesia secara umum memang memberikan peluang bagi lembaga penyiaran untuk menayangkannya; sebagian budaya masyarakat Indonesia pun menerimanya, sehingga rating program tersebut cukup menjanjikan. Namun tampilan program harus tetap dikemas dengan baik dan berlandaskan perlindungan terhadap anak-anak dan remaja serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Namun, sesuai dengan karakteristik budaya sebagian masyarakat Indonesia yang juga percaya pada hal-hal gaib, baik dari perwujudan benda-benda keramat maupun tokoh/sosok tertentu, Standar Program Siaran pun “beradaftasi”. Oleh karena itu, dalam Pasal 30 ayat (2) ditegaskan, Pogram Siaran yang bermuatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural yang merupakan bagian dari pertunjukan seni dan budaya asli suku/etnik bangsa Indonesia dikecualikan dalam adegan: orang sakti makan sesuatu yang tidak lazim; memotong anggota tubuh,; menusukkan dan/atau memasukkan benda ke anggota tubuh,. Namun, dalam kerangka perlindungan terhadap anak & remaja, adegan tersebut hanya dapat disiarkan pada (jam) klasifikasi dewasa (DW), mulai pukul 22.00 sampai dengan 03.00 waktu setempat.
Kemudian pada Pasal 31 dan 32-nya ditegaskan pula, Pogram Siaran yang menampilkan muatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural dilarang: melakukan rekayasa seolah-olah sebagai peristiwa sebenarnya kecuali dinyatakan dengan tegas sebagai reka adegan atau fiksi; adegan yang menimbulkan ketakutan dan kengerian khalayak harus ditayangkan pada (jam) kategori dewasa (DW) pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Setegas apapun aturan dan seberat apapun sanksi yang diancamkan, tidak akan menjadi solusi terbaik bagi makin sehatnya program siaran. Terlebih Program Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural yang akhir-akhir ini sangat masif pada program siaran televisi Indonesia memiliki rating di atas rata-rata. Dalam frame bisnis, program siaran tersebut cukup menggiurkan di antara mulai lesunya minat khalayak terhadap siaran televisi. Dalam pendekatan layanan, rating tinggi menunjukkan peminatan yang besar, yang berindikasi pada meningkatnya kepuasan publik. Bahkan bagi sebagian masyarakat, siaran tersebut sinergi dengan upaya peningkatan kepedulian dan pelestarian budaya lokal.
Namun, setara-kah pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan dampak buruk yang akan ditimbulkan, khususnya pada generasi muda ke depan. Karena kita sangat berharap, Indonesia masa depan lebih baik daripada hari ini dan hal itu sangat bergantung dari generasi muda sekarang. Oleh karena itu, lembaga penyiaran harus bijak dalam menyajikan; KPI/KPID harus ketat mengawasi dan tegas memberi sanksi, kelompok masyarakat strategis pun harus tetap peduli, serta para pemirsa pun harus lebih hati-hati: menontonlah hanya pada program siaran sehat, mendidik, dan sesuai dengan klasifikasi usia. ***
Penulis: Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Jawa Barat, Dosen UIN Bandung, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat