Diskusi dan Bedah Buku "Hoax, Kita dan 9 Elemen Jurnalisme" di Palu, (20/3)

Palu - Diantara penyebab maraknya hoaks dalam pemberitaan di media massa dan media sosial, adalah munculnya “prinsip baru” di luar prinsip umum jurnalistik yang sudah ada. Prinsip 5 W (what, where, when, why, dan who) dan 1 H (who), pada masa kini ditambah dengan satu elemen W lainnya, yakni “Wow”. Hal ini menyebabkan jika satu informasi atau berita tidak punya nilai “wow” atau nilai sensasional, media cenderung tidak akan mempublikasikannya. “Karena dapat dipastikan bahwa masyarakat kurang tertarik”, ujar Masbait, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Tengah dalam diskusi dan bedah buku Bill Kovach dan Tom Resenstiel, “Sembilan Elemen Jurnalisme”, di Palu (20/3).

Ketidaktertarikan masyarakat ini, menurut Masbait, mungkin dikarenakan adanya perubahan selera akan informasi yang dikarenakan berbagai alasan dan kepentingan.  Namun ada juga kecenderungan masyarakat yang terbelah menjadi dua kubu yang berbeda. MIsalnya, ada yang percaya pada suatu pemberitaan bila itu sesuai dengan pilihan politik, sekalipun akurasi berita masih meragukan.  Sejalan dengan itu, masyarakat pun cenderung menganggap sebuah informasi merupakan hoaks bila menyangkut pihak lawan. Dalam hal ini, nilai kebenaran di masyarakat menjadi tidak lagi bersifat mutlak, tapi tergantung pada kepentingan para pihak.

Diangkatnya tema jurnalisme dalam bedah buku tersebut dianggap penting mengingat pemberitaan yang diterima publik cenderung mengabaikan etika jurnalistik. Dalam diskusi tersebut, disepakati bahwa jurnalisme yang sehat haruslah berlandaskan kebenaran dan dibungkus hati nurani. “Kalau jurnalisme tidak tidak berlandaskan kedua hal itu, akan menjadi awal maraknya hoaks di berbagai media yang dapat menimbulkan ketegangan di masyarakat.”, ujar Masbait

Diskusi dan bedah buku yang diselenggarakan KPID Sulawesi Tengah ini bekerjasama dengan Perpustakaan Nemu Buku, yang menghadirkan pimpinan organisasi jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), serta aktivis dari pers kampus. Kegiatan ini sendiri merupakan salah satu rangkaian dari peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-85 yang berlangsung di Palu, pada 1 April mendatang.


Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah

Dengan mengusung tema “Menjaga Keutuhan NKRI Melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas”, diharapkan seluruh masyarakat ikut ambil bagian dalam peningkatan kualitas penyiaran di Indonesia. Komisioner KPI Pusat Ubaidilah mengatakan, diskusi dan bedah buku ini dapat menjadi momentum perbaikan kualitas jurnalistik di televisi dan radio. “Kita berharap berita yang hadir di televisi dan radio selain mengutamakan akurasi, juga menjunjung tinggi hati nurani”, ujarnya. Dengan demikian, keutuhan bangsa ini dapat senantiasa terjaga.

Ubaidillah yang juga penanggungjawab peringatan Harsiarnas ke-85 mengingatkan tentang sejarah panjang penyiaran di Indonesia. Awalnya di tahun 1933 radio pertama milik pribumi hadir dengan membawa pesan persatuan, kemudian melalui medium radio juga proklamasi kemerdekaan Indonesia digaungkan ke seluruh pelosok Nusantara. Bahkan pada momentum reformasi pula, dunia penyiaran meneguhkan perannya untuk menyongsong perubahan di Indonesia, ujarnya. Berangkat dari sejarah yang dilewati bangsa inilah, Ubaidillah berharap pada peringatan Harsiarnas ke-85 ini, dunia penyiaran kembali menunjukkan kiprahnya sebagai sarana pemersatu bangsa dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui muatan siaran yang sehat.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.