Jakarta – Peristiwa gempa dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, yang memakan banyak korban jiwa dan materi, membuat duka dan keprihatinan mendalam bagi kita semua. Peristiwa ini kita sadari juga menimbulkan dampak psikologis berupa trauma terhadap orang-orang yang mengalaminya, baik orang dewasa maupun anak-anak.
Kejadian luar biasa seperti bencana di Sulteng sangat mudah bagi kita menemukan dokumentasinya. Dokumentasi yang dibuat oleh masyarakat menjelang atau pada saat berlangsungnya suatu peristiwa bencana dapat diakses siapapun lewat kemajuan teknologi komunikasi. Bahkan, rekaman tersebut umumnya disiarkan lembaga penyiaran demi menambah informasi kepada masyarakat. Sayangnya, sering kali tidak melalui proses verifikasi yang memadai. Dibutuhkan batasan-batasan tertentu agar lembaga penyiaran tidak menambah atau menimbulkan dampak negatif terhadap korban bencana maupun masyarakat.
Terkait hal itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengeluarkan surat edaran yang meminta kepada seluruh lembaga penyiaran televisi untuk memperhatikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan bencana atau musibah pada program siaran jurnalistik antara lain:
Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, tujuan surat edaran ini agar lembaga penyiaran senantiasa mengingat dan berpedoman pada kaidah-kaidah penayangan liputan bencana di lembaga penyiaran. Pertimbang wajibnya adalah proses pemulihan korban, keluarga, dan masyarakat.
Menurut KPI, kata Andre selaras dengan surat edaran yang dikeluarkan, lembaga penyiaran dilarang menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya.
“Lembaga penyiaran juga dilarang menampilkan gambar dan atau suara saat-saat menjelang kematian. Mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber peristiwa bencana tersebut. Menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close up dan atau menampilkan gambar luka berat, darah, atau potongan organ tubuh,” jelas Andre.
Selain itu, lembaga penyiaran wajib menampilkan narasumber kompeten dan terpercaya dalam menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah. “Masyarakat harus diberikan informasi dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, benar dan jelas terkait kejadian tersebut. Setiap berita harus melalui verifikasi serta cek dan ricek agar masyarakat mendapatkan informasi yang tidak menimbulkan kegaduhan dan ketidakjelasan,” kata Andre.
Berikut ini isi dari surat edaran KPI Pusat terkait kewajiban dan batasan dalam menayangkan peliputan bencana atau musibah pada program siaran jurnalistik antara lain:
1) Wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan/atau masyarakat;
2) Dilarang :
a. Menambah penderitaan atau trauma korban, keluarga, dan masyarakat, dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya;
b. Menampilkan gambar dan/atau suara saat-saat menjelang kematian;
c. Mewawancarai anak di bawah umur sebagai narasumber;
d. Menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dengan close up; dan/atau
e. Menampilkan gambar luka berat, darah, dan/atau potongan organ tubuh.
3) Wajib menampilkan narasumber kompeten dan terpercaya dalam menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah. ***