Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah.
Badung - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah, mengingatkan lembaga penyiaran baik radio ataupun televisi untuk aktif melakukan sosialisasi pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2019, salah satunya melalui bentuk iklan layanan masyarakat (ILM).
Sebagai pengguna frekuensi publik, lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk memberikan informasi dan mengedukasi publik mengenai pelaksanaan pemilu.
Hal tersebut diungkapkan Ubaidilah disela-sela kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Panel Ahli terkait survei indeks kualitas program siaran televisi tahun 2018 wilayah Bali di Badung pada Rabu, (31/10).
Menurut Ubaidillah, Sosialisasi melalui media penyiaran menjadi sangat penting karena hampir semua masyarakat memiliki televisi dan radio di rumah. Harapannya semakin banyak masyarakat yang teredukasi dengan ILM maka kualitas demokrasi kedepan juga menghasilkan pemimpin yang semakin baik.
“Karena itu sudah mandatory undang-undang (Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang penyiaran), 20 persen dari iklan niaga yang diatur oleh undang-undang, 10 persennya iklan layanan masyarakat dan kami minta penayanganya juga di jam-jam produktif, sehingga masyarakat juga teredukasi,“ ujar Ubaidillah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa “iklan layanan masyarakat (ILM) adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut”.
Dampak penayangan ILM terhadap perubahan pola pikir masyarakat sudah terbukti sejak lama. Melalui ILM lembaga penyiaran memiliki peran dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perbaikan.
Jika dicermati dari segi tujuan, ILM merupakan kampanye sosial yang bertujuan menawarkan ide atau pemikiran untuk kepentingan layanan masyarakat umum. Mengingat ILM berisi pesan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan suatu aksi untuk kepentingan umum.
Ubaidillah menegaskan tidak ada alasan keterbatasan alat dan sumber daya manusia untuk tidak menayangkan ILM, karena ketika pengajuan ijin sebagai lembaga penyiaran seharusnya sudah siap.
“Lembaga penyiaran juga diharapkan tidak mencari-cari alasan, kewajiban mereka sebagai lembaga penyiaran harus sudah siap dengan SDM dan peralatan. Kalau itu terjadi kami minta KPID mengevaluasi ijin lembaga penyiaran tersebut, sebagai lembaga penyiaran harusnya sudah siap,” tegas Ubaidillah.
Ubaidillah mengakui selama ini penayangan ILM di lembaga penyiaran secara umum masih sangat minim. ILM juga cenderung di tayangkan pada jam-jam dengan jumlah penonton yang minim dan bukan di prime time.
Berdasarkan hasil survey uji petik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Bali pada 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya 5 radio yang memproduksi ILM sendiri. Sedangkan radio lainnya menayangkan ILM milik lembaga atau instansi lain.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali Dewa Agung Gede Lidartawan mengakui sampai saat ini belum ada melihat adanya penayangan ILM oleh lembaga penyiaran di Bali. Semestinya ada rasa tanggungjawab dari lembaga penyiaran untuk menyiarkan dan memproduksi sebagai konsekuensi penggunaan frekuensi publik.
"Untuk iklan layanan masyarakat seperti ajakan, himbauan memang sangat kita harapkan, apalagi jika teman-teman mampu melakukannya sebanyak mungkin , sehingga dengan semakin banyaknya iklan layanan akan menjaga pemilu itu tetap demokratis tetapi tetap berintegritas,” kata Mantan Ketua KPUD Bangli tersebut.
Lindartawan berharap lembaga penyiaran mampu berperan secara optimal dalam mensukseskan pelaksanaan Pemilu 2019. Dimana melalui ILM lembaga penyiaran pada dasarnya dapat berkontribusi bagi pelaksanaan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Lindartawan juga berharap KPI mendorong lembaga penyiaran lebih proaktif dan mengambil peran dalam pelaksanaan Pemilu 2019.
Pada sisi lain, Lindartawan menyesalkan sikap lembaga penyiaran yang selama ini cenderung hanya mencari untung. Padahal seharusnya untuk informasi yang sifatnya untuk kepentingan publik diberikan harga khusus dan tidak sama dengan harga iklan komersial.
“Saya sayangkan kemarin diberikan harga yang terlalu tinggi, jangan harga komersial yang diberikan ke kita, jangan terlalu tinggi,” ungkap Lindartawan.
Ketua Bali Sruti Luh Riniti Rahayu menilai wajar jika lembaga penyiaran hingga kini belum mengambil peran melakukan edukasi melalui iklan layanan masyarakat karena cenderung menunggu iklan layanan masyarakat dari penyelenggaran pemilu.
Apalagi selama ini lembaga penyelenggaran pemilu juga cenderung memproduksi iklan layanan masyarakat untuk kepentingan sosialisasi.
“Soalnya iklan seperti itu dibuat juga oleh lembaga penyelenggara pemilu dan berbayar jadi wajar-wajar saja mereka menunggu itu, walaupun menyadari mempunyai kewajiban untuk memproduksi” jelas perempuan yang juga seorang akademisi di Universitas Ngurah Rai Denpasar.
Riniti mengungkapkan terdapat keengganan dari lembaga penyiaran untuk memproduksi ILM, karena tidak ada sanksi bagi lembaga penyiaran.
“Jadi saya kira wajar saja, itu tidak dibuat karena tidak ada sanksi ketika tidak dibuat. Saya kira lebih menguntungkan, ngapain bikin susah-susah , tunggu saja dari KPU, di bayar lagi, daripada bikin sendiri” papar Riniti.
Sedangkan Kepala Biro INews Bali Lutfi Setiawan mengakui belum memproduksi dan menayangkan iklan layanan masyarakat karena belum ada surat edaran dari KPI. Apalagi umumnya lembaga penyiaran baru akan memproduksi jika sudah ada seruan dari KPI.
“Biasanya akan membuat kalau ada surat edaran, sekarang belum ada, jadi kita sifatnya masih nunggu,” ujar Lutfi.
Permasalahan lainnya yang menjadi kendala bagi lembaga penyiaran, khususnya yang di daerah adalah keterbatasan jam tayang. Mengingat lembaga penyiaran yang berjariungan di daerah memiliki waktu siaran yang terbatas dan siarannya lebih banyak merelay dari induk jaringan yang ada di Jakarta.
“Kita siaran lokal Cuma 2,5 jam, jadi terbatas. Sebenarnya bisa membuat ILM, tergantung kreativitas, tapi tetap menunggu komando pusat. Ketika lampu hijau baru kita produksi,” kata Lutfi.
Penayangan ILM merupakan sebuah kewajiban bagi lembaga penyiaran sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 46 ayat (7). Pada ayat (9) disebutkan “waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya.
Dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) bahkan terdapat aturan terkait penayangan ILM secara cuma-cuma. Pasal 44 ayat (4) P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menyediakan slot iklan secara cuma-cuma sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh siaran iklan layanan masyarakat per-hari untuk iklan layanan masyarakat yang berisi : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, dan/atau kesehatan masyarakat, yang disampaikan oleh badan-badan publik.
Khusus untuk ILM yang berasal dari lembaga pemerintah atau institusi sosial lembaga penyiaran wajib memberikan potongan harga sekurang-kurangnya 50 persen dari harga siaran iklan niaga, sesuai ketentuan dalam pasal 44 ayat (5) P3.
Tentunya kewajiban-kewajiban tersebut terkait hak masyarakat sebagai pemilik frekuensi untuk mendapatkan informasi dan pendidikan secara cuma-cuma melalui ruang publik di lembaga penyiaran.
Ketentuan pada pasal 44 ayat (4) dan (5) juga memberi amanah bahwa lembaga penyiaran juga wajib memproduksi dan menyiaran ILM, tanpa menunggu adanya permintaan ataupun pesanan dari badan-badan publik.
Pelanggaran terhadap penayangan ILM, baik disengaja atau tidak tentu berujung pada penjatuhan sanksi. Pada aturan Standar Program Siaran (SPS), khususnya pasal 83 menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali dikenakan sanksi adminitratif berupa denda administratif yang untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100 juta. Sedangkan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1 miliar. Red dari BBN